Pagi yang masih berembun. Basah air mata. Basah kenangan. Basahnya air liur mengental di jalanan. Sejak pagi
yang masih basah embun, aku menikmati aroma kota. Kota harapan semua anak desa.
Kota yang menjadi tempat mengiba semua orang. Orang yang dengan harapan
mendapat penghidupan lebih nyaman dari yang runyam di desanya. Tapi katak yang
terkapar kemarin sore di jalan itu kembali menusuk ingatanku. Kasihan sekali.
Jika katak itu terpisah dari keluarganya. Katak selalu melalang buana dari
tempat asalnya sendiri.
Kampung halaman mengambang di
mataku. Eh. Sejak tiba di kota ini aku tak mendapat apa-apa. Perlakuan pun yang
didapat jauh dari angan-angan. Sungguh malang. Ternyata kota adalah pembohong
kedua setelah penguasa. Aku menerbangkan asap rokok. Seperti menerbangkan
kekesalan di hatiku. Rokok ini hasil melinting sendiri.
“Aku akan pulang. Biar tidak
terlarut tanpa pekerjaan. Tak kerja tak punya uang. Tak punya uang tak makan.
Aku yakin di rumah lebih nyaman. Kerja. Kerja. Kerja. Meski di sawah. Di tanah
lapang yang membentang.”
Aku mendengar sebuah teriakan. Tapi
aku tidak ingin menoleh. Sebab itu suara yang biasa aku dengar. Paling cuma orang
yang ketakutan untuk melintas. Pasti nenek-nenek. Sangkaku. Ketus. Dengan
tertawa yang tertahan. Tetapi aku kaget
pada suara ‘debuk’, terdengar seperti ada orang yang terjatuh dari pohon
siwalan dengan ketinggian dua puluh meter di belakang kandang sapi beberapa
minggu yang lalu.
Paman! Kau kah yang jatuh dari
pohon siwalan? Aku menoleh. Tak ada
pohon siwalan. Yang ada gedung besar, sebuah toko berlantai lima. Menjulang
langit. Setinggi pohon siwalan yang biasa dipanjat paman.
Mataku kearah bunyi itu. Derai
penglihatanku adalah darah merah yang mengalir deras. Darah merah membasahi
lantai sebuah toko. Di luar, dindingnya bertuliskan dengan huruf besar-besar.
Seperti cakar ayam. Seperti kaki kuda yang dipotong-potong lalu dijadikat
tulisan.
Mungkin sedang berakting
frustasi. Sangkaku. Kan biasanya begitu yang sering aku lihat di tipi-tipi,
karena putus cinta lalu melompat dari gedung tertinggi. Banyak film-film yang
sering sekali mentontonkan orang-orang frustasi-bunuh diri. Mungkin dia adalah
salah satu artisnya. Kembali Asap rokok ku semburkan ke udara. Terasa lepas
segala resah, rindu dan kesalku. Terbang mengudara.
***
Maos jugan
Darah berkucuran. Membasahi
tubuhnya. Tidak seorang pun yang terpikat sedikitpun untuk menoleh kearah orang
yang terkapar diatas trotoar itu. “Heh, lihat orang itu. Terkapar di trotoar,
kenapa dia? Tolong panggilkan ambulans.” Dari arah timur, seorang perempuan
berteriak. Meminta bantuan agar orang yang terkapar diperhatikan.
“Kamu apa sih? Emang dia sapanya
kamu? Kok belum tahu kamu tiba-tiba meminta panggilin ambulans? Apa kamu
mengenal siapa nama orang itu.” Lelaki di sampingnya mencegah perempuan.
“Iya sih, tapi apa tidak kasihan
kalau orang itu mati lalu dibiarkan tanpa ada yang menolongnya?”
“Apa? Jangan sok baik Mam!
Jangan-jangan dalam tubuhnya ada bom yang ketika disentuh bisa meledak. Lihat
wajahnya sudah babak belur begitu.
