Perjalanan
seringkali menyisakan alasan untuk keberlangsungan cipta proses berpikir,
merenung serta mengahayati setiap peristiwa yang datang. Ia bukan sekedar
bentangan dari ruang dan waktu. Di dalamnya terdapat kesadaran yang menampakkan
diri sebagai bagian yang terus ingin diungkap ke permukaan, sebab ruang dalam
perjalanan merupakan unsur bangunan antara yang fisik dan psikis.
Lalu
mengakibatkan sebuah pertemuan dan tindakan dapat terjadi dalam kesempatan yang
sama, memberikan sejumlah respon atau sikap terhadap realitas. Menyatakan
bentuk perasaan bahagia atau pun sedih. Keampuhan senyum dan haru yang merebut
air mata, menghuni setiap manusia dalam perjalanan menempuh kehidupan.
Berbagai
kisah mengabadikan diri menjadi kenangan, menjelma tempat mukim bagi rumah
ingatan. Di sana seluruh pengalaman atau peristiwa menyeleksi momen untuk
dipelihara, dirawat, dan menjadikannya benda berharga. Benda yang akan
diteriakkan terhadap siapapun yang ingin mendengar. Barangkali bisa menyedot
pandangan banyak orang untuk menaruh perhatian atau prihatin atas benda
tersebut. Benda itu bernama puisi yang
di tulis oleh Fadzil Shufina di dalam “Debu Trotoar” adapun benda itu telah diungkap sebagai
berikut.
Jika
Aku Pulang
Karya:
Fadzil Shufina
Jika
aku pulang nanti
Aku
tak ingin berkata
Juga
tak ingin mendengar
Aku
hanya ingin tidur
2017
(Halaman 73)
Dari
sekian puisi yang terehimpun dalam “Debu Trotoar” saya menjatuhkan pilihan
analisa terhadap puisi yang berjudul “Jika Aku Pulang”. Meskipun sebenarnya
saya juga mengalami keraguan terhadap puisi tersebut. Keraguan saya bermula
dari anggapan bahwa puisi pendek biasanya lebih menggoda dan menyimpan maksud
lebih tersembunyi. Tetapi mengingat puisi Fadzil Shufinah memang tekun dalam
puisinya yang liris, maka saya pun tidak mengurungkan niat untuk melihat apa
yang sebenarnya ingin di ungkap oleh si penyair.
Maos jugan
- ALBUM TANPA JUDUL
- Tabun Dalam Lingkaran
- Pesantren Sebagai Pusat Pengetahuan
- Panggung Komedi di Indonesia
- KEPETAHAN LIDAH BAWEAN
Puisi
juga kerap disampaikan dalam pengertian begini, tetapi sebenarnya mempunyai
maksud yang begitu. Didalamnya maksud disampaikan secara rahasia. Sehingga
pembaca lebih mempersiapkan ruang untuk masuk ke dalam puisi. Namun dihadapan
puisi “Jika Aku Pulang” yang ditulis oleh Fadzil Shufinah, saya tidak cukup
kesusahan untuk menyingkap realitas lain yang ada di dalam puisi tersebut.
Sebab dari bait ke bait, Fadzil Shufinah memilih diksi yang sederhana dan tidak
rumit tetapi tetap mengusung ideologi yang cukup berat. Kenapa demikian? Kita
bisa melihat diksinya.
"Jika
aku pulang nanti
Aku
tak ingin berkata"
Fadzil
Shufinah seperti melakukan permainan dengan bayangannya sendiri. Menerka-nerka
peristiwa yang sebenarnya belum terjadi. Sebab kata ”Jika dan nanti” yang
terdapat pada awal dan akhir bait pertama itu menandakan sesuatu yang belum
tiba. Namun imajinasinya bekerja sedemikian jauh melesat, melompati waktu.
Kemudian disusul oleh bait berikutnya “Aku tak ingin berkata” seperti sebuah
keputusan yang bulat. Memilih tidak berkata, secara tekstual berarti memutus
komunikasi dengan siapapun. Saya lebih penasaran lagi dan menaruh kecurigaan
bahwa diksi tersebut ditulis tidak hanya memuat dan menyampaikan makna
leksikalnya. Sebab setiap teks yang lahir selalu bersamaan dengan konteksnya.
Sehingga saya pun ikut menerka dan mengkaitkan dengan konteks “waktu” puisi itu
dibuat.
