Mereka
sama-sama diam. Dalam diri perempuan setetes kesadaran mengalirur, kesadaran
yang terbengkalai, kesadaran yang terbuang di jalanan. Berdarah. Terlampau
kecewa pada arus air mata yang menghanyut kesadaran. “Kau cemas?” Tanya lembut
“Kau
kecewa pada waktu yang telah menyudutkanmu di warung ini? Selama ini kau
disini? Kau menghargai kehormatanmu dengan uang?” Tak percaya. Sunyi mengeruk
relung batin mereka. Perempuan itu tak mengubris.
“Selama
ini aku mencarimu.” Kalimat itu mengagetkan.
“Dua
tahun aku mencarimu, menunggumu di rumah dan malam ini karena aku tak kuat
menahan diri, nafsuku menjejal diri sendiri untuk segera datang kesini. Surga
para bajingan. Dan aku menemuimu. Aku tak percaya jika ini adalah kamu.”
“Aku
masih ingat malam itu. Kau menguliti harga diriku tanpa balas, meski kusediakan
kata-kata yang akan memanggangmu dengan ganas dan sadis. Kata-katamu membakar
kesabaranku. Di dadaku badai mengamuk. Kutahan kakiku yang gemetar ingin
menendangmu. Malam itu, marahku memuncak pada meja, piring dan barang-barang
dapur. Dan di dapur itu, kita sama-sama mepertahankan harga diri. Saling
menghidangkan kata-kata pedas. Memanggang aroma kemaharan. Di kamar, kita
saling melepas kebencian. Menguliti rahasia. Di sumur, kita menghamburkan
kecemburuan. Kita kehilanga kesadaran.
Maos jugan
- Puisi-Puisi Jufri Zaituna
- Coma Bisa Esto
- carpan: Mahbi Abine Pole
- Sajan Abit Oreng Atane Sajan Tadha'
- Jamal D Rahman Maos Carpan
Ku
tarik rambutmu, tapi aku tak berani menghantamkan ke pilar dapur. Kau
mendongak. Seperti beberapa menit yang lalu.” Sebuah ingatan muncrat.
Tiga
tahun lalu kita berpisah dan selama dua tahun sebelum bercerai kita tak
menghasilkan apa-apa. Anak tak lahir darimu. Barang-barang berharga hampir
ludes terjual. Selama tiga tahun aku sendirian dalam kecemasan. Telungkup dalam
keresahan tanpa tahu musim telah berubah.
Tak
ada waktu untuk bermesraan kecuali pagi hari sepulangku melaut jika kamu
bersedia. Atau sepulangmu menjual ikan-ikan itupun jika kau bersedia. Sebab
alasanmu tetap sama: lelah dan tak enak badan.
Aku
sadar, kelemahan memaksamu berlari dalam gelap malam. Semestinya malam itu aku
menghentikan larimu. Aku tidak tahu kamu menuju arah mana. Dan orang-orang
mengantarkan berita-berita tentangmu padaku bahwa kamu telah menjadi pemilik
bibir berwarna. Merah. Kuning dan Hijau.
Setelah
malam itu, banyak orang merasa telah membuang penyakit terakut dalam kampung.
mereka menghapusmu dalam ingatan. Kamu tak lagi menjadi buah bibir mereka. Aku
kembali melaut dan menikmati sendiri hasilnya.
Banyak
orang yang telah mencapku “tidak lelaki.” Karena tanpak dari sepinya keluarga
kita. Penghasilan tak bertambah, pohon-pohon warisan tidak berbuah, dan rahimmu
pun tak berbuah. Menurut orang-orang, keluarga dianggap tak bahagia jika ia
belum beranak. Akupun merasa beruntung, kamu tak meninggalkan seorang anak yang
harus kurawat sendiri. Bungkus pil-KB mu masih tersimpan dengan rapi.
Aku
bukan lelaki yang datang untuk sekedar merampungkan pelayaran di atas ranjang.
Ketika aku dari laut, kamu berdiri di ujung timur halaman dan membiarkan
matahari pagi merebut dingin dan basah tubuhmu.
Menghisap kehangatan yang kuinginkan setiap pulang. Aku memang datang
setiap pagi dan kamu pernah tak mau menjualnya. Pada saat seperti itu, aku
merasa wajib untuk merumuskan kehidupan kita tanpa bicara.
Hari
itu, kau begitu setia menungguku. Kau ingin cepat berkeliling kampung untuk
menjual ikan. Ada seorang yang sangat menanti kedatanganmu. Alasan yang
membahagiakanku. Aku merasa, kita telah memiliki pelanggan yang akan selalu
menanti ikan-ikan tangkapanku.