Kau ingatkan! Beberapa hari yang
lalu tentang pengeboman bunuh diri di beberapa kota. Yang seharusnya aman dan
nyaman tapi malah ngeri setelah ada yang ngebom. Seperti Bali dulu. Yang
menyebabkan orang luar negeri jadi ngeri untuk datang lagi ke Bali. Ya sekarang,
keamanan sedikit lumayan dan sedikit runyam.”
“Jangan-jangan mereka yang
melakukan bom bunuh diri itu iri karena daerahnya tidak didatangi orang luar
negeri atau orang-orang yang biasanya hanya memakai bikini kalau ke pantai?
Biasanya kan turis-turis memakai baju yang banyak kurangnya. Dadanya sedikit
terbuka. Dan lain-lain. Jangan!” Dengan suara lebih pelan lelaki itu setengah
sadar tentang kenapa bom bunuh diri atau pengeboman itu terjadi. Analisis dalam
otaknya berbiak. Analisis adalah pikiran ngelantur yang dicoba-coba untuk
membentur nada sadar.
“Iya juga sih Pap! Tapi lihat
baju orang itu. Compang-camping kayak pengemis beberapa hari ini yang biasa
kita lihat di lampu merah dan sering menyanyikan Alasan Palsu. Dia to?”
Pertengkaran dan adu argumen
kedua orang itu mencuri perhatian banyak orang yang sedang berlalu-lalang di
depan gedung berlantai-lantai itu. Wartawan-wartawan berdatangan satu persatu
mengambil gambar mereka yang sedang berargumen dan adu mulut dari segala arah.
Foto kamera wartawan tanpa cahaya. Cuma bebunyian. Jeklek. Jeklek. Jeklek.
“Mam, tak usah berpikir bahwa
mereka melompat dari lantai setinggi itu lantaran ekonomi, putus cinta atau
apalah alasan yang lebih konyol dan alasan yang hanya membuat orang tertawa
atau geleng-geleng kepala. Kita coba dari sekarang berpikiran agak lebih baik
sedikit. Atau berprasangka jelek bagi orang-orang yang gitu-gituan lah. Masak
ketika ada orang yang melompat dari lantai setinggi itu langsung di sangka
orang yang sedang frustasi karena ekonomi, cinta atau kegagalan lain. Apa itu
tidak konyol.”
“Tapi, aku ngeri melihatnya, Pap.
Tak tega jika dia dibiarkan begitu saja. Kucing saja jika kita menabraknya
harus kita kubur Pap! Apa dengan orang mati kita biarkan begitu saja?”
“Mama!” Suaranya melembut. “Mama
hanya berprasangka baik buat orang yang mati itu. Coba aja tahu-tahu saat kita
mendekat semua, eh ternyata bomnya meledak dan orang-orang semua bisa mati.
Pasti keluarga kita yang disangka-sangka sebgai dalang pengeboman itu.”
“Kenapa sih Papa berpikiran
seperti itu? Apa Papa tega melihat orang itu mati tanpa yang menolongnya?
Ternyata pikiran Papa lebih jorok dari hari-hari sebelumnya.”
“Mam!” Lelaki itu menarik lengan
perempuan itu.
“Tak ada polisi. Tak ada petugas
keamanan yang datang. Coba bayangkan. Siapa seharusnya yang lebih dulu datang
jika ada kejadian seperti itu. Petugas keamanankan? Kenapa tak ada sama sekali!
Ngapain aja mereka. Udah siang lagi. Seharusnya mereka siaga. Jika ada kejadian
seperti ini langsung datang dan menolong orang itu.”
“Papa masih aja seperti anak
kecil. Lepaskan aku!”
“Mam!” Lelaki itu menarik
lengannya.
“Lepaskan!”
“Jangan Mam. Aku tak ingin
terjadi sesuatu denganmu.”
“Lepaskan!”
“Mam!”
“Aku mau pulang. Aku tak jadi
belanja. Memalukan!”
