Jaran Goyang layaknya kuda lumping itu dikurung dalam
sebuah sangkar besi dengan panjang kali lebar yang tak memuaskan untuk kuda.
Kuda tak lagi bisa bergerak sebagaimana kuda-kuda yang bergoyang lincah ketika
mendengar tabuhan saronen yang biasa mengiringinya.
Banyak orang menganggap kuda dalam rangka acara pesta
pertunangan dengan saronen sebagai pengiringnya, kuda akan bergoyang lincah,
layaknya tari-tarian yang membuat orang terdecak kagum. Tapi, Jaran Goyang,
kuda milik Ma’na Medun tidak pernah bergoyang lincah ketika diringi saronen.
Bahkan saat diundang ke acara pesta pertunangan atau acara-acara persemoan
besar, justru mempermalukan Ma’na Medun.
Tidak, bukan hanya Ma’na Medun saja yang malu,
melainkan seluruh keluarga yang sedang mempertunangkan putra-putrinya pun ikut
malu. Sebab muka mereka terasa dikencingi dan dikotori oleh kotoran kuda milik
Ma’na Medun yang tak bergoyang.
Jaran Goyang Ma’na Medun diundang karena setiap pagi
kuda itu bergoyang lincah di kandangnya yang tak ada bebunyian saronen atau
musik apapun. Dalam latihan perharinya pun kuda itu bergoyang lincah tanpa
tarikan tali dari dua sisinya. Namun ketika ditonton banyak orang, kuda Jarang
Goyang itu diam, berjalan biasa saja, meski alunan musiknya membuat orang-orang
menari mabuk kepayang.
Maos jugan
- Sajak Orang Pesisir
- Mamat Terro Nompa’a Jaran
- Kami Menyusun Harapan
- ALBUM TANPA JUDUL
- Hai Puan, Deritaku Panjang
Anehnya, ketika dikembalikan ke kandangnya, kuda itu
bergoyang, lincah, dan terkadang mengangkat kakinya sambil menggeol-geolkan
pantatnya. Ma’na Medun hanya heran dan tertegun. Ia begitu kecewa dengan
kudanya. Ia tak menyangka kuda yang diniatkan untuk hadiah pernikahan dirinya
untuk seorang yang teramat dicintainya justru kembali menguliti wajahnya
sendiri.
Medun membeli kuda lantaran permintaan terakhir dari
wanita yang bertahun-tahun ia cintai. Sejak usia lima belas tahun, Medun
terperangkap cinta dengan si wanita. Kemduian Medun ditinggal merantau oleh
perempuan yang dicintainya. Cinta membuat Medun tetap setia menunggu, meski ia
tahu cintanya bertepuk sebeluh tangan. Tak sekalipun Medun menyerah untuk
nyatakan cinta padanya. Semakin banyak ia ungkapkan perasaan cintanya, maka
sebanyak itu pula ia mendapatkan menolakan.
Nyaris 100 kali Medun tertolak cintanya. Namun pada
pernyataan yang ke Sembilan puluh Sembilan, Medun menangis dan memohon dengan
sangat, dan akhirnya wanita itu menerimanya dengan syarat, yaitu membelikan
sepasang kuda yang bisa menari, bergoyang sebagaimana kuda-kuda yang bisa
ditunggangi ketika acara pertunangan. Medun senang menerima satu syarat itu.
Meski terbilang berat, demi cinta syarat itu bagi Medun cukup ringan dibanding
menanggung berat derita jika hidup tanpa wanita yang dicintainya.
Medun berjuang, bekerja keras banting tulang untuk
memenuhi syarat dari cintanya. Tanpa kenal musim ia kumpulkan uang dengan
keringatnya sendiri. Sementara harta Medun dalam bentuk sapi, kambing, bahkan
ayam yang diternak oleh saudara dan tetangganya ditarik lagi sama Medun untuk
menambah uang membeli kuda.
