JIKA tanpa keluarga, haruslah segalanya diselesaikan dengan sendiri. Memasak, makan,
mencuci, dan menyetrika dan hal-hal lain yang menyangkut kepribadian memang
harus diselesaikan dengan sendiri. Siapa yang akan bertanggung jawab pada diri
sendiri kalau bukan diri sendiri. Tapi, jika ada keluarga merekalah yang akan
membantu menyiapkan segalanya seperti yang kuceritakan tadi.
Seperti
yang terjadi saat ini padaku. Bisaku hanya menggaruk kepala. Tidak dapat aku
mengerti tentang sifat lupa yang
mengancam tatatan syaraf kehidupan manusia dalam segala lini. Entahlah. Lupaku
sangat mengancam. Akan membuat lumpu meski dengan kaki tak cacat, tapi jika
dalam perjalananan aku lupa cara menggunakan dan kegunaan kaki itu. Itu baru
tentang lupa. Ya. Aku lupa dimana aku menaruh kunci kecil yang bisa menyalakan
motorku. Padahal kami disini sudah seperti keluarga –menurutku- tapi entahlah
dengan mereka setelah tahu padaku yang menyebalkan.
Aku tidak dapat menebak isi-isi yang terkandung dalam benak mereka.
Mereka masih santai dengan layar kecil yang mengabarkan kebobrokan sebuah
instansi tertinggi. Padahal aku disini kebingungan dengan sebuah kunci kecil
yang mengganggu ketenanganku sendiri. Sudah aku tanyakan berkali-kali, mereka
hanya menjawabnya dengan tidak perhatian. Aku ingat. Akulah yang salah selalu
bertindak aneh didepan mereka. Mungkin karena aku sering beda haluan dengan
mereka. Ya, tapi aku tidak pernah mengganggu mereka. Barangkali semua yang ku kerjakan dianggap
menyalahi mereka.
Mungkin
karena setiap hari mandiku lama. Lebih lama dari mereka. Tapi hanya karena itu
mereka selalu saja berpaling dariku.
“Adayang mengetahui dimana kunci motorku?” aku mengulangi pertanyaanku yang
kesekian kalinya. Tetap saja seperti biasa, tak ada jawaban. Mereka masih
menertawai sebuah kelakar yang ditayangkan sebuah setasiun televisi.
“pengumuman…!”
“Apa.
Apa?” Tanya seorang
Maos jugan
- Dhalem Molang Are XIII, Kodu Maemot Aba’
- Studio Pertunjukan Rakyat
- Pentingnya Akte Nikah
- Dari Dusun: Kami Menyusun Harapan
- Belajar Bisikan Tanah
“Bagi
siapa yang menemukan kunci motorku, akan saya traktir! Siapa saja. Akan saya
traktir dengan sepiring nasi lengkap dengan minuman semaunya.”
“Serius?”
Tanya Andi
“Ya.”
Tegasku
Mereka
baru ada yang berdiri. Pancinganku berhasil. Barangkali umpan memang harus ada
untuk memanggil hati. Seperti ayam, ia tidak akan mendatangi panggilan jika
tidak ada umpan. Barangkali kuroptor harus diumpan dengan uang yang lebih segar
dan bermiliar. Hah!
Umpan
ini tidak akan sia-sia. Ada beberapa orang yang beranjak mencari karena umpan
yang kutaburkan berbuah harum dipenciuman mereka: nasi dan minuman semauny.
Mereka Mengasak seluruh yang ada, termasuk tas beserta isinya, seluruh saku
yang menempel dibaju dan celana. Mereka tetap tidak menemukan. Antara Andi dan
beberapa teman lainnya mencari dibeberapa seluk-beluk lubang, tapi tetap saja
mereka tidak mendapatinya.
“Sial!”
kata Andi. “Dimana kamu taruh sih?”
“Itu
dia aku lupa. Sekiranya tidak lupa, ya mungkin tidak hilang.”
Mereka
masih mengasak lubang-lubang yang tertangkap basah dengan penglihatan mereka. bahkan
kamar mandi mereka datangi, tetap tidak mereka temukan. Aku bingung sendiri.
