Iya. Tapi gak gitu juga caranya. Izinkan aku menyandarkan kepala sudah terlampau lelah. Biarkan aku istirahat. Tidak ada yang lebih berat dari sebuah kehilangan.
Ini hanya sekedar kucing
Kamu pikir kucing. Kucing gundulmu. Dia sudah menyatu dalam jiwaku. Aku merawatnya setiap hari. Memandikan. Membawanya ke dokter. Merawat. Menyuapi. Ah. Su. Lalu kau bilang hanya kucing
Katanya kau ingin bangkit. Mengapa kau masih membelanya sedemikian rupa
Kenapa kau membuatku kembali teringat. Kaulah yang membuatku semakin babak belur. Sudah. Pergi jauh sana. Pergi. Aku tak ingin bersamamu lagi
Aku akan tetap bersamamu. Selalu berada dalam jiwamu
Tapi kau usah terlalu ramai. Bising. Anjing
Tenanglah
***
Maos jugan
- Jalan Berliku Para Pecinta
- Laksana Kefanaan, Rowi El Hamzi
- carpan: Labang
- Ilusi Mata Manusia
- Rora Basa Madura
“Ayo kita pulang! Dalam waktu dekat kucingnya, akan sehat kok. Sekarang kita pulang ke rumahmu. Disana ada tempat kucing kan. Seperti yang kau ceritakan itu. nanti habis dari tempatmu. Ambil motorku di tempat kucing tadi. Habis itu kita bersantai dulu di rumahku.
“Baiklah…” dimana kandan kucing itu ya. Sepertinya sudah aku hancurkan beberapa tahun yang lalu. Sebab aku tak ingin menyimpan kenangan itu. aku bukan kalangan menolak lupa. Aku ingin melupakannya.
“Ada kan kandangnya di tempatmu.” Tanyanya lagi. Aiii senyummu itu lho. Sederhana. Menawan dan membuatku bangkit selamanya. Aku tiba-tiba ingin bernyanyi seperti Iwan Fals “Aku milikmu malam, ku kan menjagamu sampai pagi.” Aiii. Suaraku fals datar, seperti suara comberan yaaa… hahaha. Rasakan itu. penuh rasa syukur. Penuh pujian. Hahaha itu masih dari lagu Iwan Fals yang lain.
“Ayo kita segera ke rumah. Tidurkan itu di kandangnya. Biar kucing itu cepat istirahat.” Jawabku cepat dan naik ke motor bergambar sayap. Tiba di rumah. Aku pergi ke gudang tempat barang-barang bekas aku tempatkan. Aku benar-benar terkejut. Di gudang itu ada kandang kucing. Siapa yang menyelamatkan kandang kucing itu. padahal aku telah membakarnya. Siapa ya. Kurang ajar betul. Tapi syukurlah.
Kau pasti lupa. Kau sendiri yang menaruhnya. Baiklah kalau begitu. Aku ambil lagi. Haruskah aku membawanya bersama kenangan yang telah membuatku berantakan itu. ahhh tidaklah. Cukup kandangnya saja. Ini demi kenyamanan sebuah hewan. Masalah itu sudah berakhir dan merekapun sudah berpisah juga. Hahaha. Kasihan dech. Hahaha masih mengingatnya. Kacau.
“Cepetan a’!”
“Baiklah. Akan kubawakan ini untukmu dan peliharaanmu yang sangat akan kau sayang itu.”
“Terima kasih.” Kucingpun kami masukkan. Ia istirahat dengan tenang. Nafasnya pun normal. Mungkin kesehatan harus dimulai dari teraturnya pernafasan. Bayangkan saja bagaimana jika nafasnya tidak teratur. Pasti kau meraskan hal yang aneh dan berat dalam hidupmu. Iya kan. Hems. Bentar aku pikir-pikir dulu. Jika memang iya. Nanti aku lapor sama kamu.
“Ayoo kita ambil motor kamu.” Ia pun mengangguk dan kubonceng. Aku pun mengambilnya di dekat rel. timur stasiun Prenduan.
“Itu dia. Syukurlah masih ada. Orang-orang sini sungguh menyenangkan. Kita menolong kucing. Orang-orang menjaga barang kita. Ahhh seandainya satu negara bisa seperti ini. Alangkah indahnya.”
“Iya pasti kurang asyik juga. Tidak ada criminal. Tidak ada pertengkaran.”
“Apalagi tidak ada yang selingkuh. Tidak ada pelakor dan tidak ada pencar.”
“Apa itu pencar… ko kedengarannya baru.”
“Pencuri pacar orang.”
“Asu! Kamu malah ngakak sepuasnya. Ayooo pulang ke rumah.”