Orang-orang berkerumun. Kedua
orang itu benar mencuri perhatian banyak mata. Banyak mata tertegun melihat
mereka adu argumen. Merah darah membasahi lorong, mobil. Aku kaget karena rokok
tiba-tiba memerah. Semerah saga. Semerah darah.
Orang-orang tenggelam dalam kesibukannya.
Wartawan-wartawan pun mengambil gambar orang yang terkapar tak ada yang
menolong itu. Wawancara pun dimulai dari perorangan. Namun mereka serempak
menjawab “Aku tak tahu siapa dia.”
***
Maos jugan
- Ajuwal Live
- Dampak dan Proses Pencegahan Politik Agraria
- PERSIP Palalangan Ora’na Eyabi’
- Bilis-Bilis Ngangko’ Kakanan
- Contoh Undangan Bahasa Madura
Wah. Aku bisa minta tanda tangan.
Karena besok aku mau pulang dan setiba di desa akan ku pamerkan pada seluruh
orang desa bahwa aku mendapat tanda tangan seorang artis yang hari ini sedang
berakting ‘menjatuhkan diri’ dari lantai paling atas. Dari atas gedung yang
tingginya.
Tapi benarkah orang itu sedang
berakting. Kadang dalam film yang ada sedikit cerita pembuatan filmnya, ad
kamera yang digotong-gotong, kat! Kat! Kat!. Begitu kedengarannya. Tapi, dimana
sutradara? Dimana yang lainnya? Mungkin disembunyikan, biar tidak ada orang
yang tahu. Mungkin begitulah orang membuat film yang difilmkan.
Aku tak ingin tanda tangan artis
itu dituliskan di buku, ataupun kertas. Aku ingin tanda tangan itu ada di salah
satu bagian tubuhku yang akan dengan mudah orang-orang bisa melihatnya. Jadi
aku tinggal bilang. Nih lihat tanda tangan artis di dahiku.
Wah, pinter banget sutradaranya.
Orang-orang yang berlalu-lalang tak kaget dengan suaraku yang agak aneh. Seperti
apa filmnya yah? Aku akan nonton di desa nanti. Pasti selesai dan diputar
beberapa hari ke depan nanti dan aku sudah jelas ada di rumah. Aku akan nonton
di rumah Paman. Tapi pamas… sepertinya
Di hadapanku kesibukan kota telah
beranjak. Kota merangkak menuju entah kemana. Seperti beranjaknya matahari
meninggalkan pagi. Dari hening ke ramai. Keramaian. Lalu-lalang orang. Dalam
sendiriannya. Orang-orang berjalan sendiri-sendiri. Berpasang-pasangan.
Sekeluarga-sekeluarga. Sekelompok-sekelompok. Satu organisasi. Yang tak punya
pasangan, yang tak mempunyai keluarga, yang tak memiliki kelompok, yang tak
berorganisasi, dalam kesendirian.
***
Mereka ingin hidup. Kesibukan
mereka gunakan sebaiknya. Tak ada waktu tersisa demi kehidupan dan masa depan.
Tapi tak bisakah mereka menoleh? Mendengarkan jerit paling dalam.
Beberapa minggu yang lalu. Aku
hampir gagal berangkat ke kota ini. Pamanku terjatuh dari atas pohon siwalan.
Paman tak sadarkan diri. “Turunkan aku. Tolong. Turunkan aku!” suaranya
tertelan pedih. Suara ngelantur itu terus mengalir dari bibir Paman sejak tubuh
paman terjepit diantara dua pohon siwalan. Orang-orang mengatakan bahwa dirinya
telah diatas dipan. Sudah dipindah. Digotong bersama. Air mata menetes.
Orang berdatangan. Menghentikan
pekerjaan mereka. Menanggalkan pikiran mereka yang sesak hutang. Menanggalkan
perasaan yang diam-diam riang. Orang-orang larut bersama pada sesak nafas. Mereka
satu nafas dengan keluarga pamanku.