Dimana ya? Ku garuk kepalaku. Sampai ketombe-ketombe dikepalaku habis dan hah,
bahkan kepalaku hampir berdarah. Aduh. Parah! Kunci motorku masih belum juga
ketemu.
Kulihat
mereka mengasak lubang-lubang yang mereka lihat. Buku-buku yang asalnya rapi
tiba-tiba berantakan, dan mereka tidak merapikan lagi. Mereka mengeluarkan
tenaganya untuk menemukan kunciku. Terlihat di wajah mereka sebuah perjuangan
tajam. Mereka seperti pejuang empat lima yang akan melenyapkan kolonial
ditubuhnya sendiri, kau pasti bertanya apa kolonial ditubuhnya? Itu tidak
perlu. Karena kolonial sudah minggat orang-orangnya. Tapi ya kalian pasti lihat
sendiri, perut mereka telah mencabbuknya.
Hanya
dengan sepiring nasi mereka berkejaran untuk menemukan kunci. Saling
mendahului. Mereka berjuang demi pembebasan yang masih bergelantungan
dibenaknya yang tertampung dalam perutnya. Kekenyangan yang setengah masih
mengundang mereka memperjuangkan sepiring nasi dan minuman yang lama impikan.
Ini adalah saat yang tepat bagi mereka. Kerja keras mereka tidak dapatdipungkiri.
***
Ada
satu temanku yang hanya senyum-senyum mengelitik dengan bukunya. Padahal Dia
membaca buku tentang teori-teori pembebasan. Barangkali ada yang lucu dengan
teori yang dibacanya. Lelaki kurus ini agak aneh dengan berbagai lelakon yang
gelutinya. Bahkan sehari-hari tingkahnya sangat nyentrik sekali. Semua
tindakannya sangat tidak masuk akal. Belajarnya tidak sesuai dengan jurusannya,
Dia hanya kadang-kadang membaca
teori-teori dari jurusan yang seharusnya dibaca. Temanku ini lebih aneh dari
anehku yang aneh! Aneh!
“Kau
lihat dimana kunci motorku?” tanyaku.
Dia hanya menggeleng. Tidak menghiraukan apa yang aku tanyakan, itulah dia
sekali bersama bukunya tidak dapat diganggu gugat dan dapat
dipertanggungjawabkan. Aku selalu menggaruk kepalaku. Tanpa sadar rambutku ada
yang rontok dengan tarikan tangan yang sangat pelan.
Aku
masih bingung. Sedang Andi sudah meminta ampun atas ketidakmampuan dan
kepegalannya dalam mencari kunci motor kecilku. Sudah lebih satu jam mereka
mengotak-atik seluruh yang ada dalam kamar besar ini. Sedang yang lain ada yang
masih tidak menoleh dari layar yang menayangkan kelucuan dalam negeri. Apukun
terkadang sempat berterima kasih atas tayangan itu, jika tidak ada itu
barangkali akan lebih pusing lagi melihat saudara-saudara yang berkeliaran
diantara lampu-lampu merah.
Tapi
untuk malam mini rasanya aku minta maaf untuk duduk beberapa menit saja didepan
layar itu. Dibenakku masih berdiri sebuah kunci motor kecil yang tiba-tiba aku
lupa dimana menaruhnya. Padahal biasanya aku taruh ditas, atau kalau tidak
dicelana, aku selalu membawanya. Tidak pernah aku tinggal kecuali aku ingin
mandi.
Suara
adzan isa telah berkumandang diudara. Menbentur dinding hingga gendang-gendan
telinga siapapun, baik yang islam, yang merasa islam, yang berKTP islam atau
hanya mengaku islam bahkan orang-orang yang bukan islam pun akan mendengarnya
tanpa disadari. Aku yakin itu.
Aku
telah usai melaksanakan perintah Tuhan setelah ada iqamah menggema dari masjid
sebelah dengan suara melebai. Shalatku setengah tenang, setengah khusyu. Oh
tidak, niatku tidak setengah-setengah. Meski dalam shalat kunci itu tetap
berdiri dikepalaku, seperti sebatang ringgis yang mencercah otakku. Tidak bisa
aku singkirkan untuk setengah menit saja. Untuk sekedar berhamba pada-Nya. Tapi
itulah yang keseringan.
