DI wajahnya mengalir buliran air yang memantulkan sinar matahari. Air itu kuning
keemasan. Air yang mengalir ditubuhnya ingin ia tukar dengan cita-cita yang
dikalungkan di leher anaknya terbayar di hari tuanya. Buliran air itu ia
biarkan mengalir dari dalam tubuhnya dengan deras. Tidak ada dalam bayangannya
untuk mengambil kembali cita-cita yang telah ia kalungkan di leher anaknya.
Tidak ada niat untuk mewariskan profesi yang ia geluti saat ini. Tidak ingin anaknya
melanjutkan profesi yang digelutinya. Sebuah pekerjaan yang harus tak kenal
dalam melaksanakannya.
“Panas
akhir-akhir ini benar-benar menggigit.” Ucap Mad Ja’i pada teman sekerjanya.
Lelaki yang datang untuk membantu memodali dan ingin bekerja seperti itu pula,
bernaung di bawah terik matahari.
“Kalau
dulu, pelepah pisang tak sekering.” Sambungnya lagi. Teman Mad Ja’i masih diam.
Hanya gerak kepalanya yang digunakan untuk mengiyakan. Asap yang mengepul di
depan temannya menandakan gerak-gerak semilir angin yang sedang mengipas tubuh
mereka berdua. Asap itu sering berhamburan dari mulut temannya.
Mad
Ja’I tidak begitu kecanduan pada lintingan kretek maupun berfilter, ia merasa
batangan lintingan terasa hambar di ujung mulutnya yang legam mengkilat itu.
Mad Ja’i tidak bosan-bosan u berangkat kerja sehari-harinya. Pekerjaan adalah
tugas yang datang dari pribadinya untuk keluarga, itulah demokrasi untuk
dirinya dan keluarganya. Panas datang, tak ia hentikan profesinya untuk
mengepulkan asap, meski tidak duduk diatas kursi yang berputar, dalam ruangan
yang ber-AC, kecanduan untuk menunaikan profesinya seperti tidak dapat ia
hentikan begitu saja.
“Aku
bekerja untuk diri sendiri, untuk keluarga, anakku. Ya lebih-lebih bisa
membantu tetangga.” Ucapnya suatu ketika dalam termenungnya, sehabis menebang
pohon siwalan yang dibeli dari tetangganya. Itulah bagian kecil dari profesinya
yang menjadi tugas dinasnya setiap hari. Profesi sederhana, tidak menuntut
aturan, tidak menuntut presensi, hadir atau tidak hadir ada di tangannya
sendiri. Sehingga tidak ada kewajiban untuk membubuhkan tanda tangan di kolom
yang tersedia. Jika tidak bisa hadir, ia tidak harus minta izin, jika tidak mau
datang ia tidak harus mengirimkan tanda tangan. Hah? Iya. Mad Ja’i tidak akan
menitipkan tanda tangan pada orang lain, tidak akan menitipkannya pada teman
terdekatnya sekalipun.
Ya, ia akan berangkat jika ada orang yang menawarkan pohon siwalan untuk dijual
pada dirinya, ia akan berangkat jika ada orang yang memesan pohon siwalan untuk
penyangga atap rumah, lalu ia kan mencari orang yang akan menjual pohon siwalan
atau pohon kelapa agar bisa di produksi ulang bersama karyawannya sebagaimana
pesananan pembeli. Membeberkan kriteria yang diinginkan pembeli. Membeberkan
pada siapa saja yang ia temui dalam perjalanan menuju tempat kerja yang tidak
tentu.
Maos jugan
Terkadang
ia membeberkan kriteria itu pada orang yang akan menaiki pohon siwalan untuk
mengambil niranya dari beberapa batang manyang. Terkadang kupingnya mendengar,
ada saudaranya, tetangganya, dan orang-orang lain yang membutuhkan uang. Jika
seperti itu, artinya orang itu akan menjual salah satu pohon yang disayanginya.
Seperti pohon siwalan yang sangat deras mengalirkan nira pada tiap pagi dan
sore bagi pemiliknya; air nira yang menjadi pengepul asap kehidupan para
tetangga Mad Ja’i. Ia sangat bangga jika ada orang yang akan menjual pohon jati
sebesar pelukan tangannya atau bahkan melebihinya. Senyumnya seperti tidak akan
tergantikan dengan kebahagiaan yang lain selama berminggu-minggu.