***
Tapi, apa iya orang itu artis
film? Apa iya orang itu berakting dalam laga? Kenapa belum ada yang menolong?
Aku kok miris melihatnya. Setega aku membunuh semut, tak setega hal ini yang ku
lihat. Orang-orang hanya menoleh dan tak mau menyentuh.” Aku tak beranjak dari
tempat duduk. Tak tega rasanya melihat orang ‘melompat dari’ lantai tujuh belas
dan tak ada yang menolong.
Duh Gusti. Jika benar ia artis
yang sedang akting. Kenapa tak ada yang mencarinya? Bagaimana istrinya?
Anaknya? Atau siapalah yang ada. Jika benar-benar itu sedang berakting jadi orang
yang frustasi, tapi kok tidak ada lanjutannya. Tadi cuma suami-istri yang
bertengkar, tapi masak iya, mereka bertengkar.
Tapi mengerikan sekali jika
membuat film harus seperti itu. Masak tak sakit sama sekali. Darahnya mengalir.
Artisnya benar-benar berani, jika itu memang sedang berakting. Berapa bayarannya
dalam sekali lompat?. Seandainya aku dapat bekerja demikian mungkin aku bisa
lebih cepat dan lebih sering mengirimkan uang ke orang tua. Tapi pekerjaan
benar-benar susah dicari. Aku harus cepat-cepat pulang. Biarlah ku tanami saja
sawah-ladangku, biar tak jadi kantor ataupun toko, gedung yang hanya dibuat untuk
disediakan bagi mereka yang ingin melompat. mengerikan sekali! Gedung didirikan
menggantikan pohon siwalan.
Aku ragu untuk menolong orang
yang terkapar dengan darah yang terus membasahi lorong, baunya beterbangan di
udara. “Mungkin orang itu benar-benar dilempar oleh musuh-musuhnya atau
penguasa. Kasihan. Sehingga dalam film itu tak ada yang berani menolongnya.
Orang-orang takut untuk menolong orang itu. Mungkin juga begitu. Mungkin orang
itu sering berdemo dan mengkritik penguasa, sehingga sekarang iya dilempar dan
dijadikan contoh pada seluruh masyarakat bahwa siapa saja yang sering
mengkritik penguasa akan dilempar seperti tikus. Terlilndas-lindas seperti
katak yang biasa ku lihat di jalanan desa. Iiih. Mengerikan sekali.
Orang yang terkapar itu masih
terkapar. Bau amis darah yang telah mengudara itu tak ada yang mencium. Seperti
tidak apa-apa. Tak ada yang merasa bau udara telah berubah. Barangkali karena
hidung mereka tertutup helm. Masker. Penutup hidung agar tak masuk angin. Juga
nafas buatan, angina buatan.
Aku berjalan. Tak lirik-lirik dari dekat. Tapi jangan sampai
ketahuan.
Masak aku mau bertanya ke Satpam.
Aku bisa disangka saudaranya. Soalnya wajahnya hampir sama; sama hitamnya. Wajahnya
kok hitam-hitam gitu. Aku melihat dari jarak jauh. Takut ketahuan Satpam
ataupun wartawan. Mana mungkin artis hitam begitu! Tidak mungkinlah.
“Ini proses pembuatan film kan?” Yang ditanya
tak mendengar. Karena tangis perempuan itu terlalu nyaring. Memekak telinga.
Telinga hanya mendengar nyaring tangisnya. Tak mendengar jerit air matanya.
Mata-mata tertutup dalam mabuk kesibukan. Mabuk pekerjaan. Mengejar waktu.
Dikejar waktu.
Film ini pasti seru. Aku akan
nonton di rumah Paman.
Aku tak percaya. Tak ada kamera
shoting disini. Tapi mungkin di taruh di tempat lain yang bisa melihat dari
jarak jauh.
Tidak!
Perempuan itu masih menangis, tak
tega.
Yogyakarta 2011-2012
nannti aku belajar yaaa
BalasHapus