“Bentar aku belanja bentar. Ayooo kamu ikut. Nanti aku diambil orang lho…”
“Kamu jangan coba-coba bercanda begitu. Aku takut. Nanti malah kebenaran.”
“Gak. Aku setia orangnya. Sudah banyak pria yang menggodaku. Tapi aku masih bertahan. Sebab saat itulah. Hanya kamu yang mau mendengarku.”
“Aku sudah kehilangan banyak kucing. Kucing-kucing yang aku tolong, rawat, sembuh di kandang itu. pergi setelah sehat, lucu dan menggemaskan dan tak ada yang kembali.”
“Bagaimana besok jika ada yang kembali. Apakah kau akan membuangku?”
“Ehhh… kapan selesainya kalau kita malah berdebat. Ayooo cepat!” ia pun masuk minimarket, sebuah toko besar dengan ukuran pada umumnya. Dengan banner besar. Dua raksasa minimarket yang telah masuk perkampungan. “Kau mau beli rokok gak?” ia nongol di pintu.
“Kalau tidak ada rokok. Aku mau menghisap apa?” mendengar jawabanku yang polos dan penuh penafsiran, ia tertawa. Masuk kembali ke dalam dan membeli rokok berbungkus cokelat. Bergambanr bangunan sisa penjajahan belanda.
“Kamu merokok juga pow?”
“Enggak lah sayang. Ini untuk kamu. Karena kamu telah mau menyelamatkan seekor kucing lagi. Sudah lama dirimu tidak menyelamatkan hewan-hewan yang terkapar, tak berdaya, lemah.”
“Ayoo pulang. Hari semakin sore. Bentar lagi senja.”
“Kita ke kafe. Menikmati senja.”
“Sok tahu kamu. Hahaha.”
“Kamu pasti merindukan suasana senja kan. Lalu menghisap sebatang lisong. Gimana sudah kaya WS Rendra belum.”
“Aiihhh gayamu.”
“Ayooolah. Kita pulang dulu. Sediakan ia minum. Mungkin dia bangun saat kita berada di kafe.”
Tiba di rumah kembali. Ia parkir motornya. Mengambil air dan menaruhnya di dalam kandang legendaris itu. Ia, wanita yang tadi mengantarku ke dokter hewan, membelikan rokok dan berbagai macam camilan itu sudah terbiasa berada di rumahku. Orang tuaku pun tahu bahwa kami sering bersama. Ia sudah kami anggap keluarga sendiri meskipun kami belum resmi secara hukum adat, hukum negara dan hukum agama.
“Ayooo kita segera berangkat ke kafe. Biar kamu menikmati waktu senja. Kau tahu sendiri kan, waktu senja itu sangat sebentar. Lalu kita akan melihat bulan mungil, serupa logam mulia, setengah lingkaran di ujung timur. Ahhh… sejak kapan kau tak menyukai itu.” kata-katanya membuyarkan lamunanku.
Iya senja memang waktu yang sangat sebentar. Kau harus bergegas. Mencari tempat yang tinggi. Bebas hadangan. Duduk bersantai. Setidaknya kau harus berada di ketinggian lima belas meter untuk menikmati senja, atau kau harus ke pantai.
Kenapa dirimu ingin mengajakku ke kafe dan menikmati senja. Saat itu, aku bertengkar dengan pacarku. Setelah matahari tergelincir dan bayang-bayang tubuh manusia mulai berada di sebelah timurnya, kami bertengkar. Ia menuduhku selingkuh. Aku pun menuduhnya selingkuh. Ini adalah wanita dan juga kucing kedua yang aku tolong di persimpangan dekat kantor pos kota. Ia mengira aku memiliki wanita lain yang lebih aku perhatikan. Itu terlihat dari status-status whatsapku yang katanya selalu mendoakan kesehatan seseorang, mencemaskan, dan aku jarang konsentrasi ketika bersamanya. Padahal aku lagi fokus merawat kucing. Juga gambar, image atau JPG yang aku posting adalah gambar kucing yang terkapar itu. namun ia bantah dengan lantang.
“Kau pasti berbohong. Mana ada laki-laki setia. Bapakku pun dulu begitu. Selalu bilang ‘aku harus menemui ibu, saudara, ehhh tahunya malah nikah lagi. Ya wajar kalau dihajar sama istri pertamanya. Sama seperti dirimu ini. Bilangnya merawat kucing. Dipost di WA-nya dengan penuh kemesraan ‘Kesehatanmu adalah segalanya’ lalu aku ini apa.” Aku tidak ingin membungkam suara wanita, ia layak bersuara. Menyuarakan apapun yang selama ini terpendam di dalam lubuk hatinya. Aku memilih berdiam.