Fadzil
Shufinah, di dalam puisi “Jika Aku Pulang” seperti merasakan kegelisahan
terhadap keadaan yang menggelilinginya. Tentu tidak lepas dari posisinya
sebagai mahasiswa rantau, ia seperti enggan untuk pulang kampung. Kalaupun
pulang kampung, ia ingin tidak berkata, tidak berkomunikasi. Padanan bahasa
yang lebih tepat mungkin tidak ingin menggurui siapapun. Meskipun ia akan
pulang dengan predikat sarjana. Tetapi sekilas juga terkesan angkuh dan Fadzil
seperti memilih atau mencipta ruang sendiri. Sebab ia tak ingin berkata. Berarti juga tak ingin berbagi, melebur
bersama masyarakat.
Maos jugan
- Kerata Basa Madura
- Konsonan Alos & Dhammang
- Makanan Tradisional Madura
- Maongga Bako Madura
- Rèng Binè’ Ḍâlem Kepkeppan Jhâman
Sebagai
puisi yang lahir dari konteks zamannya, saya melihat Fadzil Shufinah seperti
cemas dan takut melihat realitas kampung. Sebab di dalam kampung terdapat perbedaan
yang kontras dengan kota. Kampung juga
identik dengan cara hidup yang erat dengan nilai bersama. Sedangkan kota
biasanya sebaliknya. Ditengah keadaan yang seperti itu, kampung lebih
memungkinkan individu turut lebur ke dalam ruang bersama. Sehingga sebagai
individu harus lebih mempersiapkan diri baik secara mental maupun intelektual.
Di
dalam ruang besama, seluruh kemungkinan bisa terjadi mulai intervensi hingga
provokasi sekalipun. Kemungkinan-kemungkinan semacam itu terbingkai dalam
banyak aspek. Bisa agama, pemerintah, politik, seni, budaya, tradisi, dan
segala macam. Barangkali itu ketakutan yang meneror Fadzil Shufinah untuk tidak
"berkata" ketika pulang kampung.
Dari
analisa tersebut, Fadzil Shufinah sebenarnya telah berhasil menjebak pembaca
terseret ke dalam bentuk keprihatinan atas ketakutannya terhadap realitas yang
belum terjadi. Meskipun apa yang disampaikan Fadzil Shufinah dalam puisi
tersebut menjadi sia-sia. Sebab ia menggunakan kata “ingin” kata tersebut tidak
mempunyai beban etis atau hanya lintasan
perasaan yang bisa berubah kapan pun tergantung keadaan.
Pada
bait ketiga, juga menampilkann hal yang sama. “juga tak ingin mendengar” kata
“ingin” menjadi kunci untuk melihat realitas yang sia-sia. Di dalam puisi
tersebut bukan keputusan final bagi Fadzil Shufinah untuk tidak berkata dan
mendengar. Tetapi sekalipun tidak berkata dan mendengar, bukan berarti tidak
melakukan apa-apa. Mungkin itu semacam siasat cara Fadzil Shufinah untuk
melihat sesuatu.
Yang
terakhir, sebagai keinginan tergambar dalam diksi “Aku hanya ingin tidur”
lagi-lagi Fadzil Shufinah melakukan hal yang sia-sia di dalam keinginannya.
Karena kata”hanya” mewakili peristiwa tunggal dalam pengucapan yang tajam dan
bulat. Tak ada yang lain, hanya ingin tidur.
Sampai
diksi terakhir, setelah membaca puisi tersebut seperti ada yang belum selesai
sebagai kegelisahan. ia terus menguntit perasaan dan pikiran. Pada sebuah
terka, jangan-jangan Fadzil Shufinah ingin mengheningkan diri dari realitas
duniawi. Kata “tidur” bisa menjadi puncak katarsis baginya dan ia kembali ke
dalam moksa. Tabik!
Sumenep,
09 Januari 2020
FayatMuhammad: merupakan Filsuf muda dari Kolpo, Batang-Batang, menekuni dunia seni,
pertunjukan, sastra, aktif di Forum Aktor Sumenep, Masyarakat Seni Pesisiran,
Language Theatre Sumenep. alumni IAIN Madura ini sehari-harinya berprofesi
sebagai pembatik di Tabun Educultural Art, sekarang memilih pulang kampung dan
menetap di Kolpo Batang-Batang Sumenep.