Senyum
itu akan datang bila ada pesanan yang berkaitan dengan kayu, mulai dari kayu
bakar, kayu bahan bangunan yang biasa berdiri dan telentang di bawah atap,
bahan jendela, pintu atau dipan. Iapun akan mencari bahan-bahan itu seperti
yang pemesan utarakan. Mencari pada tetangga dekat. Tidak lupa untuk merayu
orang-orang yang memiliki banyak pohonan.
Sebelum matahari menyusup di balik-balik lambaian dahan dan daun pohonan, Mad
Ja’i harus tiba di rumahnya. Untuk melihat anaknya yang akan berangkat ngaji ke
surau. Untuk menciumkan tangan pada anaknya. Seperti biasa sebelum fajar
tergelar di timur. Mad Ja’i akan mencuci wajahnya hingga kakinya. Menadangkan
tangannya ke langit.
“Meski
ini pekerjaan berat, aku tidak akan berhenti. Aku sadar. Lulus TK pun aku
tidak. Biarlah anakku yang harus lebih tinggi sekolahnya dariku. Aku tahu. Jika
aku menunggu pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan, itu hal mustahil.
Apalagi aku tidak memiliki ijazah sebagaimana pemerintah inginkan.” Suara itu
keluar pada malam purnama kliwon, sekitar jam dua lebih. Saat orang-orang ada
yang terlelap dalam selimutnya. Di pipinya ada linangan air mengalir, tiba-tiba
terasa asin di bibirnya yang legam.
“Semoga
anakku menjadi Guru sebagaimana guru biasanya, akan mengajar meski tanpa
dibayar. Semoga anaku tidak mengeluh jika memiliki bapak yang kere, bapak yang
hanya bisa mendoakan pada malam hari. Semoga anakku sabar di suraunya sekarang,
seharusnya ia masih dalam buaian ibunya, tapi ia mau berangkat ngaji ikut
kakaknya dan tidur di surau.” Air yang setengah asin semakin menderas alir di
pipinya. Sedunya semakin nyaring di Kobhungnya.
“Aku tidak ingin anakku sama melaratnya dengan aku. Biarlah aku dan ibunya yang
melarat seperti ini, tapi tidak dengan anakku. Ia masih kecil. Tuhan...”
Kepalanya hanya menggeleng-geleng. Lambat dan sebuah harapan agar tidak terjadi
pada anaknya.
Di
kobhungnya ia akan menunggu fajar dengan menelungkup dalam selimut. Ia rebahkan
lagi tubuhnya dengan alas tikar daun siwalan yang biasa dirajut oleh istrinya
untuk menambah kayu bakar demi mengepulnya asap dan isi perut. Ia tidak ingin
kalah pada ayam, ia tidak ingin paginya hilang dipatuk ayam karena ayam sering
mencuri pagi. Ayam lebih sering mendahuluinya. Lalu ia akan bangun bersama
fajar. Sehabis ritual yang diawalid dengan takbir dan diakhiri dengan salam ia
akan mengisi bak mandinya. Agar anaknya tidak susah saat mandi, saat mencuci
muka dan bersikat. Memikul air dari sumur yang ada di belakang dapurnya ke bak
mandinnya. Karena dulu ia tak tahu kalau akan ada sumur di belakang dapurnya.
Sehingga ia tidak menaruh kamar mandi di sampin sumurnya.
Seperti
biasa. Sebelum Mad Ja’i menciumkan tangan pada anaknya dan mengusap kepala
anaknya ia tidak akan berangkat dengan kapaknya. Selain itu ia ingin langsung
menatap keriangan anaknya saat menerima uang saku dari dirinya. Ia akan
berangkat ketika anaknya telah mengucap salam.
Mad
Ja’i berjalan dengan santai. Di tangan kanannya ada kapak. Lambaian tangan
kirinya tak seimbang dengan kanannya. Jalannya tampak berat sebelah. Barangkali
karena gangguan kapak. Kapak di tangannya sering saja menetak apa saja yang
mengganggu perjalanannya, namun lelaki itu tak sembarang menebang pohon yang
merunduk pada jalan, tak sembarang menebang pohon yang ia sukai. Ketika ia
berjalan dengan kapak di tangannya hanya untuk memastikan keadaan kayu atau
pohon yang ditebangnya besok atau nanti sore setelah deal dibeli dengan harga
yang sesuai dengan kesepakatan antara penawaran dan permintaan.
