Dalam
pikirannya selalu melayang-layang tentang sebilah waktu. Waktu yang menghantui saat dirinya berada
di antara tulisan-tulisan yang bersatu dalam
lembar-lembar kertas. Tidak ingin lagi perempuan itu menghabiskan huruf-huruf
yang tertata rapi diatas bersampul gagah itu. Karena dibenaknya telah nyata.
Membaca hanya mengantarkannya pada perpisahan yang tidak dibahas dalam teori.
Sebuah
ingatan beraroma lara dan setengah pahit meliak-liuk di kepala Fani. Tumbuh
mekar dan tidak akan rontok hanya dengan olesan kata-kata manis dari seorang
lelaki bermanis rupa yang telah lama tererami dibenaknya, tidak akan rontok hanya sekedar
dikelupas dengan pisau analisis yang berkarat penuh bualan dan ratusan teori
gombalnya, apalagi akan tergusur dengan rayuan-rayuan bermutiara yang sampai
berbusa dari bibir dengan segala teori penenangan sekalipun. Seperti bebatang
duri yang menusuk benaknya. Hari ini perempuan itu tidak berniat dan tidak
berkenan untuk mempercantik wajahnya seperti hari-hari yang menuntutnya untuk
pergi ke kampus atau untuk menghadiri acara lain. Dia biarkan rambutnya
tergerai oleh angin dan berantakan oleh sesiar angin pagi di hari bermendung.
Tubuhnya dia biarkan tersentuh angin yang bersiar-siur diantara halaman
rumahnya dan beranda yang sedang menunggu keheningan yang merangkap sebagai
teman sepinya, meski didepan rumahnya jalanan ramai dengan bunyi-bunyi kelakson
dan tantangan gas yang memekakan telinga dari kendaraan bermotor. Tidak ada
siapa-siapa dan hanya alat-alat peletak huruf atau angka yang bergeletakan
disana.
“Kamu
kalau belajar sendiri tidak bisa ya?” suara itu mampir ditelinga telanjangnya.
Kemarin dia mendengarnya dengan telinga terlapis kerudung putih. Suara yang
terkadang mengalirkan banyak ingatan. Ingatan yang melamar kambuh penyakit itu.
“Kalau kamu bisa belajar sendirian itu lebih bagus. Seperti aku ini!” lanjutan
ungkapan yang tidak bisa ditahan dari bayangan perempuan teman kelasnya
sendiri.
Maos jugan
- Kucing Ketiga yang Aku Tolong (I)
- PERIBAHASA MADURA
- Carpan: Kampanye
- Sedikit Bocoran buku “Nyai Madura” Tatik Hidayati
- Okara Kakanten Basa Madura
“Kenapa
bulan iri pada matahari?” ucapnya seorang diri di beranda itu. Tidak terdengar
oleh telinga siapapun. Hanya lambaian daun bunga-bunga di halaman yang
bergetar. Mendengarkan rintihan yang tidak terbagi rata. Tidak dapat dipungkiri
tentang rasa ngilu yang mengiba-ngiba diantara sesal dan sumringah.
“Ya
ampun. Semoga di dadaku tidak tertanam dendam, meski ada harus cepat kubuang, dendam
hanya akan meretakkan persahabatan, dan membuatku berhenti berproses.”
“Kenapa
Reno sepintar itu? Apa sih yang dia makan? Bagaimana caranya dia menghabiskan
banyak buku? Berapa buku setiap malam yang dia habiskan, sehingga lelaki itu
lebih perkasa secara mental dan intelektuil?” igaunya melompat dari bibir
kerutnya. Bermoncong sedih. Bibirnya selalu saja bergoyang-gayang. Baik
di depan temannya atau orang yang tidak dikenalnya.
“Barangkali
dia makan batu setiap hari, sehingga apapun bisa cepat dipahami. Tapi Mia ko
tidak sama dengan Reno yang katanya bisa belajar sendiri?” dia hanya
garuk-garuk kepalanya. Memicingkan matanya ke arah jalan yang ramai dengan
kendaraan yang mengangkut apapun; truck, angkot, taksi, bus, delman, motor,
mobil dan yang senyawa.
“Mungkin
Mia memang lebih pintar dari aku. Sehingga pantas saja jika aku dilarang
berdekatan dengan Reno. Lelaki idealis yang selalu mengkritik dosen dengan
tidak memerhatikan temannya sendiri yang tertindas. Akh... penindasan bukan
hanyalah dilakukan oleh soeharto, tapi telah tumbuh seperti lumut yang
berkembang biak tanpa kenal musim.
“Ya.
Reno memang pintar, tapi apa dia merasa bahwa temannya yang sekelas merasa
terganggu.” Perempuan di beranda itu masih terus berucap sendirian. Tidak ada
yang menanggapi dan menjawab keraguannya. Terkadang dia menjawabnya dengan
kemauan sendiri.
