“Terkadang seseorang yang patah hati bisa menjadi sangat berbahaya,” pikirku.
Maret
lalu, aku memutuskan untuk menggantung harapanku pada seseorang. Dia hadir dan
membuatku percaya bahwa cinta bisa membuat hidup seseorang lebih hidup dan
berwarna.
Aku masih
ingat bagaimana aku merindukannya sepanjang waktu, mengingatnya sebelum tidur, dan mendoakannya dalam sujud
malamku, tanpa dia tahu. Namanya Kevin Pradana. Seseorang yang berhasil membuat
dadaku berdebar meski
hanya menyebut namanya. Maret telah mengubah hidupku.
Agustus
kemarin,
ternyata jauh lebih mengubah hidupku. Di awal dia berikrar cinta. Aku mengenalnya sebagai matahari yang membakar senyumku.
Dan,
siapa pun pasti kecewa ketika mataharinya
berubah menjelma es di kutub
utara. Aku dibuatnya mati membeku.
Aku tak
pernah lupa ketika dulu dia pernah berkata.
“Aku tidak berjanji, Vhy. Tapi aku akan berusaha untuk
selalu mencintaimu. Aku tidak akan pergi jika aku masih dibutuhkan.’’
Kenyataannya, dia akhirnya memilih untuk mengingkari kata-katanya sendiri. Aku tidak tahu apa yang membuatnya menjadi pengecut dan setega itu. Dia pergi
tanpa aku tahu
di mana letak kesalahanku. Padahal, selama ini aku selalu berusaha
menjadi yang terbaik untuknya walaupun aku bukan seorang yang sempurna. Dia
hanya mengatakan “maaf”,
sebagai kata terakhirnya. Menurutku, justru kata maafnya adalah sebuah ejekan
bagiku.
Maos jugan
Sejak
saat itu aku bersumpah akan membencinya seumur hidupku. Aku bersumpah Tuhan
membuatnya menderita. Aku juga berdoa kepada Tuhan semoga suatu saat nanti dia
tulus mencintai orang yang salah, lalu dia dibuat hancur sehancur-hancurnya. Bahkan, aku sempat berpikir bahwa dunia terlalu baik
menampung orang-orang
munafik seperti dia.
Sejak
saat itu juga aku sadar cinta adalah hal yang mustahil. Jangan pernah percaya
ketika ada seseorang yang berkata bahwa dia mencintaimu. Barangkali kata-katanya hanya tipuan untuk
membunuhmu secara perlahan atau menyiksamu dengan cara paling sadis demi memuaskan egonya
sendiri. Ketika dia sudah puas, dia akan mencampakkanmu dengan sebuah belati di tangannya.
Kevin
Pradana berhasil menciptakan cerita terburuk dalam hidupku. Aku bersumpah ini
untuk pertama dan terakhir kalinya. Dia hanya tidak sadar bahwa ketika dia
mematahkan satu hati yang tulus maka seluruh dunia akan bersekutu untuk
mengutuknya.
“Sudahlah
Revhy, dia bukan orang yang terbaik. Kamu adalah perempuan kuat yang aku kenal. Patah hati pasti
bukan masalah besar bagimu, bukan? Terbukti kamu tetap terlihat baik-baik saja walaupun kemarin-kemarin banyak masalah menghampirimu. Apalagi
ini hanya soal patah hati,” kata sahabatku Reta, menghibur.
“Tenang saja,
aku sudah tidak mencintainya lagi, Re.
Perasaan itu telah berubah menjadi
kebencian yang mendalam. Seandainya dulu aku tahu dia hanyalah seorang pengecut
yang bertopeng janji manis, aku tidak akan pernah sudi untuk bersama dia
walaupun hanya beberapa bulan, “ ucapku
berapi-api.
“Tidak perlu
membenci. Ikhlaskan saja. Buang-buang waktumu saja untuk membenci
seseorang.”
“Entahlah,” kataku menghela napas berat.
“Kemarin ketika
aku terpuruk, kamu berhasil memotivasiku. Jangan hanya bijak sama orang lain, Vhy. Tapi kamu juga harus bijak sama dirimu sendiri.
Aku hanya
tersenyum tipis mendengar nasihat Reta. Ada perasaan ganjil yang aku pendam meledak-ledak dalam jiwaku. Perasaan yang
timbul karena kebencian.
Maos jugan
- KEHEBATAN PAK HAMKA DALAM PENJARA
- Petani Tembakau yang Jago Mendalang
- Epic Ending Preman Pensiun
- Majang, Riqatul Fitriyah
- Lanceng Talpos Ban Salbut
***
Udara
siang terasa panas. Aku duduk bersandar di kursi ruang tengah. Tayangan televisi terasa tidak ada yang menarik. Berita politik masih tak kunjung selesai. Korupsi masih
menjadi persoalan.