Ia membelinya untuk didaur ulang dan dijual dengan kesepakatan harga yang
diproses antara permintaan dan penawaran dari lelaki itu dan lelaki itupun
menjualnya dengan harga pas dan tidak merugikan dirinya dan tidak membuat orang
lain kecewa dengan batangan kayu yang telah sesuai dengan permintaannya. Untuk
menjamin itu, agar kayu yang dibelinya dan agar ketika dijual tidak merugikan
dirinya, sebelum ditebang lelaki itu harus memukulkan punggung kapak untuk
memastikan apakah kayu itu tengahnya berlubang karena dimakan semut atau tidak,
itu jika kayu, jika pohon siwalan atau pohon kelapa, ia harus menaikinya
pohonan itu paling tidak dua meter sebelum sampai di ujungnya dengan ketinggian
pohon diatas duapuluh meter.
Hal itu ia lakukan agar pohon itu tidak putih, sebagaiman yang ia inginkan
adalah pohon siwalan hitan hingga ke ujungnya, untuk itu ia menyuruh orang yang
bisa menaiki pohon siwalan untuk melukai pohon itu, untuk melihat hitam atau
tidaknya. Karena ia sendiri tidak bisa menaiki pohon yang tinggi tidak berdahan
itu. Mad Ja’i sangat takut sekali menaiki pohon setinggi itu. Ia hanya berani
pada yang satu tangga.
***
- Soal Bahasa Madura Kellas IX
- Puisi-Puisi Jufri Zaituna
- Anekdot: Ya' Ko' Kerreng
- Perjalanan dan Perjuangan Dakwah Abu Hasan al-Shadhili
- Konye’ Gunong Monggu Kerrong ka Omba’
Lelah,
capek dan letih menggeroti tubuhnya. Ia harus segera telentang dan melelapkan
tubuhnya, pikiran dan segala yang biasa bergerak, bahkan istrinya pun tidak ia
sentuh dengan kemesraan biasanya untuk kehangatan. Malam ini ia memilih teras
rumahnya sebagai pelampiasan rasa ngantuk yang berjubel di matanya. Biar angin
yang semilir dapat mengipas tubuhnya dan dengan mudah kantuknya cepat melesat.
Pikirnya pragmatis. Tapi angin yang diharapkannya tidak mampu menyejukkan
tubuhnya.
Meski
matanya tertutup, tapi tidurnya tidak nyenyak. Seperti ada yang hilang dalam
bayangan pikirannya. Seperti ada jejak langkah kakinya yang dicuri hewan dalam
perjalanan pulang. Lebih-lebih lempengan-lempengan pertanyaan yang memburunya.
Meski tidak melakukan sendiri, tadi pagi ia memang melukai pohon siwalan yang
dibeli dengan harga cukup mahal dan ia percaya pada temannya yang mengatakan
bahwa pohon siwalan itu hitam, seperti yang diinginkan pembeli. Tapi malam ini
nyenyak tidurnya seperti terganggu dengan pertanyaan kecil-kecil yang menyucuk
rahang-rahang di batok kepalanya, terkirim ke isi dadanya melalui syaraf
kecilnya. Mad Ja’i hanya bisa bergolang-guling di teras rumahnya.
Rembulan
yang berjalan pelan diatasnya tidak benar-benar bulat. Tapi perak warnanya
tidak kurang sepeser pun. Warna perak itu bisa mengemas malam menjadi malam
rindang, malam harum dengan taburan pucuk-pucuk bunga manyang, bunga siwalan
dan bunga pohon kelapa, dan bunga-bunga pohon yang Mad Ja’i tebang setiap hari.
Rembulan itu tidak sempat menyorot Mad Ja’i yang sedang ingin melelapkan
tubuhnya di teras itu. Karena pada malam itu rembulan tidak menebar peraknya di
dini malam. Lubang-lubang kecilpun tidak mampu untuk mengantarkan perak
rembulan itu ke tubuhnya. Rembulan pada malam itu dalam lingkaran bulat yang
mengelilinga. Awan-awan melintasi di bawahnya. Pelan. Kapal terkadang juga
melintas di bawahnya. Tapi pertanyaan kecil di batok kepala Mad Ja’i masih
terngiang, “bagaimana kalau siwalan itu putih?”