“Baiklah! Jika dirimu tak percaya. Apalah dayaku untuk membuatmu percaya. Aku tak mau banyak berkata. Menghamburkan kata-kata. Itu hanyalah buih-buih busa yang tak kan bermakna apa-apa.”
“Iya sudah ngaku saja. Gampang kan. Kalau kamu selingkuh.” Mendengar tuduhannya yang absolut. Aku memilih diam. Ia pergi. Membanting pintu. Membuat ibuku terbangun pada jam istirahat siangnya. Aku mendatangi kucing yang mendekam dalam kandangnya. Ia mulai sehat. Mulai berjingkrak-jingkrak di hadapan kami sekeluarga. Tubuhnya sudah tidak bau amis, bacin atau ameng lagi. Semoga saja ia tidak meninggalkan tempat ini. Aku berupaya menghadirkan surga untuknya. Padahal aku sudah bersedia untuk menjadi pembantunya, budaknya. Makanan-makanan bergizi sudah aku hidangkan. Lihatlah kulitnya sekarang. Bulunya halus. Tidak rontok. Menggemaskan. Lucu dan imut. Ia mulai keluar rumah. Ahhh ia kucing perempuan yang menggemaskan dan lucu. Akankah ia akan berjumpa dengan kucing dari kampung sebelah yang lain.
Sehabis pertengkaran. Aku memilih pergi ke kafe. Memilih menonaktifkan mode kuota. Agar tak ada kabar masuk. Aku memilih membaca berbagai macam artikel seputar kucing di laptopku. Sore itu aku memesan secangkir kopi yang sangat enak lalu aku merokok. Membaca. Waktu senja yang tenang. Saat itu aku merasa berada dalam titik paling damai dan abadi. Padahal waktunya hanya sekelebat saja. Namun aku tak nyangka bahwa sore itu adalah tanda bahwa kami harus berpisah. Dan kucingku pun tak kembali ke rumah. Aku bertanya-tanya. Ini hidup macam apa. Hidup macam apa ini. Kucing dan wanita. Haruskah aku menjauhi keduanya. Sore itu aku tersenyum seorang diri. Sejak itu aku lebih sering berada di kafe itu. menikmati suasana senja. Sendirian. Menghadap laptop. Membaca artikel. Perang dingin. Kucing. Dan beragam masalah yang bermunculan setiap hari. Ketika matahari terbenam. Aku melihat rembulan dari sisi timur. Rembulan dengan warna logam emas. Cahaya yang menenteramkan jiwaku. Tak ada teman yang mengunjungiku. Apakah aku merasakan kesepian dalam keramaian.
Maos jugan
- Sang Pelopor Kebersihan Lingkungan
- dari Madura langsung Yogyakarta
- Teks MC Bahasa Madura
- Sinopsis Tiga Buku
- Mertè Bhâsa Lèbât Karya Sastra
***
Siang itu aku akan berangkat ke kafe. Aku sudah membuat janji dengan pacarku yang sederhana nan kece ini. Ia sepulang kerja akan pulang sebentar lalu akan berangkat ke kafe untuk menikmati senja hingga malam nanti. Aku pun bilang bahwa akan menjemputnya, tapi ia tak mau. Saat aku berangkat dan tiba di persimpangan. Aku kembali menemukan seekor kucing yang terkapar di persimpangan dekat Masjid. Tidak ada yang menolong. Tidak ada tanda-tanda telah diberikan pertolongan.
Sungguh mengerikan. Bagaimana tidak. Seekor kucing terkapar. Lemah. Tak berdaya. Bulunya penuh dengan bercak-bercak merah. Mukanya sudah tidak jelas penuh dengan bekas luka. Oh tidak. Kakinya kirinya yang belakang pincang. Apa yang terjadi dengan dirimu. Mengapa aku tak sesemangat itu lagi ya untuk menolong kucing yang terkapar. Apalagi kucing ini, yang ada di hadapanku ini lebih parah kondisinya. Ia bukan hanya sendirian. Lemah. Tak berdaya. Lihatlah bulunya yang berantakan. Kumal. Kucel. Jujur saja sekarang, aku tak memiliki semangat sebagaimana saat pertama aku menemukan kucing. Saat itu, rasanya aku ingin segera menyulap dengan jurus-jurus seperti dalam film Angling Dharma, atau Mak Lampir (Misteri Gunung Merapi) atau Wirosableng. Dengan ajian apalah namanya dimana waktu seketika kucing itu akan kembali sehat, bugar dan lucu.
PALALANGAN, MADURA