Meski aku dan dia berjarak, kami
tetap saling berbagi. Dia mengaliriku kesejukan, sedangkan aku mengiriminya
keteduhan. Aku yakin, dia sama bahagianya dengaku menjalani hubungan ini.
Sebelum akhirnya, perlahan-lahan suara deru mesin yang meraung-raung itu membuatnya
sekarat di depan mataku yang telanjang.
Hubungan ini tersebab seorang lelaki
paruh baya. Dia membawaku ke sini dan menempatkanku di sini. Aku sepenuhnya
percaya kepada lelaki itu. Dia orang baik, tidak akan membiarkanku mati
terlantar atau hidup tak berguna.
Malam ketika alam tak menabiri bulan
dengan kabut awan, lelaki itu menempatkanku –yang tentunya menurutnya tempat
yang tepat– di tanah kering kerontang ini. Aneh. Kedengarannya begitu,
bagaimana aku bisa hidup di tanah tandus seperti ini, padahal kodratku hidup di
tanah lembap bahkan rawa. Tapi, mata dan telinga tak selalu bisa menerjemahkan
kebaikan. Banyak kebusukan yang dibungkus kain sutra emas permata. Aku tetap
pecaya sepenuhnya kepada lelaki paruh baya itu.
Kemudian, lelaki itu bergerak
sepuluh langkah ke utara, menghadap kiblat dan bertakbir sebanyak tujuh kali.
Aku terkesiap, sebab tak berapa lama, tanah di depan lelaki itu pecah dan retak
serupa kilatan petir. Retakan itu kian membesar hingga akhirnya muncul batu
terhampar sepanjang lima belas meter. Di atas batu itu berjejer tujuh lubang
seukuran kepala manusia. Dari lubang-lubang itu menyembul air, mengalir ke arah
selatan dan menyesapi tanah tempatku tegak berdiri.
Lubang terbesar berada di deretan
paling selatan. Ia menyembulkan air paling banyak dan deras. Itulah lubang mata
air yang kusebut sebagai kekasihku, yang mengirimiku kesejukan dan aku, pohon
gayam, memberikannya keteduhan.
Peristiwa malam itu mengubah wajah
tanah tandus kering kerontang ini menjadi tanah kehidupan. Orang-orang dari
segala penjuru mulai datang berbondong-bondong dengan berkarung-karung harapan.
Mereka menjadikan lubang-lubang mata air sebagai sumber kehidupan. Mereka
bercocok tanam dan mulai membangun gubuk tempat tinggal di sekitar. Hingga
akhirnya, di sekitarku menjadi kampung penuh keramaian.
Aku tak salah memercayai lelaki
paruh baya itu. Dia manusia pilihan.
***
Maos jugan
- Ojan Malolo, Nemor Sakone'
- Krisis Iklim Makin Parah
- Langgem Baja e Saladi
- Penderitaan Manusia Diawali Ketika ia Merasa Memiliki
- Dinamika Keribetan Berjomblo
Orang-orang kampung beranak-pinak
dan bercucu-cicit hingga tujuh turunan. Mereka sama bahagianya dengan kami
sebagai sepasang kekasih, mata air dan pohon gayam. Kami terus berbagi
kesejukan dan keteduhan, seperti mereka kala memaneni tanahnya yang penuh
dengan biji-bijian. Bahagia.
Tapi, cukup satu turunan saja –yang
katanya menemukan kebahagian lain– mampu membuat aku dan kekasihku sekarat selama
bertahun-tahun. Tak kunjung selesai. Dan, membuat kami selalu disekap kelaparan
dan kesepian. Bahkan sebagian orang kampung tersisih senasib denganku. Mereka
turunan ketujuh yang selalu berkoar kemajuan peradaban dan kecanggihan.