***
Jam
mata kuliah kampus telah habis. Mereka keluar seramai rombongan laron yang
melihat ada kemilau cahaya. Tapi mereka ingat bahwa siang ini. Pada jam panas
siang matahari ada kegiatan yang melarang mereka untuk cepat-cepat
beristirahat. Mereka ingin membicarakan seoarang yang dianggap penting dalam
melahirkan jurusan yang kini mereka tempuh.
Dalam forum kecil itu mereka ikut dengan tenang dan damai. Tidak ada yang
saling menghina dan membaku hantam karena perbedaan pendapat tentang seorang
bapak gila yang telah meletakkan batu dasar pertama atas lahirnya jurusan yang
mereka geluti.
Fani duduk seorang diri di antara teman-teman cowok dan berdekatan dengan
seorang kakak angkatan yang ikut jalannya diskusi mereka. Kakak angkatan itu
cuma ikut nimbrung mengarahkan dan menyelaraskan bagaimana seharusnya melihat
si gila itu berkomentar tentang fisika sosial dan yang senyawa.
Tidak
lama. hanya sekitar satu jam-an mereka duduk bareng. Mereka pulang semua ke
tempat peristirahatan masing-masing. Tanpa menyisahkan kenangan dari
masing-masing mata. Hanya pemandangan baru sering membuat orang tergelitik dan
tergeletak melihatnya. Mereka pulang dengan oleh-oleh atau hadiah dari siang
ini yang beraneka ragam dan tidak ada yang tahu apa hadiah itu. Mereka berjalan
menuju keinginan masing-masing; ke barat, selatan, timur dan utara. Ada pula
yang langsung menuju kamar kosnya, rumahnya sendiri, dan ada yang masih
menghabiskan waktu sore di perpustakaan. Karena sisa waktu jarang sekali
berguna. Fani dan seorang lelaki melanjutkan pembicaraannya di perpustakaan.
Santai sekali mereka membicarakan tentang Comte dan yang senyawa dalam
melahirkan fisika sosial. gelak-tawa mereka yang tidak bisa tertahan. Membentur
dinding megah itu. Memantul kesembarang telinga yang tertutup oleh kerudung
kecantikan, kerudung atas nama tata tertib, kerudung atas nama organisasi,
kerudung atas nama politik dan kerudung atas nama cinta dan kerudung atas nama
agama.
Mia
datang sendirian tanpa lelaki yang menggandengnya. Fani menyuruhnya duduk bareng
meski tidak bisa dipungkiri kebolongan hati yang tergambar di benaknya sendiri.
“Biarkan saja dia duduk sederet dengan Reno. Aku tidak peduli. Aku Cuma belajar
dengan dia, tidak lebih dan tidak kurang. Aku tidak mengambil apapun dari dalam
dirinya. Hatinya tetap utuh. Entahlah dengan rasanya. Berkurangkah atau
menyusut?” suara dalam dadanya menyeruduk situasi. Matanya tertuju pada lantai
yang diinjaknya sendiri meski terhalang buku, yang hanya sekedar alat menunduk
agar terlihat menekuni buku.
“Sudah
lama disini?” Mia membuka mulut.
“Lumayan!”
Reno tidak memastikan berapa lama menaruh pantatnya di sofa: kursi modern itu
yang disedikan untuk pengunjung. Di dindingnya tertempel bantalan pendingin.
Pendingin yang dibuat-buat. Matanya masih tertuju pada huruf-huruf yang tertata
rapi bersampul gagah. Huruf-huruf itu bercerita tentang metode dan teori yang
merasuk dalam otaknya dan mengubah alur putaran otaknya. Sehingga tak jarang
banyak teman-temannya yang sakit kepala separuh-separuh. Rambutya berguguran
tiap minggu dua helai.
“Oh!”
Mia tidak dapat lagi memperbanyak suara. Ia lebih menekuni keheningan dengan
buku yang ia ambil di antara buku-buku politik dan ekonomi. Begitulah jika
kampus berkembang. Buku setengah beraduk antara yang satu dengan yang lain.
Anehnya buku sastra berdempetan dengan buku fisika, kimia dan matematika.
Sedikit sekali ada percakapan diantara mereka. Sepi terus saja menyelimuti
mereka. Berdempetan dengan keramaian di sebelah mereka yang tak jauh berbeda
untuk membicarakan hal-hal berbau politik fulgar, ekonomi sangar dan kelas
sosial yang kesasar. Tidak cukup lama disana. Barangkali karena suasana yang
gagal merangkum mereka untuk lebih santai, atau saling mengutarakan kepenatan
yang membajui tubuh mereka. Surup matahari telah meminta mereka untuk segera
angkat pantat dari kursi empuk itu dan meninggal lampat tidak berbekas dari
gedung berlantai empat itu.
***
“Kamu
tadi dekat-dekat dengan kakak angkat. Awas! Jangan ulangi lagi!” Fani kaget
melihta es em es dihapinya.
“Memangnya
kenapa sih? Padahal aku tadi duduk sembarang. Tapi kakak itu sih baru datang
langsung duduk di dekatku.” Fani gerutu seorang diri di kamarnya. Dengan
melempar kain yang metunupi kepalanya, tubuhnya, lalu menggantinya dengan baju
hijau dan seperangkat shalat.
