“MUSIM hujan akan segera datang. hah. Pasti makanan
kita akan berubah. Tak hanya rumput kering yang disimpan di warung-warung.
Pastinya kita-kita akan menjadi gemuk.
Kau masih ingatkah tentang pertemuan kita dulu. Kau
melirikku dari tengah sawah. Kau manis sekali. Iya, musim itu tak mungkin
datang lagi. Aku tahu itu dan sebentar lagi musim hujan. tapi takkan sama
dengan musim-musim yang lalu.”
“Tak apa. Itu tak menjadi masalah. Pastinya, makanan
kita akan enak lagi. dan yang lebih menarik, kita akan kembali turun ke sawah.
Menginjak-injak tanah. Waw… aku kangen suasana itu. berjalan bersanding
bersamamu.”
“Aku tak menyukai itu. Pekerjaan itu sangat berat.
Menarik bajak itu berat dan sakit. Huh. Kau justru menyenanginya. Tidak hanya
menarik bajak, melainkan dicambuk. Apa kau lupa itu? kau ini aneh. Kita disini
sudah sangat berharap manusia tidak lagi menggunakan kita lagi dalam menggarap
sawah, tanah dan lain-lain. Kecuali disembelih untuk makan orang-orang
berimana. Kau lupa bagaimana setengah hari di sawah, membajak. Ludahmu meleleh
dan nafasmu hampir hilang. Dan kita dicambuk.”
“Ach… kau terlalu pesimis. Kau hanya memikirkan
susahnya. Kalau semuanya seperti itu, pastilah manusia kebingungan dan tak mau
memelihara kita. Tak memotong kuku kita, tak mendandani kita saat pesta pasca
panen dalam saronen.[1]
Kita sekarang ini kan dalam rangka itu. Patthogan[2]
ini bagian kecil dari itukan?”
“Aku sangat berharap musim hujan lebih cepat datang.
rumput-rumput akan lebih hijua dengan calattongku, ditambah lagi calattong
kalian. Waw. Pastilah rumput menghijau dan gurih. Tak seperti sekarang ini. Aku
akan sangat senang membajak sawah untuk menambah kesuburan tanah.”
“Iya, sudah. Semoga saja kamu kuat membajak sawah
sendiri. Aku lelah dan pasti, semua disini telah sepakat untuk tidak membajak
sawah. Laksanakan sendiri ya!”
“Dasar sapi, maunya makan. tak mau bekerja. Makannya
minta dianterin terus. Tak tau berterima kasih. Aku akan bekerja sekuat
tenagaku. Sesuai hakikat sapi.” Sapi itu berjingkrak-berjingkrak membuat yang
membawanya kaget dan menenangkan.
***
Maos jugan
- samoga tabarengnga ban pangareppa
- Tolos Onggu Tellasan
- Dinamika Keribetan Berjomblo
- Pangsa Pasar Paling Menggiurkan
- Bulan Gerring Pesse Panas
Sapi memuntahkan rumput yang dikunyahnya. Meski ia
tak bermaksud untuk habis manis sepah
dibuang. Ia memuntahkan rumput pahit itu. Ia teramat kecewa, rumput-rumput
sarapan paginya tak semanis dulu. Aroma calattong[3]
itu tak Ia temukan dalam rumput yang dinikmatinya. Ia sangat hafal bagaimana
aroma calattong yang membangkitkan selera makannya. Aroma calattongnya sendiri
dapat memberi manfaat bukan hanya untuk dirinya. banyak manusia menggunakan calattong
sebagai pupuk sawah yang menyuburkan rumput-rumput, padi, jagung dan palawija,
tapi sayang, sekarang hewan berakal itu bertambah cerdik. Mengolah
kotoran-kotoran menjadi pupuk dan diawetkan. Sedang calattong tak membutuhkan
bahan pengawet tak harus diolah dalam mesin ataupun pabrik. Sapi cukup
diantarkan ke tengah ladang untuk makan, menaburkan calattong, menyiramkan
kencingnya dan esoknya tanah-tanah akan lebih subur. Ia teramat kecewa, ketika
dirinya harus terus terkurung dalam kandangnya. Calattongnya tak tahu dibawa
kemana sehingga sapi itu tak lagi menemukan aroma calattongnya sendiri dalam
rumput-rumput, batangan padi, dan tanaman-tanaman lainnya.
“Maaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah.” ia meminta air. Ia
melompat-lompat dalam kandang. Menabrak dinding kandang yang terbuat dari
anyaman bambu. Ia menaikkan kaki depannya ke atas tempat makan. tempat
rumput-rumput. “Maaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.” Ia kembali melompat-lompat. Menabrak
dinding-dinding kandang yang mengurungnya.
Seorang datang membawa ember berisi air lerre[4]
dan memberikannya pada sapinya. Sapi meminumnyam, namun berhenti dan
menyemburkan air lerre yang baru saja diminumnya. Dahi lelaki itu berkerut dan
memukul dahi sapi. Sapi itu tersedak. Ia berhenti minum. Tercium aroma minyak
tanah dalam air lerre itu, aroma besi karatpun melengkapi minuman sapi itu. Ia
merasa disiksa oleh pemiliknya. Ia ingin menendang orang yang berdiri di
depannya tapi terhalang tempat makannya.
Sapi kembali menyisir keratan-keratan tongkol yang
terapung dalam air lerre itu. mengunyahnya. Ia mencoba memakannya. Memaksakan
seleranya hidup untuk menenangkan orang yang ada di depannya. Orang itu sedikit
tersenyum. Orang itu meninggalkan sapinya dan membawa ember itu. Air lerrenya
tak dihabiskan.
“Kenapa sapiku sekarang tak mau makan atau minum.
Selera makannya telah hilang. Apa sebabnya? Ini harus dikasih kunyit dan daun
bawang. Sejak satu minggu ini, sejak diberi rumput, justru ia semakin tidak mau
makan. sebelumnya-sebelumnya hanya makan dadar.[5]
Sudah lama juga tak dimandikan.” Gerutunya sambil membelakangi sapi.
Sapi itu kini menekuk kakinya dan istirahat.
Kepalanya disandarkan pada tiang tengah kandang itu. Sapi itu masih terlihat
lapar. Ia bangkit. Melompat-lompat dalam kandang itu. ia berharap dapat memutus
tali yang mengikut lehernya. Ia ingin keluar dari kandang kumuh itu. kandang
berasap itu. asap yang menyesakan dada. Tali begitu kuat memgekangnya. Ia belum
mampu untuk melepasnya.
“Bu. Bu. Bu.”Orang yang tadi memberinya minum,
datang kembali. Sapi itu berhenti melompat di hadapan orang itu. Orang itu
mengelus dahi sapinya. Ada air menetes di dua matanya. Nafasnya mendengus
keras. Tetesan air dari matanya semakin deras. Deras. Nafasnya semakin
mendengus keras. Keras. Elusan orang itupun melembut. Semakin lembut. Lembut.
***
Maos jugan
- Rowi El-Hamzi taon
- Baliker Pote
- Jalan Terjal Kegalauan Umat Manusia
- Sanja' Mat Toyu
- Teks MC Bahasa Madura
Musim hujan tiba. Hujan setiap hari melanda. Terik
matahari hanya datang diantara hujang-hujan. semenjak hujan melanda.
Orang-orang mengubah aktifitasnya. Mulai menguliti kacang. Memasuki gudang laas[6] di
samping rumahnya. Orang-orang hendak menyemai bibit padi. Ada yang menguliti
kacang tanah untuk segera ditanah pada musim ini.
Sapi itu terlihat bahagia. Ia akan kembali menikmati
pohon padi, kacang tanah dan kacang hijau. Tingkahnya lebih tenang. Ia berselera
memakan apapun yang dihidangkan orang yang memeliharanya. Meminum setiap air
yang disajikannya. Iapun berharap dapat kembali menginjak tanah-tanah yang akan
ditanami padi dan kacang ataupun palawija. Ia berpikir, inilah waktunya
menaburkan calattong dan menyiramkan kencingnya.
