Aku mendapat beasiswa S2 ke Negara Asu. Tapi orang tua melarangku berangkat. Terutama bapak. Pada saat akan kuliah S1 pun, juga bapak yang melarangnya, karena keterbatasan biaya. Dengan serius aku sampaikan akan menbiayai sendiri kuliah S1. Mereka pun tersenyum bahagia saat aku wisuda. Bapak kembali melarangku saat aku pamitan untuk berangkat ke Negara Asu.
“Kamu
senang mendapat bantuan dari negara itu, Nak?” nada tanyanya keras. Aku
mengangguk.
“Berangkatlah,
Nak. Permintaanku satu. Sepulang dari negeri itu kamu tak usah menginjak kaki
di tanah ini. Aku hanya bimbang, sepulangmu dari negeri itu, kamu lupa kakekmu.
Lupa pada tetanggamu, atau lebih dari itu. Kamu akan mencekik saudaramu dengan pelajaran
negeri itu.”
“Aku
selalu ingat kakek, nenek, ibu, dan aku tidak akan melupakan saudara-saudara.
Selama di rantau, aku selalu menanyakan kabar mereka? Dan pastinya aku ingin
bermanfaat bagi mereka semua.”
“Iya.
Yang terjadi pada kakekmu, tak ingin terulang lagi.”
“Aku
selalu mendoakan orang-orang terdekat, termasuk kakek!”
“Bukan
cuma itu. Apa tak ada cerita tentang kakekmu dari gurumu di sekolah?”
“Tidak!”
“Di
rantau pun kamu tak mendapat cerita tentang pembantaian kakekmu?”
“Siapa
yang membantai?”
“Kenapa
kamu belum mengetahui tentang pembantaian kakekmu?”
“Pembantaian
apa, siapa yang dibantai?” aku tak percaya. Apakah kakek dibantai nenek moyang
Negeri Asu ? Kenapa baru kali ini aku mendengarnya. Dari Sekolah Dasar hingga
Perguruan Tinggi, aku tak mendengar cerita pembantaian di negeri ini.
Maos jugan
- Kaum Milenial dan Literasi Digital
- Panggung Komedi di Indonesia
- Hal Urgent untuk Menjadi Pekerja Sosial Indonesia
- Seminar Proposal STIDAR Sangat Berwarna
- Rumitnya Pengembaraan
Bapak
diam. Melihat halaman rumah yang gelap. Lampu padam sejak tadi sore. Kami
menerangi teras rumah ini dengan lampu minyak tanah. Penerangan sederhana. Angin
barat menerobos jendela. Meniup kencang lampu kecil itu. Hampir mati. Bayangan
kami tergoncang.
Aku
nyaris tak percaya dengan ucapan Bapak.
“Kakekmu terbantai…” ucapan itu menusuk-nusuk jiwaku. Aku tak bisa
tidur. Galau panjang membawaku pada sebuah pertanyaan “Kenapa Bapak mengungkapkan
ini pada saat aku akan berangkat ke luar negeri. Di saat aku mendapat apa yang
kuharapkan. Mendapat beasiswa S2 di negeri itu?”
Kenapa
saat aku dipanggil belajar ke negeri itu, Bapak melarangku untuk pergi? Ia
mengizinkan, tapi tak usah kembali lagi. Apa guna jika aku tak diizinkan
kembali ke kampung halaman sendiri oleh orang tuaku sendiri.
Aku
bukan bermaksud melarangmu, tapi aku tak tega pada kakekmu, saudara kakekmu,
semua orang yang dibantainya. Kamu tidak akan bisa merasakan bagaimana rasanya
dilibas tank.
Takkan
ada cerita tentang itu. Cerita-cerita seperti itu di kubur dan tak boleh
diceritakan pada anak cucu bangsa. Namun siapapun yang berniat mengubur cerita
itu, aromanya tercium. Semakin dalam menguburnya, semakin keras aroma busuknya.
Tidurlah dengan tenang.
Aku
tak bisa tidur. Ucapan bapak tentang pembantaian akan tergiang dan menusuk kesadaran. Siapa yang membantai?
Apa
hubungannya denganku yang akan berangkat belajar ke luar negeri dengan kakek,
sampai bapak melarangku berangkat.”
Orang
tua dari dulu selalu menekankan sejak kecil untuk selalu belajar hingga nyawa
melayang, menceritakan tentang seorang ilmuan tanah arab yang berkelana hingga
ujung dunia, untuk mencari pengetahuan, sepertinya dengan cerita itu, ibu ingin
menyuruhku untuk mengikuti jejaknya.
Apa
hubungannya pembantaian dengan belajar di negeri orang?
Dari
dulu orang tua selalu psimis menyekolahkan karena keterbatasan biaya, tapi
sekarang ada gratisan, aku dilarang. Aku boleh berangkat, tapi tak usah
kembali. Keberangkatan kali ini adalah tampa doa orang tua? Bapak sendiri yang
selalu mengajari tentang restu orang tua, terutama ibu.
“Haruskah aku berangkat tanpa doa ibu?”
“Aku
takkan melarang.”
***
Dulu
seorang lelaki berhidung mancung, kulit putih kemerahan. Berbaju putih dan
sepatu hitam. Lelaki itu menaiki kursi roda besar yang ditarik dengan
hewan-hewan kuat yang bisa dikendalikan. Satu kuda dan satunya macan.
Datang
ke tanah subur ini. Tanah gepah ripah loh
jinawi. Ia tertarik dengan hasil tanaman-tanaman kakekmu. Lelaki itu
menawar hasil tanaman itu dengan harga tinggi. Kakekmu tergiur. Selain itu,
lelaki itu juga menawarkan tanaman yang sangat menggiurkan, yang akar hingga
buahnya sangat harum. Harganya mahal. Seluruh orang sangat membutuhkan.