Tak
seperti biasanya, kau berangkat tanpa menyilahkanku makan. Aku tak
mempermasalahkan. Aku mencari nasi, ikan dan sayur di balekbhek[1]. Tapi, aku
tak menemukan apapun, selain bau ikan, sayur basi dan petis-petis yang meleleh
bercampur tumpahan cuka, cobek yang masih penuh trasi, timun yang mengering.
Aku
menyiapkan sendiri segala kebutuhanku. Nasi dan lauk-pauknya, sembari menunggu
kepulanganmu menjual ikan. Biasanya ketika matahari di atas kepala, kau datang
dari arah barat halaman. Tapi, siang itu, kau baru tiba pada saat matahari
menyinar dari barat. Bagiku, hal itu sangat tidak aneh, kau pasti nggosip
dengan pelanggan-pelangganmu.
Aku
mengurung niatku untuk sekedar bertanya tentang nasi yang belum kau masak,
lauk-pauk yang belum kau siapkan, sebab aku lebih merindukan dirimu dalam
perbincangan tubuh. Tapi, tubuhmu lelah dan tak enak badan. Lelah dan tak enak
badan. Jawaban yang selalu kau ungkapkan.
***
Perempuan
itu berangkat menjualkan ikan-ikan hasil tangkapan suaminya. Di wajahnya
mengalir aroma keceriaan. Berpindah dari teras rumah ke teras rumah yang lain,
dapur ke dapur. Dalam transaksi ikan, terselip perbincangan harga ikan, harga
kebutuhan, harga diri. Di tengah-tengah hangatnya perbincangan tentang harga,
terselip percandaan yang menjadi candu pertemuan. Tertawa cekikikan.
Perempuan
itu telah melalui beberapa halaman panjang dan ikannya terjual. Ia tiba di
sebuah rumah toko yang di depannya berdiri sebuah warung tempat para lelaki
duduk santai. Namun siang itu hanya ada seorang lelaki berkumis. Perempuan itu
membungkus ikan yang dipesan pemelik toko itu.
“Kamu
mau melewati rumah kan? Mampir ya. Kasihan anak dan istri. Sudah lama mereka
tidak makan ikan. Si kecil nangis.” Ucapnya sambil melangkah pulang.
Kamu
tidak punya istri, bagaimana bisa punya anak. Perempuan itu membatin. Perempuan
itu pamit pada pemilik toko untuk melanjutkan penjualan ikan ke rumah yang
lain.
Perempuan
itu sampai di rumah lelaki berkumis. “Kamu tidak capek, kerja terus-menerus?”
Tangannya mengelus bahu perempuan itu. Aroma ikan berhamburan melesat bersama
angin.
“Jangan!!!”
sambil membanting tangan lelaki di bahunya.
“Kau
tak usah menyembunyikan keinginanmu.”
“Kamu
tidak pernah ingin beli ikan. Hanya agar aku
mampir kesinikan? Aku capek dan ingin cepat istirahat. Belum masak dan
belum nyuci.” Bentak perempuan itu.
“Kau
takut pada suamimu yang tak pernah mengerti keinginanmu? Malam pergi melaut dan
pagi menyuruhmu menjual ikan-ikan hasil tangkapannya tanpa tahu keinginanmu
yang terdalam. Keinginan seorang istri, perempuan membutuhkan kasih sayang dan
perhatian. Kekuatan malam terletak pada
kekuatan lelaki di ranjangnya.” Desir angin meniup bau ikan. Perempuan itu
terdiam. Lelaki berkumis terus merayu. Rayuan mentah.
“Aku
ingin membahagiakanmu. Siang seperti ini, orang-orang pada tidur. Kita ke dalam
saja.” Tawar lelaki itu.
“Kenapa
kau memaksa?” Perempuan bau ikan itu melotot. “Jam satu malam. Ketuk pintu dapur
belakang dengan kalimat -Apakah malam cukup tenang?” Perempuan itu pergi
meninggalkan dua ekor ikan di depan lelaki.
Perempuan
itu melihat suaminya yang pulas berbantal tangan dan mulut terbuka. Perempuan
itu menuju dapur. Mengambil dandang untuk dicuci. Ia kaget karena dandangnya
penuh dengan nasi. Ia pun memeriksa ikan. Sudah tergoreng. Ia tak berpikir
panjang. Karena terkadang suaminya sering memasak sendiri. Perempuan itu
langsung mandi dan mengharumkan badannya. Mendekat pada suaminya. Suaminya bangun
dan tersenyum.