Suara
motor dihadapan pun ikut mengganggu keheningan yang meriang dalam benakku.
Gas-gas tajam yang mengerang diantara telinga telanjang dan debu-debu yang
beterbangan hinggap didaunan, memasuki kamar seluas empat kali delapan meter
ini yang ditempati lebih dari lima orang tanpa pemisah kamar, hanya kamar yang
tertutup denga resmi.
“Memang
kuncimu dimana ditaruh?” selesai shalat lelaki kurus itu bertanya. Dengan
memutar telunjuknya didepan hidungnya. Dia mirip seorang dukun yang lagi
menebak suatu tempat.
“Ya, seandainya aku ingat. Pasti tidak aku tanyakan
pada kamu!”
“Sudah
dicari kemana saja?”
“Jangan-jangan
kau yang menyembunyikan?” sangkaku
“Berani
bersumpah aku tidak tahu.” Tegasnya didepanku dengan menjulurkan tangan
kirinya.
“Ditanya,
malah nyangka yang bukan-bukan. Kamu mau dibantuin apa nggak?”
“Ya.
Ya.” Anggukku memaklumi.
“Ku
coba untuk mencarinya. Siapa tahu aku dapat menemukannya.” Ucapnya seorang
diri. Dia melangkah mendekati ke beberapa tas, rak buku, lemari dan celanaku
dan dia tidak menyentuh lemari yang digunakan bersama. Lemari karet itu dia
biarkan. Dia mencari pelan-pelan. Tidak seperti Andi dan temanku yang lain. Dia
sangat runut. Sekali-kali dia memutar telunjuknya. Masih belum menemukan.
“Kemarin…”
katanya terpotong entah oleh apa. Akupun tidak mengerti. Dia masih
berputar-putar antara rak buku, saku celana dan baju, seluk-beluk lubang dan
tas. Tapi dia tidak memberantakan bukunya. Dia sangat pelan dalam mencari.
Seperti tidak pernah menyentuhnya pada rak, tas, baju dan celana. Dia tetap
tidak menyentuh satu lemari yang digunakan bersama.
Maos jugan
- Kaum Milenial dan Literasi Digital
- Panggung Komedi di Indonesia
- Hal Urgent untuk Menjadi Pekerja Sosial Indonesia
- Seminar Proposal STIDAR Sangat Berwarna
- Rumitnya Pengembaraan
Sahabat
yang setengah akrab ini masih berputar-putar antara itu-itu dan ini-ini.
Mengitarinya. Entah apa maksudnya. Jangan-jangan dia mempunyai ilmu kedukunan
yang bisa membaca barang-barang yang hilang, atau jangan-jangan sahabat ini
mempunyai jin yang bisa membantunya menemukan barang itu. Tapi, dia rajin
sekali menunaikan perintah Tuhan yang lima waktu.
“Ini
bukan kunci motormu?” suara itu mengagetkan aku yang hampir lelap oleh belaian
angin. Aku cepat bangun mendatangi suara. Oh! Kunci motorku ternyata ditemukan.
“Dimana
ditemukan?” tanyaku
“Di
lemarimu.”
“Masak.
Lemari yang mana?”
“Ini.”
“Bukan.
Itu bukan lemariku. Itu lemari Andi. Di, kamu menyembunyikan kunci motorku?”
tanyaku berkelakar pada Andi.
“Nggak.
Serius nggak!” jawabnya. Dahinya berkerut.
“Padahal
aku tidak lapar. Aku hanya kasihan. Karena aku juga pernah mengalami hal yang
sama. Ketika aku kehilangan, semuanya yang ada dalam kamar dilempar. Ternyata
tetap ketemu apa yang hilang. Barulah setelah tenang, aku menemukannya karena bantuan ibu.” Statemennya
sepulang dari Burjo ASI. Warung tempat makan para pengangguran yang terhormat.
“Ku kira, kau teman yang sangat menyebalkan dan hanya bisa menyebalkan.” Ucapku padanya. Tapi dia hanya menoleh dan tersenyum.
Lembah Wungu 2011/00:30
*Terbit di Koran Joglo Semar 10-Juli-2011 dan terantologi dalam “DUA ARUS” 2012