Apa mereka tidak bisa hidup tanpa
harus memakan uang rakyat? Apa kabar Indonesia sepuluh tahun ke depan jika pemimpinnya banyak yang
seperti itu? Aku mengganti channel. Menghela napas jenuh ketika kudapati tayangan sinetron percintaan yang
justru membuatku muak.
“Lebay!
Cinta bullshit,” gerutuku dalam hati. Kuganti channel, tapi sangat bosan rasanya. Ada berita lagi. Topiknya tentang bunuh diri.
“Sedikit menarik,” pikirku.
Drrrrt...! Drrrrt...! Drrrrt...!
Handphone-ku bergetar. Ada telepon dari reta.
“Iya, Re?”
“Vhy, tahu enggak? Ada berita bunuh diri. Intinya
karena patah hati gitu. Suaminya meninggalkannya demi wanita lain. Kamu nonton enggak?” tanya Reta mulai menyerangku dengan
pertanyaan yang bertubi-tubi.
“Hmmm,” gumamku. Aku malas berbicara hari
ini.
“Enggak tahu kenapa tadi aku kepikiran kamu.
Kamu jangan sampai seperti itu ya. Bunuh diri karena patah hati,” ucap Reta di seberang. Seandainya dia sekarang ada di hadapanku, mungkin dia akan menatapku dengan tatapan tajam. Aku tersenyum geli membayangkannya.
“Kata Boy
Candra, kematian paling menyedihkan di dunia adalah orang yang mati karena
patah hati. Aku enggak
se-menyedihkan itu, Re. Tapi dipikir-pikir
ide bagus,” kataku.
“Ide
bagus apaan? Jangan coba-coba ya, awas!” kata Reta. Tawaku meledak. Reta benar-benar heboh.
“Iya
bercanda, Re,” kataku.
“Terkadang
seseorang yang patah hati bisa menjadi sangat berbahaya,” pikirku.
***
Aku
memandang senja yang mulai tenggelam. Pikiranku menerawang jauh. Ada rasa puas dalam jikawu.
“Vhy,
kamu sudah dengar kabar heboh sekaligus mengerikan itu? Bohong banget kalau enggak dengar kabar itu, bagai kabar burung yang cepat menyebar ke mana-mana,” tanya Reta membuyarkan lamunanku.
“Apaan?”
“Kevin,
mantan kamu.”
“Apaan sih, Re?
Jangan bahas dia lagi. Enggak penting,” kataku. Reta terlihat kesal karena aku
memotong ucapannya.
“Vhy, ini beda. Kamu pasti dengar kan
kalau Kevin dibunuh. Enggak
nyangka,
Vhy. Kevin mantan kamu itu dibunuh.
Dia sudah mati.”
“Oh ya? Jangan
bercanda,
Re. Enggak lucu,” kataku tertawa hambar.
“Beneran, Vhy. Sumpah. Menurut desas-desus, hari minggu malam Kevin ngumpul
bersama teman-temannya
di sekolah yang dekat dengan rumahnya.
Jalan kaki doang.
Katanya, awalnya dia dikira nginep di sekolahnya karena sudah tengah malam dia belum pulang. Ternyata pas paginya ada tetangga dekat
rumahnya yang menemukan tubuh Kevin tergeletak di pinggir jalan dengan kondisi mengerikan. Seluruh isi perutnya
keluar, dadanya bolong,
dan mulutnya robek. Sumpah aku enggak nyangka. Mustahil banget, kan? Pasti pembunuh itu adalah
orang yang sangat kejam. Masa kamu enggak dengar?”
Beberapa
hari ini berita itu memang sudah
menyebar ke mana-mana. Menjadi desas-desus dari mulut ke mulut bahwa
telah terjadi pembunuhan mengerikan di desa sebelah. Orang-orang di desaku
juga banyak membicarakan berita itu. Mereka akan membahasnya sambil bergidik
ngeri. Bohong kalau aku tidak mendengarnya. Aku hanya sedikit memastikan dengan pura-pura tidak mengetahui berita yang
memang terdengar mustahil itu.
“Vhy,
mendingan kamu maafin dia, kasihan. Aku enggak nyangka dia bakal mati dengan cara seperti itu. Kok
bisa sampai seperti itu ya, Vhy? Tangan siapa yang sampai berani melakukannya.
Membayangkannya saja benar-benar membuatku mual.”
“Kalau
memang berita itu benar, aku enggak nyangka juga, Re.
Bayangkan dia sudah mati, aku terlalu sibuk berdamai dengan
patah hatiku hingga tidak tahu kalau orang yang membuatku patah hati sudah mati dengan
cara mengerikan seperti itu,” ujarku datar dan sedikit menerawang. Aku melihat kembali
pada senja yang sudah tinggal jejak. Sudah tenggelam.