Aku tak mungkin lupa meski itu hanya
kenangan. Pagi saat kabut embun sempurna menghilang, seorang anak kecil dan
ibunya berjalan di hadapanku. Anak kecil itu menyembunyikan wajahnya di balik
paha kanan ibunya yang mengenakan daster hitam. Aku tahu anak kecil itu
meremang. Dia tak mau melihatku atau terlihat olehku.
Diceritakan, kalau aku pohon
penunggu mata air dan kampung ini. Tak boleh ada orang yang menebangku atau
memotong dahan-dahanku. Kalau mereka memaksa menebang, aku akan mengeluarkan
darah. Dan, mata air yang berteduh di bawah rerimbunan daun-daunku akan
meluapkan air sebesar-besarnya hingga menenggelamkan kampung.
Mereka juga menceritakan kepada anak
cucu mereka, di dalam tubuhku terdapat ular besar. Tentu, bila aku ditebang
maka ular itu akan keluar dan memangsa habis orang kampung karena dianggap
mengganggunya.
Orang kampung pandai membuat cerita
tentangku. Mereka mengulang-ulang cerita itu, mewariskannya kepada anak
cucu-cicitnya. Kemudian mereka mempercayainya.
Aku tahu mereka berbohong tentangku.
Aku tidak punya darah seperti yang diceritakan orang-orang kampung itu. Di
dalam tubuhku juga tidak ada ular besar yang dapat memangsa mereka. Juga,
lubang mata air itu tidak akan mengeluarkan air melebihi biasanya. Tidak ada.
Itu cerita bohong orang kampung.
Tapi, bukan soal cerita bohong itu
yang peting. Aku sadar, mereka hendak menyelamatkanku dari tangan-tangan jail
tak bertanggung jawab. Mereka ingin membebaskanku dari orang-orang yang di
dadanya dierami keangkuhan dan kerakusan.
Bila cerita itu didengar anak kecil,
dia akan meremang dan menyembunyikan diri dariku. Bila cerita itu didengar anak
remaja, dia akan memandangku dari jarak jauh. Bila cerita itu didengar anak
dewasa, dia mendekatiku tanpa berani mengganggu. Sementara, orang tua mereka
terus menceritakan cerita tentangku.
***
Telingaku membengkak mendengar suara mesin itu meraung-raung. Mula-mula aku tak hirau, tapi lambat laun aku tak tahan. Sebab, raungan mesin itu bukan hanya dari satu arah, melainkan di seluruh penjuru arah di sekitarku. Aku seperti dikepung suara mesin yang terus bertalu-talu, saling bersahutan.
Seorang kakek, yang kutahu namanya
Kakek Karto, bertanya kepada lelaki asing yang sedang lewat di hadapanku. Aku
tidak pernah melihat lelaki itu sebelumnya.
“Itu suara apa?” tanya Kakek Karto.
“O, bor air, Kek. Kenapa?” jawab
lelaki itu.
“Untuk apa?”
“Ya untuk mengambil air yang ada di
dalam bumi, yang tak mungkin digali oleh manusia,” jelasnya.
“Aneh.” Kakek Karto mendesis tidak
mengerti. Pikirnya, bukankah air sudah berlimpah, kenapa mereka masih
susah-susah mengambil air ke kedalaman bumi. Tapi rupanya, lelaki itu mendengar
desis Kakek Karto dan mengerti kebingungannya.
“Tidak aneh, Kek. Ini kemajuan.
Orang tidak akan mengambil air lagi di mata air ini. Mereka cukup menadahnya
dari tembok-tembok mereka. Bahkan air akan langsung masuk ke kamar mandi
mereka,” jelas si lelaki asing itu.
Kakek Karto makin bingung.
Mengernyit. Kemudian, dia melepas baju untuk segera mandi, sedangkan lelaki
asing itu melanjutkan perjalanannya.