“Ini
hidangan untuk memabayar kelelahanmu.”
***
“Apakah
malam cukup tenang?” Terdengar suara dari belakang di antara kicau burung
hantu. Rembulan mengawang dalam gelembung langit hitam.
Mendengar
kalimat itu, perempuan terperangah. Tanpa baju, hanya dengan sarung yang cukup
untuk menutupi dari atas dada hingga lutut, Perempuan itu beranjak menuju pintu
dapurnya. Membukanya. Sangat pelan. Perempuan itu diam. Tanpa kelakar dan tanpa
bicara panjang lebar. Lelaki itu menikmati gelap malam, beralas tikar, di
samping lincak bambu yang penuh alat-alat dapur. Sebelum fajar mengumbar,
permainan telah bubar.
Sebuah
kalimat dari bibir perempuan itu “Tak cukup semalam dengan ketukan yang sama.
Apakah malam cukup tenang.” Menjadi kunci yang selalu dibawa lelaki itu.
Malam-malam berikutnya perempuan itu tak kesepian.
“Bagaimana
kalau lebih dini? Kalau jam satu, terlalu lama menunggunya. Aku tak kuat
menahan.”
“Lelaki
memang jarang kuat menahan. Selalu harus sesuai dengan keinginan dan kemauan
nafsunya. Jika itu kehendakmu. Aku takkan menghalanginya. Namun, aku takkan
bertanggungjawab jika terjadi sesuatu di luar rencana.”
“Semuanya
pasrahkan pada yang mengatur rencana.”
“Ini
bukan rencana baik. Ini rencana buruk.”
“Baiklah.
Aku kira datang sebelum jam itu, takkan bermasalah. Aku pulang.” Perempuan itu
mengangguk. Telentang dan terlelap.
Perempuan
itu bangun bersama suara adzan yang memecah kesunyian pagi. Memperbaiki
sarungnya dan mengikat rambutnya. Ia melihat kutangnya tertindih celana dalam
lelaki berkumis. “Ehmmm. Aku harus segera memakainya.”
Perempuan
itu menuju kamar mandi dan mencuci beberapa pakaiannya. Ia menuju dapur, hendak
memasak dan menyiapkan hidangan hangat untuk suaminya yang akan datang beberap
saat lagi. Berharap ikan-ikan tangkapan banyak, agar ia bisa berkeliling
menjual ikan dan mampir di rumah lelaki berkumis sambil mengantarkan celana
dalamnya yang tertinggal.
Suaminya
datang seperti yang dibayangkan. Perempuan itu memakai celana dalam yang
tertinggal milik lelaki berkumis.
“Aku
harus cepat-cepat, Mas. Nanti kalau ikannya masih ditaruh, bisa membusuk dan
orang-orang tidak mau membelinya. Pelanggan kita bisa beralih ke penjual lain,
Mas.” Suaminya mengangguk. Tersenyum. Merasa disambut hangat dan dihargai kerja
kerasnya. “Kalau mau makan, silahkan ambil di balekbhek, Mas.” Ucap perempuan
itu sambil berjalan setengah berlari.
Perempuan
itu bekerja keras seperti biasanya. Menawarkan ikannya dari satu rumah ke rumah
yang lain sambil bercanda. Melepas tawa dan saling bertanya tentang segala
harga. Tak lupa harga diri dan harga kelamin. Dan waktu kembali mengantarkan
perempuan itu ke rumah lelaki yang tertinggal celana dalamnya. Mereka duduk di
teras rumah lelaki itu. Bakul tempat ikan perempuan itu ditaruh dibawah
lincaknya.
“Celanamu
tertinggal.” Lapor perempuan itu sambil menunjukkan warnanya. Lelaki itu
mengangguk dan ludahnya ditelan “Buka di dalam saja sekalian.” Tawar lelaki
itu. Desir angin menghanyut bau ikan ditubuh perempuan itu. Perempuan itu lupa
membawa bakul ikan ke dalam rumah lelaki
itu.
Maos jugan
- Cerpen: Kehidupan Kedua
- Tase’ Tadha’ Omba’, Faidi Rizal Alief
- Matroni Musèrang, Nyalalat ka Tana Manca
- Bukan Lagi Pertempuran Fisik
- Makoko Sendhina Basa Madura
***
Kabar-kabar
tak sedap berseliweran menyucuk telinga lelaki berkulit legam. Ia masih tak
percaya pada kabar itu. Kabar yang tidak terbukti oleh matanya sendiri.