Lelaki
itu sangat cerdas dalam merayu kakekmu agar menjual hasil tanamannya. Kakekmu
tergiur. Hanya kakekmu yang menjual pada lelaki itu. Kakekmu cepat kaya.
Kakekmu dipinta untuk kembali menanam tanaman yang diperlukan lelaki itu. Satu
petak tanah disewa untuk menanamkan tanaman paling berharga itu. Kakekmu dengan
senyum puas menyewakannya. Kakekmu bermandikan kekayaan.
Lelaki
itu meminta untuk mencari tenaga kerja demi kelancaran perdagangan dengan Negara
asal lelaki itu. Banyak orang tergiur untuk bekerja daripada menggarap tanah
sendiri. Mereka menyerahkan tanahnya untuk ditanami dengan sewa yang mereka
sepakati. Tapi akhirnya mereka tak lagi menemukan pekerjaan setelah lelaki itu
tak membayarnya. Bahkan mereka mempermainkan harga kebutuhan dan bayaran.
Kakekmu
kecewa dengan lelaki itu yang merusak tanahnya. Para pekerja banyak yang tak
mendapat upah yang seharusnya mereka dapatkan. Saat mereka meminta uang sewa
yang belum terlunasi, mereka diancam akan ditangkap. Orang-orang yang berbicara
dan menuntut terbayangi dengan ketakutan. Orang-orangpun diam.
Kakekmu
memaksa lelaki untuk membayar uang sewa yang belum terlunasi. Pembayaran sewa
tak sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Saat terdesak, hewan-hewan bawahan
lelaki itu kuat dan buas menghancurkan rumah-rumah penduduk. Hewan-hewan buas
dilepasnya. Tak disangka, hewan yang dibawanya sangat banyak. Kakekmu dan penduduk
tak mampu melawan keganasan hewan-hewan itu. Ganas.
Kakekmu
tertangkap. Disiksa dalam sebuah kamar kecil, pengap dan sangat bau. Tak ada
makan yang layak diterima oleh kakekmu. Kakekmu akan dilepas jika kembali
bersedia menanamkan apa yang diminta dan tak menuntut sisa uang yang terlunasi.
Kakekmu menolak dengan keras. Tapi saat anak perempuannya tertangkap, ditelanjangi
dan disetubuhi hewan-hewan di hadapannya.
Kakekmu menyerah. Ia tak tega melihat anak perempuan diinjak-injak hewan.
Kakekmu
mengumpulkan penduduk yang masih tersisa. Kakekmu menyuruh gadis-gadis mau
merawat hewan-hewan. Lelaki itu sangat senang. Lelaki itu tak tahu bahwa di
setiap gadis telah membawa keris untuk membunuh hewan-hewan buas setiap malam
dan bangkainya dibuang ke sungai dihanyutkan ke laut.
Maos jugan
- Multikultur Bukan Masalah Bangsa Kita
- Kuliner Madura dalam Percakapan
- Pajak & Pembangunan Moral
- carpan: Ojan Tek-karettek
- Betapa Tragisnya Keluargaku
***
“Aku
masih tidak mengerti apa hubungannya dengan keberangkatanku?” aku memotong
cerita. Apa yang sebenarnya terjadi dengan kakek. Aku kira lelaki itu adalah
saudaranya sendiri yang dulu melalangbuana dan pulang dengan pengetahuan baru
untuk menciptakan perdagangan.
“Kamu
tahu dari mana lelaki itu datang? Kenapa mendatangi daratan ini?” Tanya ibu. Aku
menggeleng lemah.
“Lelaki
itu dari utara. Dari Negara yang memberi gratisan sekolah padamu. Dulu, Negara
itu sangat miskin dan kelaparan merajalela disana. Mereka sangat kekurangan dan
miskin. Mereka menggali tanah, mencari makanan yang tersimpan dalam tanah. Tapi
tak ada. Tanah mereka sangatlah gersang dan tandus.
Dengan
kecerdasannya, mereka menyedikitkan makan agar bisa bertahan. Sebagian makanan
dijadikan bekal lelaki utusan mereka. Lelaki itu menyeberangi samudera. Lelaki
itu mendarat disini dan bertemu dengan kakekmu yang menguasai tanah ini.
Seperti
ceritaku tadi. Lelaki itu banyak mengambil makanan yang kakekmu tanam dengan
cara mengurangi setiap pembayaran sewa-sewa. Mengirimkannya ke asal negaranya.
Di Negara asalnya, makanan itu diolah dan diperdagangkan.
Lelaki
itu masyhur dengan kekayaannya. Lelaki itu juga menyebarkan cara berdagang yang
mapan. Ajaran berdagangnya sangat ampuh hingga sekarang, ajaran berdagang ini
paling diminati dimanapun, kecuali beberapa orang yang getir untuk berdagang.
Ajaran berdagang ini sangat dikagumi oleh banyak kalangan.
Meski
kakekmu nyaman dengan ajaran dagang ini, kakekmu kecewa dengan cara-cara yang
digunakannya, seperti membunuh saudaranya sendiri, menjauhkan dengan tetangga
yang tak bisa berdagang, seakan-akan ia berdagang dengan orang tertentu. Ajaran
dan caranyalah yang sangat dibenci kakekmu dan bapakmu hingga sekarang.
Jika
kamu berangkat ke negeri itu, ajaran mereka ditakutkan menjadi otakmu. Akan
menjadi tingkah lakumu.
Cinta
Republik 2012