Sejak itu, setiap hari aku mendengar
orang-orang lalu lalang bercakap-cakap tentang mesin bor. Aku pun mengerti,
mereka mengebor tanah di pekarangan mereka untuk mendapatkan air dari dalam
bumi. Mereka akan menyedotnya dengan pompa air untuk dialirkan melalui pipa
kecil ke dapur dan kamar mandi mereka. Kabar terakhir, mereka juga menjualnya
ke penduduk kampung ini sehingga mereka tidak perlu lagi susah payah mengambil
air ke sumur.
Aku pun tersadar kalau sejak itu,
lubang-lubang mata air itu perlahan-lahan surut, hingga sekarat tak
menyembulkan air lagi bila kemarau. Padahal, sebelum ini tidak pernah terjadi.
Meski kemarau panjang melanda, mata air ini tetaplah menjadi sumber kehidupan.
Bukan hanya untuk penduduk kampung ini, tetapi juga orang dari kampung-kampung
sekitar.
Kakek Karto juga jarang terlihat.
Sekarang dia juga membeli air dari Haji Rahim, pemilik sumur bor. Meski dia
hidup melarat, air tetap kebutuhan nomor satu. Dia harus rela mengeluarkan
lembaran rupiah dari kantongnya. Apalagi, mata air di sini –yang gratis– sudah
sekarat.
Aku menajamkan pandang melalui ujung
tubuhku yang menjulang tinggi. Kulihat banyak petani menganggur karena tanahnya
kembali tandus dan kering kerontang. Mereka petani yang melarat karena tak
punya rupiah untuk mengalirkan air dari bor-bor. Begitu juga dengan hewan
ternak. Mereka kelaparan lantaran makin sulit rumput-rumput hijau untuk
didapatkan.
Inikah yang disebut kemajuan
peradaban. Kebahagiaan lain yang diimpi-impikan. Sebagian berjaya, sedangkan
yang lain sekarat melarat. Tak ada lagi air gratis. Kekasihku, mata air itu,
sudah sekarat.
- Kucing Ketiga yang AKu Tolong
- Sumber Energi
- Peringatan Isro’ Mi’roj: Tanggalkan Kehidupan Duniawi
- Dunia Serupa Halnya Kopi
- Jalan Terjal Kegalauan Umat Manusia
***
Kini, anak-anak kecil itu bukan lagi
meremang saat lewat di hadapanku, tapi malah mengambil batu dan melempariku.
Orang-orang juga sudah berani memotong-motong dahan-dahanku. Cerita-cerita
tentangku sebagai pohon penunggu lenyap dari kepala mereka.
“Pohon gayam tidak berguna!”
umpatnya.
Aku mengerti. Mereka kecewa padaku
karena aku tak bisa menjaga lubang-lubang mata air ini. Mereka terlanjur
percaya pada kebohongan kalau aku pohon penunggu. Bahwa aku menyimpan ular di
dalam tubuhku. Yang kapan saja, bila lubang-lubang mata air itu diganggu maka
ular itu akan berang menyerang. Tapi nyatanya, aku tidak mengeluarkan apa-apa.
Tetap diam membisu.
Mereka tak tahu kalau aku juga
sedang dicekam kesepian sebab kekasihku tak lagi mengaliriku kesejukan. Aku
kelaparan. Daun-daunku berguguran. Aku pun tak mampu lagi memberikan keteduhan.
Aku sama sekaratnya dengan lubang-lubang mata air itu. Sebentar lagi, tak akan
lama, aku akan pergi meninggalkan kampung ini untuk selamanya bersama
lubang-lubang mata air itu.
Aku tak tahu lagi, apakah aku harus bahagia karena mereka dapat melepaskan diri dari cerita-cerita bohong tentangku, atau aku harus bersedih karena mereka hidup saling memeras. Hidup berdasar kenyamanan dan keuntungan pribadi masing-masing.
Sumenep, 2022
Edy Hermawan, lahir di Batang-Batang Sumenep, Januari 1991. Tinggal di
kampung halamannya.