“Walaupun
aku enggak
pernah sekalipun bertemu dia. Tapi aku ngerasa kasihan
banget,
Vhy. Rasanya pasti sakit banget.
Sampai sekarang pembunuhnya masih misterius. Anehnya polisi tidak menemukan
sidik jari pelakunya. Jenius. Sebuah pembunuhan yang rapi. Katanya, kemungkinan sangat kecil untuk
menemukan pelakunya. Bahkan, bisa mustahil karena pembunuh itu tidak meninggalkan
sedikit pun tanda. Kasihan ya keluarganya.”
Reta
terlihat iba. Dia
memejamkan mata beberapa saat. Aku menghela napas berkali-kali. Aku tahu, Reta perasaannya sangat halus. Dia mudah tersentuh walaupun cuma
pada hal-hal
kecil. Hari sudah mulai gelap. Suasana sekitar terasa begitu mencekam. Udara
dingin terasa menusuk kulitku.
“Aku takut, Vhy.
Pulang yuk. Merinding,” ujar Reta kemudian. Aku
mengangguk pasrah,
mengikuti reta meninggalkan sungai
belakang rumahku.
***
Sepasang cecak berkejaran di langit-langit kamarku. Aku memandangnya
datar sembari terlentang di atas
ranjang. Pikiranku terlitas sesuatu. Aku turun dari ranjang lalu mengambil
sesuatu yang kuletakkan di bawah
ranjang.
Aku duduk
bersila. Sebuah pisau berukuran sedang dengan noda darah yang sudah mengering. Juga sepasang kaos tangan
berwarna merah kehitaman yang seminggu lalu kubeli di toko milik keluarga Reta.
Aku masih ingat pertama kali aku membelinya, kaos tangan itu berwarna kuning
pudar, tapi darah
telah mengubah warnanya menjadi terlihat sedikit indah, mungkin. Kualihkan
pandanganku pada sebuah kotak kecil yang berisi segumpal darah mengental. Aku
menatap puas dengan senyum ganjil. Tidak ada yang tahu sekalipun sahabatku sendiri bahwa
akulah pembunuh itu. Pembunuh Kevin Pradana, mantanku.
Aku masih
ingat kejadian malam itu. Aku menyusuri gelap dengan sebuah dendam di tanganku dan kebencian yang meledak-ledak di jiwaku. Malam itu dengan nekat tanpa ketakutan sedikit pun, aku menusuknya tepat di jantung dengan tujuh kali tusukan.
Dia menatapku tak percaya dengan wajah pucatnya dan posisinya yang tidak siap
sangat menguntungkanku. Melihat wajahnya yang kesakitan semakin membuatku
bernafsu untuk menambah rasa sakit berlipat-lipat padanya. Tapi dia ternyata
sangat berisik, membuatku sengaja merobek mulutnya. Meletakkan pisauku di sana lalu memutarnya.
Jangan
anggap aku sebagai seorang psychopath karena aku tidak pernah punya
nafsu untuk membunuh orang lain. Aku hanya bernafsu untuk membunuhnya. Aku
tidak tahu
dari mana perasaan itu muncul. Jangan
salahkan aku. Tapi salahkan dendamku.
Aku
membuka tutup toples dan menghirup aromanya yang menyengat. Bau amis darah
kental di dalamnya
terasa begitu menyenangkan. Aku tidak berniat sampai benar-benar menghabiskan nyawanya. Aku hanya sekadar ingin mengabulkan ucapannya
dulu yang pernah berkata bahwa hatinya cukup untukku saja. Kukabulkan ucapannya. Kotak bening itu
adalah tempat yang cocok untuk menyimpan hatinya. Aku bisa menikmatinya dengan
melihatnya secara bebas. Aku akan menjadikannya sebagai koleksi pribadiku.
Aku
meletakkan kembali benda itu di bawah
ranjang tempat tidur. Satu yang membuatku telah sadar, Kevin Pradana telah mati
oleh dendam dan sakit hatiku. Aku tersenyum puas atas dendamku yang sudah
terbayar.
Juruwan Laok, 27 Februari 2020
*Cerpen ini diterbitkan dalam antologi cerpen dan puisi pilihan SMA
Nurul Jadid Batang-Batang dengan judul “Para Pelopor (Meja Tamu, 2020)
*Alviana. Lahir di Juruan Laok, 25 Juni 2001. Saat ini masih berstatus Alumni SMA Nurul Jadid. Penulis sangat mencintai literasi dan aktif dalam organisasi literasi sekolah. Memiliki hobi membaca, baik fiksi dan nonfiksi. Selain itu, dia sangat menyukai novel yang bergendre misteri. Prestasi yang pernah dicapai mendapatkan penghargaan sebagai juara 3 Addhuen nyerrat carpan Madhura se-Madura dengan judul Naleka Adhat Nyandhang Taresna.