“Aduh!
Aku kok bingung sendiri ya. Padahal aku tidak berniat apa-apa! Aku takut! Duh
Gusti.” Ia hanya geleng-geleng. Melihat jam yang berthek-thek-thek di dindingnya.
Mengitari angka-angka.
“Aku
ini orang lemah. Cewek memang lemah dan sensitive. Tapi dia cewek yang kuat.
Belajar sendiri. Aku tidak bisa seperti dia. – belajar saja sama dia – (ucap
suara dalam dadanya) – tidak ahk! Dia belum tentu sepintar Reno.”
“Yang
Paling ku takutkan, aku dibilang mengambil cowoknya. Akh… benar-benar mumet.
Aku sungguh tidak ingin terjebak, terjerambat dalam jurang pacaran, saling
berbagi cinta, atau bahkan saling merelakan mensedekahkan bagian-bagian tubuhku
yang biasa menjadi idaman setiap orang yang hidup dan berakal waras. Iiiihhhh. Sebelum
aku jadi anak kampus. Beberapa bulan sebelum mendaftarkan diri jadi mahasiswa,
aku terjerumus ke hati seseorang, sehingga aku sekarang menyebutnya adalah
‘masa lalu’. Ehm masa lalu.” Kepalanya hanya bergerak, seperti orang yang
bertahlil di pinggir sawah bersama tiupan angin.
“Tanpa
aku sadari, aku menjadi ter-atur oleh lelaki itu. Pertama aku disuruh memakai
rok mini. Baju mini dan beberapa pakaian yang sangat mini. Aku jadi malu pada
orang-orang yang tidak biasa melihatku seperti itu. Aku menjadi risih
sendiri. Seperti pada suatu malam minggu. Aku diajak untuk keluar, katanya mau
makan malam di luar. Dia membawakanku pakaian seperti yang ku utarakan tadi.
Maos jugan
- OMBAK
- Punya Hak Suara
- Carpan: Durahem Abakalan
- Suhrawi Entara ka Resepsi Satu Abad
- Agantong Kakapper Sabellun Pajjar
“Apa
kamu tidak mampu membelikanku pakaian yang layak sebagaimana biasanya?” Tanyaku
geram.
“Dengar
dulu. Ini baju Mahal. Lebih mahal dari punyamu. Jangan sembarang bicara!” jawab
dia agak lirih.
“Hah?
Apa? Apa aku tidak salah dengar? Ini pakaian mahal. Berarti kamu tertipu oleh
penjualnya. Baju terbatas seperti ini mau kau pakaikan pada tubuhku. Itu tidak
pas. Banyak kurangnya. Betisku tampak, bahkan pahaku di sadap oleh banyak mata.
Dadaku pun tidak ketinggalan menjadi hidangan menarik para mata belang. Kamu
rela tubuh pacarmu menjadi lalapan banyak mata belang, mata orang alim pun akan
menikmatinya, bahkan orang-orang dengan segala bentuk akan menyadapnya melalui
matanya. Kamu rela aku tanpak seperti ikan yang di pamerkan pada kucing-kucing?
Lelaki apa kamu?” Bibir Fani merasakan kehangatan air yang melinang dari
atasnya juga masamnya air itu. Iapun melihat tubuhnya melalui kaca yang
menempel di dindingnya. Kembali di benaknya tumbuh ingatan pada bunyi kata-kata
teman sekelasnya sendiri.
Padahal
aku tidak berniat untuk mencuri lelaki itu dari tangan Mia. Aku Cuma belajar
bareng dan berdiskusi dengan dia, tapi kenapa Mia menyangka lain? Yang lebih
kutakutkan ketika aku telah bersuami, masak aku dilarang untuk berteman,
bertemu, ngobrol dengan lelaki lain. Memangnya aku ini apa. Dan aku yakin jika
dia jadi … pasti aku bisa seperti sekarang ini. Bebas terkendali sesuai
keinginannya berteman dengan orang-orang lain dan aku pun seperti tidak
terganggu.
Hah!
Yang aku takutkan ketika ada seorang istri yang mengatakan aku sebagai pencuri
suaminya hanya karena ada keperluan perdagangan dan lain-lain.”
Surup
matahari tidak dapat menutup masa yang baru saja berlalu. Masih saja ingatan
itu bermekaran dan membayang. Padahal masa yang berlalu dan ingatan adalah
belukar darah yang bedebu dan tabu. Sampai larut malam pun ingatan
mengganggunya. Pesan singkat dan padat itu seperti datang lagi, menempel di langit-langit
rumahnya, jendela, lemari baju, buku yang dipinjam dari perpustakaan dan lampu
yang tergantung. Semua itu terus menggerutu dalam benaknya sendiri sampai
ingatannya telah lelap dan mimpinya tak kunjung datang membelai lelapnya dalam
selimut.
Lembah
Wungu 2011