Akhirnya, kuda yang lincah bergoyang dikandangnya
tersebut yang Medun beli. Ia tertarik pada kuda harapannya sejak pertama
melihat. Sebab Medun merasa, kuda yang ditemuinya mengerti apa yang Medun
rasakan. Karenanya kuda itu bergoyang, menari mengangkat kaki depan dan
pantatnya bergeol-geol, dan harganya tak terbilang mahal.
Tanpa berpikir panjang Medun membawa pulang dan
melatihnya sembari menunggu tanggal pernikahan. Wanita yang dicintainya pun
merasa senang dengan sedikit cemas mengembang di bibirnya. Tak habis pikir, ia
akan menjadi istri seorang lelaki yang ia tolak dengan segala cara. Ia pun tak
dapat membantah lagi, tak dapat mengelak dengan alasan apapun, sepasang kuda
yang bergoyang, siap menari dan meramaikan pesta pernikahannya dengan Medun. Ia
memang Nampak sedikit kecewa, ingin rasanya mencari alasan lain, tapi ia mencoba
menerimanya dengan rasa getir yang tersimpan di belakang bibirnya.
Kuda itu diberangkatkan dari rumah Medun bersama
iringan saronen. Medun terkejut, kudanya hanya berjalan biasa, tidak lincah,
tidak bergoyang sebagaimana biasanya, sebagaimana hari-hari di kandangnya,
ketika latihan dan sebagainya. Medun tak tahu harus bagaimana. Medun diiringi
rombongan keluarga besar. Medun yang telah terhiasa sebagai pengantin berada di
belakang para tetua adat, tokoh-tokoh agama dan tetua desa. Medun menunggangi
kuda kebanggaannya, di sampingnya berjalan kuda tanpa penunggang. Kuda itu disiapkan
untuk wanita yang telah menunggu di rumahnya yang telah jauh-jauh hari pula
menyiapkan segalanya dalam menerima lamaran besar-besaran ini.
Musik saronen terus melengking, seakan-akan musik
saronen itu hanya dibuat untuk Medun dan tak akan dipakai lagi. Meski kuda itu
sama sekali tak bergoyang sekali, Medun tetap berangkat, tanpa kecemasan dan
tanpa kekhawatiran. Rombongan keluarga Medun disambut dengan musik gamelan yang
tabuhannya sangat nge-pop, di halaman rumah calon istrinya itu, ada penari
layaknya boy-girlband, tarian-tariannya mirip dengan india, nuansa indianya
begitu terasa, begitu menyentuh dada. Medun terpukau dengan sambutan itu. Tak
nyangka akan disambut dengan tarian-tarian yang membahana dan menggelora.
Ketika penari-penari itu membelah menjadi dua bagian,
terlihatlah wanita, calon istrinya yang telah menunggu di singgasana pengantin,
di bibirnya masih tersimpan kegetiran dan kecemasan, matanya bertanya-tanya dan
berkaca-kaca. Medun sedikit gugup, rombongan Medun mempermainkan musik
saronennya, tapi sayang kudanya tetap saja diam. Semua orang ingin melihat kuda
Medun beraksi di halaman rumah itu. Medun cemas, keringat-keringat kecemasan
mengalir di pipinya, bulir-bulir kecemasan mengucur dari sudut matanya. Tapi
darah hangatnya menghancurkan semua itu. Acara pernikahan, sebagai tali
mengikat janji hendak dimulai, wanita itu menahan acara itu.
“Sebentar, saya belum melihat kuda itu bergoyang,
menari sebagaimana yang saya minta.” Ucap wanita itu.
“Kuda itu akan bergoyang jika kita berdua
menungganginya dalam perjalanan menuju rumah kita.” Tukas Medun.
“Tidak. Perlihatkan dulu tarian serta goyangan kuda
itu, jika benar kuda itu bergoyang sebagaimana namanya, Jaran Goyang, aku siap
menjadi istrimu.”
