AKU berteduh di bawah pohon tsamara. Sembari menikmati taburan cahaya rembulan, kami memetik buah simalakama. Buah yang paling kami senangi. buah itu sebesar genggaman tangan. Ditengahnya ada lingkaran oval kecil, tempat mengalirkan air putih dan kental. Lingkaran oval itu lembut. Dari buah itulah kami memadu hidup.
Suatu malam yang gelapnya merahasiakan segala
dendam. Gelap selalu menyimpan bara dendam yang tak bisa kutelusuri
kedalamannya. Aku dan perempuanku bermalam di bawah pohon simalakama, menikmati
buah-buah itu. malam itu airnya terasa lebih manis dari malam-malam sembelumnya.
Lebih madu dan lebih syahdu.
Akudan perempuanku terbelai angin-angin dan malam
bergelayut dalam meniti waktu. Cahaya rembulan mulai menipis. Awan di atasku
menutupinya. Gelap. Pada saat seperti itu. Saat aku memanja perempuanku ada
sekawanan hewan menyerbu. Ular, macan, anjing dan buaya. Namun hanya ular yang
sangat lincah, ia seperti penguasa taktik penyerbuan. Tiga hewan ganas lainnya,
mampu aku tangkis dan mereka tumbang dengan kaki kiriku. Namun ular itu dengan
kelicinan kulitnya selalu lolos dari cengkraman dan semakin terkulai sekali
kaki menendangnya. Ia hanya mengangguk. Aku sudah tidak kuat. Akalku buntu.
Nafasku terengah-terengah hampir lepas. Aku benar-benar hampir mati. Aku mencoba
berpikir, merenung. Aku melihat ular seperti juga kelelahan. Aku mencoba
mengais cara untuk mengalahkannya. Aku merangkak. Berusaha menggapai sebuah
pohon kecil, tapi tanpa kusadari, ular itu telah melilit tubuhku. Kepalanya
tepat di pinggang kiri. Aku sudah tak kuat melawan lagi. ular itu menggigit
tulang kiriku. Satu tulang kiriku hilang. Ular itu berlari menuju pantai di
selatan kampungku. Aku mengejar dengan darah terus mengucur dari pinggang kiri.
Namun sakit itu tak tertahankan. Aku roboh sebelum menangkap ular. Aku berjuang
melawan rasa sakit. Mengerang sendirian. Memanggil pertolongan. Namun sia-sia.
Maos jugan
- ANJANGSANA D. Zawawi Imron
- PERHATIAN ORANG BAWEAN TERHADAP SELAWAT
- Benarkah Hoax Bermanfaat!!!
- carpan: Mahbi Abine Pole
- Kerata Basa Madura
Perempuanyang menemani hari-hariku dibawa lari buaya
dalam perutnya. Tulang punggungnya dimakan. Gigitannya ganas. Aku tidak tahu,
buaya itu membawa kemana. Aku yakin ia masih hidup. Sebuah angan-angan untuk
menguatkanku bertahan dalam kesakitan. Sebuah ketidakmungkinan tertanam dalam
angan-angan.
Aku yakin perempuan itu masih hidup dan suatu hari
nanti akan bertemu entah dimana. Keyakinan itu membuatku terus berjuang untuk
bertahan hidup. Menahan sakit. Aku masih mencari cara bagaimana menghentikan
darah yang mengalir dari pinggang kiriku.
Saat aku roboh itu terserang sakit. aku tak sadarkan
diri. Gelap. Aku melihat ular muncul di hadapanku. Ular itu melahap satu tulang
kiriku yang dicurinya dari tubuhku. Tulang bengkok itu. Ia bersendawa. Ular itu
menjelma perempuan seperti perempuan yang menemaniku. Aku kaget, sebab buah
yang di makan perempuan bersamaku itu menyembul di dadanya. Dua buah itu masih
aku hafal meski tertutupi, tanda yang paling ku ingat adalah warna hitam
kecoklatan di tengahnya.
Perempuan itu menari-nari di depanku. Aku tak kuat
berdiri untuk sekedar menggapainya. Atau menari bersamanya. Ia hanya menari dan
tak menolongku. Aku mengerang di dekatnya. Ia tetap saja menari seperti
tak melihatku. Setelah aku menoleh, tiga
hewan raksasa sedang menikmati tarian itu. Sebuah persembahan menarik
menurutku. Aku mengerang kesakitan dan terbangun.
Aku yakin perempuan itu masih hidup. Itulah yang
menyebabkan aku bertahan hidup. Aku melawan sakit yang menggerogoti tubuh ini.
Berjalan miring. Menyangga pinggang kiri dengan tangan. Aku berjalan dan
mencari buah-buah bergetah. Ku teteskan getah itu pada lukaku. Aku mencari
tumbuhan yang merambat. Tumbuhan itu kugunakan untuk menyambung luka yang
menganga. Aku menjahitnya dengan duri bambu. Darah terus bercucuran. Kuolesi
dengan getah-getah.
Aku tiba di pantai tepat matahari hampir tenggelam
di kaki langit. Hamparan warna jingga yang merayuku untuk mendatanginya.
Seperti ada suara yang memanggilku dari hamparan jingga. Meletup-letup di
antata awan jingga. Aku benar-benar terpikat. Aku mencari cara untuk tiba di
kaki langit berhampar warna jingga itu. Rasa sakit di pinggang kiri terus
memburuku. Aku pun mencari cara untuk mengurangi rasa sakit itu dan mencari
bagaimana mengganti tulang yang hilang itu.