Suaminya hanya bisa bertanya apakah benar istrinya telah berlaku yang tidak
diinginkannya. Setahunya, istrinya adalah perempuan setia.
“Sampeyan
belum makan, Mas?” Tanya perempuan itu setelah melihat nasi dan lauk-pauknya
masih utuh.
“Aku
ingin makan bersama. Aku ingin mencicipi makan bersama, seperti orang-orang
yang sering makan bersama dengan istri dan anaknya.”
“Kita
kan sudah sering makan…”
“Kita
saling suap, hanya pada malam pernikahan. setelah itu kita berjalan sesuai
dengan keinginan masing-masing!” Namun istrinya membalas dengan kata-kata
menyakitkan. Pertengkaran tumpah di dapur. Peralatan-peralatan terbanting
sesuai keinginan masing-masing. Pisau hampir mengupas hidung perempuan itu dan
mengiris bibirnya. Seperti biasa, pertengkaran di dapur akan membakar harga
diri, membakar aroma kemarahan, memotong-motong selentingan kabar yang tak
nyata asalnya. Pindah ke kamar, saling membuka kebencian, melucuti
rahasia-rahasia dan menabur kecemburuan.
Istrinya
menyangka suaminya memiliki wanita simpanan di pantai. Suaminya menuduh istrinya
memiliki lelaki yang selalu masuk ke rumahnya setiap malam dan menikmati
tubuhnya. Perempuan itu diam. Pertengkaran usai tanpa kesadaran. Mereka
sama-sama diam. Istrinya telentang di lincak dapur. Suaminya di dalam kamar,
memeriksa kondisi kamar. Ia tertidur pulas. Istrinya datang, membangunkan,
mengingatkan waktunya berangkat melaut.
“Kau
hanya mengingatkanku untuk segera berangkat melaut. Itu artinya kau menyuruhku
untuk segera pergi.” Bentak lelaki itu.
“Lalu,
kau hanya ingin tidur pulas, makan, dan bertai? Dasar lelaki tak tahu diri.”
Pertengkaran kembali menuai. Kalimat “menghidangkan kelamin tidak pada
tempatnya” menghentikan percekcokan mereka.
Suaminya
pamit berangkat melaut. Ia berjalan dengan kepala miring. Pikirannya tertusuk
cerita-cerita tetangga. Cerita yang memanah kelelakiannya. Sesekali ia berhenti
di tengah jalan. Melanjutkan dengan langkah pelan. Tiba di pelabuhan pada saat
matahari surup. Ia tertinggal. Perahunya telah berangkat. Ia istirahat di
sebuah warung makan pinggir pantai. Tak lama ia pulang. Ia ingin pulang ke
rumahnya menemui ibunya, tapi ia batalkan
Langkahnya
lebih cepat. Seakan ada yang dikejarnya. Rumahnya sendiri yang dituju merasa
semakin menjauh. Ia menambah kecepatan langkahnya. Perasaannya semakin
memastikan kalau rumahnya semakin jauh. Tapi, tak terasa rumah telah
dihadapannya. Ia membelotkan langkahnya, menuju warung tempat kayu bakar. Ia
berdiam diri dalam gelap warung itu. nyamuk dan hewan-hewan yang hafal pada aroma
manusia mengerumuninya. Tapi ia tidak mengubah posisinya. Matanya tertuju pada
pintu dapur yang sedikit terbuka.
Malam
merangkak dalam gelembung angin yang membelai pohonan dan daunnya. Lelaki yang
celana dalamnya tertinggal itu datang seperti keinginannya. Datang sebelum
puncak pertengahan malam. Lelaki itu mengetuk seperti biasanya “Apakah malam
cukup tenang?” dan perempuan itu telah menantinya di dapur itu, beralas tikar.
Seperti biasa. Menikmati gelap malam. Nafas dipertaruhkan. Keringat mengalir. Mereka
terbuai sapuan angin yang melenyapkan bau-bau yang menyeruak dari dapur itu.
Mereka tenggelam di lautan asmara. Gelombang ombak yang membara.
Lelaki
berkulit hitam yang bersembunyi di warung kayu bakar itu turun. Menuju
dapurnya. Keris dikeluarkan. Keris itu menancap dan darah mengucur di punggung
lelaki berkumis. Istrinya menendang tubuh yang berdarah itu dan lari menerobos
malam.
Yogyakarta
2012
[1]
Lemari kecil yang dijadikan tempat ikan dan sayur-sayur, baik yang sudah di
masak atau belum. Berdasar kotak yang tersedia.