Medun memberikan aba-aba untuk memulai musik saronen.
Saronen pun ditabuh begitu asyik, orang-orang bergoyang menikmati tetabuhan
saronen, tapi sayang, kuda Jaran Goyang Medun tidak bergoyang sama, kuda itu
justru tertunduk lesu, lemas, dan menunjukan kecemasan dirinya sendiri. Semua
mata tertuju pada sepasang kuda yang diam, yang lesu, lemas dan kecemasan atas
dirinya. Sudah satu jam lebih mereka menunggu, tapi hasilnya nihil. Para musisi
saronen pun menghentikan saronennya. Mereka terlampau lelah menabuh saronen itu
sedangkan kudanya tak mendengar adanya musik pengiring itu.
“Maaf, Dun. Kudamu pendiam. Itu tak layak untuk pesta
pengantin kita. Sekali lagi maaf, pernikahan ini batal, tak apa semua biaya
ini-itu hangus, itu tak ada artinya sama sekali. Meskipun alasan ini tak logis.
Tapi kau sendiri tak mampu memberikan hadiah yang kuinginkan. Yang kuinginkan
adalah kegigihan untuk berjuang mendapatkan dengan cara memberikan apa yang
kuminta. Jika di awal saja kau tak sanggup memberi, bagaimana nanti kedepannya.
Dan kukira, permintaan tak terucap dariku, dari diri kita, dari alam bawah
sadar, mungkin akan lebih berat dari semua ini. Maaf, sekali lagi maaf.
Pernikahan ini harus batal.”
Musik sambutan beserta tarian-tariannya itu kembali
membahana, tapi musik itu tak terasa sambutan, tapi musik pengantar untuk
segera pergi dari halaman rumah wanita pujaan Medun.
Medun pun kembali bersama rombongan keluarga besarnya
yang dipermalukan dua kuda itu. Kuda berjuluk Jaran Goyang yang sama sekali
tidak bergoyang. Gejolak dalam dirinya adalah membunuh kuda itu dan membunuh
dirinya, tapi orang-orang menahannya. Sejak itu dirinya hanya merasakan senyap
yang tak terhingga.
Segala dunia dan isinya adalah senyap. Pada akhirnya
Medun tetap merawat kuda-kuda itu, kuda berjuluk Jaran Goyang yang tak
bergoyang menjadi kendaraan dirinya ketika bepergian bersama istrinya yang ia
dapat beberapa bulan setelah gagal menikah itu.
Setiap malam, Medun menunggui kudanya di kandang yang
penuh dengan tai. Nampak ada cahaya kecil yang bergerinapan memancar dari
berserakannya tai-tai kuda. Medun terkejut dan kaget, ada gerangan apa. Jika
disenter, tak ada sesuatu yang aneh, tetap saja yang ada adalah tumpukan
tai-tai kuda. Dan Medun tak lagi mengenang kegagalan menikah dengan wanita yang
teramat dicintainya.
Pagi harinya Medun cepat-cepat ke kandang kudanya,
memeriksa segala apa yang terjadi dengan di kandang kuda itu. Ia melihat ada
bercak-bercak kuning diantara tumpukan-tumpukan yang hitam itu. Apa ini?
Tegunnya Medun. Kuda itu kencingnya, diawal lancar, tapi akhir-akhir, kencing
kuda hanya menetes, tapi tetesan cepat, dan itu berbeda dari kencingnya,
warnanya kuning keemasan, aromanya pun membuat Medun ingin mencobanya. Setelah
melihat sekeliling, ternyata kencing-kencing terpetak dengan sendirinya, ada dua
bagian, ada yang teramat bau dan ada yang aromanya membuat ia ingin
mencicipinya. Medun pun mencicipi kencing yang lebih kental itu. Terasa manis.
Kuda, kencing manis. Pikirnya. Ia kembali mencicipi.