Mad
Ja’i tersenyum puas. Tidak disangka sumur yang dalamnya lebih dari dua puluh
lima meter itu airnya meluap sendiri, mengalir dengan deras hingga ke
ladang-ladang yang mengelilingi rumahnya. Sumur itu terletak di belakang
dapurnya yang menghadap ke selatan. Ia dapat dengan mudah memindahkan air itu
ke bak mandinya, ke dapurnya. Tanpa pompa air. Tanpa menimba juga.
“Sekarang
aku tidak lagi menginginkan untuk membeli pompa air, buat apa beli pompa air,
kalau air sudah meluap seperti ini, tidak ada gunanya. Wah ini melebihi orang
kaya. Orang kaya kalah. Mereka harus membayar listrik agar pompa airnya
bisa mempompa air. Akh...” Ucapnya berlagak sinis dan mencibir. Istrinyapun hanya
tersenyum. Suatu saat yang jarang terjadi dalam hidupnya.
Orang-orang
yang biasa menimba air di sumur itu, seperti laron yang menemukan sinar di
malam gelap, berkerumun, menimbanya dan langsung memasukkan ember-embernya ke
mulut sumur itu. Seharian orang-orang tidak sepi di rumahnya. Datang
bergiliran. Lebih ramai dari biasanya. Sungguh ia tidak menyangka akan
kedatangan air seperti itu. Yang langsung meluap dari dalam sumur yang sangat
dalam itu.
Nyanyian
yang biasa berlantunan menandakan fajar tiba mengganggu nyenyak tidurnya. Mad
ja’i bergegas ke kamar mandi. Air dalam bak mandinya masih sedikit seperti
biasanya. sebelum membasuh mukanya, berkumur, hingga mencuci kakinya Mad
Ja’i harus menimba air di sumurnya paling tidak tiga ember. Ehm hanya mimpi.
Celetuk batinnya.
Ia tidak mengutarakan mimpinya pada istri ataupun teman sekerjanya.
“Mungkin sebentar lagi kita akan bisa dengan cepat membeli pompa air!” Begitu
ucapnya saat makan pagi sebelum berangkat kerja. Istrinya hanya mengamini apa
yang diungkapkan suaminya. Ia pun mengutarakan hal yang sama pada temannya yang
biasa dia ajak berbincang dan berbagi.
“Ini
ada orang yang akan menjual pohon lagi. Wah tambah pasti ini.” Celetuk dalam
batinnya.
“Sampeyan
Mbak?” Ucapnya dengan sedikit lemas. Seperti sudah kehabisan tenaga.
“Iya.
Aku ini di jelek-jelekkan orang. Katanya mencuri kayu orang. Menjualnya ke
kamu.” Jawabnya Mbaknya. Mad Ja’i tidak mengerti. “Itu pohon nangka yang ada di
barat dapurku, yang kamu tebang kemarin sore, itu bukan milikku. Milik Sunaya.
Aku tadi dihina-hinanya sampai mati-matian. Katanya aku perempuan tidak becus,
bukan hanya mencuri kayu, juga mencuri pacaran Sunaya.
Ya.
Aku kaget. Aku tidak menyangka akan terjadi seperti ini. Sebelumnya aku juga
minta maaf. Ini pasti mengagetkan keluargamu. Istrimu pasti merasa terpukul
dengan ini. Tapi aku juga minta sama kamu untuk membantu memperbaiki hubungan
antara aku dan Sunaya agar tidak berkepanjangan.
Tolong
belilah dan bayarkan uang itu pada Sunaya, seperti yang kau tawarkan empat hari
lalu padaku. Aku tidak menyangka. Kamu akan menebang yang itu. Padahal pohon
nangka yang asli punyaku masih kecil dan tidak layak untuk dijadikan
bahan apapun. Masih seperti betis, mau dibuat apa!”
“Ehm.
Kemarin saya kan sudah bertanya dengan pasti. Bahwa pohon nangka yang besar itu
akan saya beli. Saya sudah memastikan bahwa yang akan saya beli adalah pohon
nangka yang besar, yang ada di bawah pinggir ladang itu. Bukan yang kecil.”
Jawab Mad Ja’i. Tangannya mengusap dagunya yang terasa malas.
“Ya,
aku juga kaget, aku tidak memliliki pohon nangka pohon besar. Tiba-tiba kau tawar dengan harga
setinggi itu, perkiraanku yang kecil itu yang akan kamu beli, ya aku berikan.
Aku benar-benar tidak menyangka akan terjadi seperti ini.”
“Ehm.
Air itu benar datang. Memandikan keluargaku. Celetuk hatinya.
Lembah
Wungu YK 2011