Aku terus berjalan menyisir pantai. Aku melihat
sebuah benda bengkok sebesar jempol kakiku. Ternyata benda itu besi baja karat.
Aku sangat bahagia setelah menemukan akal untuk dipasang di pinggang kiri.
Melengkung seperti tulang. Setiap aku lapar, aku membuka besi itu dan
menjadikan sebagai alat untuk mencari makanan, seperti ikan, menetak kelapa,
menebang pohon pisang. Tak terasa besi menjadi tipis dan menajam.
Takterasa aku telah menjauh dari tempat asalku. Besi
itu seperti memiliki tuah. Besi membantuku dalam segala hal. Dengan besi itu
aku berhasil menebang pohon, bambu dan berhasil membuat tali. Aku membuat
rakit. Aku berlayar. Dibawa angin. Tapi, aku kembali ke pulau asalku. Ach… aku
benci kampungku yang kering. Aku menemukan cara untuk menaklukkan angin. Besi
itu masih ada dan semakin tajam. Aku menyimpannya di pinggang kiri. Tepat di
tulang kiriku yang dimakan ular yang menjelma perempuan. Besi bengkok, tajam
sebelah dan sekarang telah bergagang.
Aku kembali
berlayar seorang diri tanpa bekal. Aku seperti hidup di lautan. Selalu ku
tegakkan tiyang layar untuk melawan angin dan ombak. Iya, ombak telah menjadi
bantal hidupku dan angin adalah selimutnya. Awalnya, ombak selalu
mengalahkanku, aku ingat cara ular meliat-liut dan itu mengajariku meliut
menerobos angin, andai tak belajar pada ular pastilah aku telah kembali ke
pulau asalku. Iya, aku ingat bagaimana jalan ular yang membelotkan tubuhnya dan
licin kulitnya. Aku belajar dan mencoba memperaktekkan di tengah laut dalam
melayarkan perahuku.
Aku terdampar di sebuah pulau dengan kekayaan
melimpah. Aku menemukan sebuah kitab yang menceritakan tentang pulau ini. Aku
berjalan menembus hutan-hutan dan perkampungan. Aku melihat segerombolan
orang-orang berkelompok-kelompok. Aku mendekatinya.
Ada yang mengadu ayam, ada yang mengadu jangkrik,
ada yang mengadu tikus. Saat ada yang kalah, yang kalah terlihat marah-marah
dan menantang bertengkar. Pertarungan tak dapat dihindarkan. Mereka menggunakan
tombak yang dari tadi dipegang temannya.
“Ayo, ayammu jago. Masak kamu kalah. Buktikan kalau
kamu dan ayammu sama-sama jago.” Teriak semua penonton. Pemilik ayam jago itu
hampir kalah. Ia tersungkur terkena tendangan kaki kiri.
“Lebih baik, ayam yang kalah dari pada aku yang
kalah dalam menangtangmu.” Suara gelegar si pemenang pertarungan. Aku merasa
kasihan dan tak tega. “Lawan aku!” semua orang diam melihat dengan mata
terbelalak.
Maos jugan
- Petani Tembakau yang Jago Mendalang
- Peribahasa Madura, Sanja' Kona
- Krisis Moral Remaja Indonesia
- Ormawa STIDAR Siap Berlayar
- Bola Kasti Putri Tersaji di Ultah Garuda Hitam
“Siapa kau, kau kurus dan krempeng. Lihat dia yang
berotot.”
“Lawan saja.”
Ia pun menyerangku membabi buta. Hampir saja aku
kalah. Aku teringat besi bengkok yang telah tajam. Aku ingat. Aku telah menebas
banyak pohonan dalam perjalanan berkat besi tajam itu.
“Hei. Apa kau masih melawan? Kau menantang!”
teriakan mereka menyakitkan. Lebih sakit dari gigitan ular. Teriakan mereka
mencambuk empedu. Aku bangkit dan mengeluarkan besi dari pinggangku. Besi ini
sekarang mengkilat. Semua orang kembali terbelalak pada besi yang ku pegang.
“Achh… Cuma itu. senjatamu pendek. Tak akan mampu
melawan tombak!” mereka kembali meneriakiku. Lebih menyakitkan.
“Lawan!”
Iapun menyerangku dengan tombaknya. Aku hanya
memindah tubuh dan menyabitkan besi bengkok itu di pinggang kirinya. Lelaki
berotot itu terguling. Ia terluka. Seperti bengkoknya besi di tanganku. Darah
mengucur dan perutnya muncrat. Luka itu menganga. Ia tak dapat aku selamatkan.
Lelaki yang ayamnya menang bertarung, menyerahkannya padaku.
Aku menceritakan perjalananku bahwa aku mencari
seorang perempuan. Tapi ia tak menemukan seorang perempuanpun yang kumaksud.
Aku pun disuruh menetap di daerah itu. tapi, aku tak kerasan dan melanjutkan
perjalanan. Melanjutkan pelayaran.
Aku tiba di sebuah kota tanpa peradaban. Aku melihat
kereta meluncur dari arah tenggelamnya matahari terbenam. Aku melompat dan
tertidur di atasnya. Tak terasa kereta itu mengantarku ke kota ini. kota tugu
peluru. Bekas penjajahan ysang paling mengerikan. Besi itu masih terselip dalam
bajuku. Di pinggang kiriku. Namun aku belum menemukan perempuan yang kucari.
Yogyakarta 2013