Rasa jijik dan mual-mualnya menghilang seketika dari perutnya. kencing kuda itu
sangat manis sekali. Teramat sangat manis. Medun kembali pada tai kuda itu yang
ada bercak-bercak kuning keemasan. Ia memilahnya. Dengan sabar, dikumpulkan
benda-benda kecil yang kekuning-emasan itu. Setelah cukup banyak,
kerikil-kerikil kuning emas itu disandingkan dengan emas kepunyaan istrinya.
Sama. Persis. Tak ada sedikitpun perbedaan. Medun kembali ke kandangnya dan mengumpulkan
tai-tai kuda yang telah menumpuk-mengering, ia kembali membasahinya, benar.
Sangat banyak sekali bercak kuning yang ada pada tumpukan tai kuda itu. Setelah
dibasahi, tai-tai itu disaring, dipisahkan. Kerikil-kerikil kuning emas itu
sangat banyak.
Tak terpikir olehnya bahwa kuda itu tak bertai emas.
Maos jugan
- Ojan Are Salasa
- Satu Abad NU dan Haul Gus Dur
- Seminar Proposal STIDAR Sangat Berwarna
- Kades dan Harapan Anak Semua Bangsa
- Pejamkan Mata, Agar Bisa Berjalan
Sejak diketahui bahwa kuda berjuluk Jaran Goyang itu
bertai emas, berkencing manis, banyak
orang ramai berkunjung untuk melihatnya, sekarang kuda itu terkurung dalam
sangkar besi yang panjang kali lebarnya tak memuaskan untuk kuda-kuda itu.
Sepasa kuda itu tak bisa lagi bergoyang dalam kandangnya, tak bisa lagi
mengangkat kaki depannya, tak bisa lagi menggeol-geolkan pantatnya. Jeruji besi
yang mengurung kuda itu terbungkus dengan kain merah. Sekarang kuda itu tak bisa
dilihat seperti sebagaimana dulu yang tak terbungkus tak ada dalam jeruji besi.
Orang-orang yang melihatnya harus membayar lima puluh ribu untuk sekali masuk.
Sekarang telah berdiri bangunan yang menaungi sangkar besi yang terbungkus kain
merah itu.
Bangunan itu dijaga oleh empat lapisan penjaga.
Terluar adalah polisi, kedua adalah tentara, ketiga adalah para pendekar
bertangan besi dan keempat adalah tokoh agama yang berada di empat arah mata
angin. Mereka seakan-akan menjaga kekayaan mereka sendiri. Dan sejak itu tak
ada lagi yang boleh melihat kuda itu lagi dan bahkan Medun sendiri tak punya
kuasa untuk melihat kudanya. Medun diusir dengan cara diberi uang untuk
jalan-jalan ke berbagai negara, tapi setelah pulang, ia sudah tak punya hak
milik terhadap kuda itu dan bahkan tak punya hak untuk melihat kuda itu lagi.
Medun hanya mendengar, bahwa dari hidung kuda itu
keluar gas yang bisa digunakan untuk memasak dan sebagaimana fungsi gas pada
umumnya. Medun baru sadar bahwa setiap hari ia selalu mencium aroma gas di
kandangnya, tapi ia tak tahu dari mana gas itu berasal.
Suatu malam Medun bermimpi tentang kondisi kuda itu
yang ditubuhnya menancap ribuan jarum suntuk untuk menyedot darah, menyedot gas
dan banyak lainnya, segala urat dari kuda itu berujung pada jarum suntuk yang
mengalirkan segala bentuk kekayaan yang keluar dari kuda-kuda itu. Medun
terbangun.
Kuda sekecil itu terus dihisap, diambil darahnya,
diambil ini-itunya. Sebentar lagi kuda itu akan mati. Kuda itu akan segera
mati. Kuda itu akan segera mati. Ucap Medun pada dirinya sendiri.
Mat Toyu