Dalam pikirannya, bergelayut makanan beraroma
calattongnya sendiri. manis. Gurih. Lezat. Ketika selera makannya meningkat,
tubuhnya gemuk dan sapi itu akan disembelih sebelum hari lebaran tiba dan
itulah yang sangat diharapkan. Menjadi santapan orang-orang yang merayakan
pesta lebaran. Meski di malam takbir sapi tak merasakan gema takbir yang
bertalu beriringan dengan beduk, ia begitu bahagia menjadi santapan orang-orang
yang merayakan kemerdekaan. Daging-dagingnya menjadi daging orang-orang yang
beriman, yang selalu memuja kebesaran Sang Pencipta.
Sekarang ia sangat berharap, orang yang selalu
datang dengan rumput, air lerre segera mengeluarkan dirinya agar ia cepat
menaburkan calattong dan menyiramkan kencingnya di sawah-sawah agar tanaman
cepat subur, padi subur, kacang-kacang juga subur. Ia menunggu orang itu datang
membawa tali. Tapi, orang itu tak kunjung datang. bahkan untuk sekedar
melihatnya. Ia mendengus.
“Maaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhh” ia terpaksa memanggil.
Ia biarkan dirinya dicaci, dibilang cerewet, sebab pagi ini ia benar-benar
ingin menginjak tanah.
“Maaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhh” ia
kembali bersuara. Namun orang itu tak kunjung datang. Ia terpaksa mendengus. Ia
ingin rasanya mendobrak kandang. Ia hanya mengangkat kakinya dan menaruhnya di
tempat makannya. Ia kembali mendengus. Tapi tak lama ia menurunkan kakinya. Ia
tergeletak tiduran di lantai kandang.
Sapi itu melihat langkah kaki menuju kandang. Sapi itu berdiri. Ach… orang itu datang tanpa
apa-apa. Sapi melenguh kecewa. Sapi itu mundur. Melompat ke depan hampir
menyeruduk tubuh orang itu. orang itu memukul dahinya. Ia mendengus keras.
Marah.
“Kenapa sapi ini?” orang itu tak menemukan cara
untuk menenangkan. Orang itu mengambil rumput hampir kering dan memberikannya.
Sapi itu tak memakannya. Tak ada selera. Ia tahu. Dalam rumput itu tak ada
rasanya lagi. Lebih hambar dari yang lalu-lalu. Sapi mendongak dan mendengus
keras. Melompat dan menyeruduk dinding-dinding kandang. Orang itu semakin tak
menemukan cara menenangkan. orang itu menyangka sapinya telah kerasukan setan
yang cerdik mengotak-atik akalnya. Kecerdikan setan tak diragukan. Orang itu
pergi. Tak terdengar lagi bunyi kaki sapi melompat. Tak terdengar lagi serudukan
pada dinding sapi. Orang itu tak menoleh.
Hari beranjak siang. Sapi itu ingin menikmati hangat
matahari. Tubuhnya terasa kaku. Kakinya terasa ngilu. Ia tersentak mendengar
suara mesin di sekitar kandangnya. Sapi itu menoleh. Ia melihat orang yang
biasa memberi makan sedang dengan mesin bajak tanah. Mesin itu mengelilingi
tegal. Mengelilingi sapi. Melibas tanah-tanah. Mengeruk tanah-tanah. Sapi itu
merasa tersaingi dan terhina. Ia merasa tak berguna lagi. Sungguh cerdik akal
manusia. Begitu gumamnya.
Ia pun membaringkan tubuhnya. Kepalanya bersandar
pada dinding kayu itu. Terasa mengganjal. Mendengus. Berdiri cepat. Melompat.
Menerjang dinding. Menghentak tali di lehernya. Diam. Kembali melompat.
Menerjang dinding. Dahinya berdarah. Pedih. Ia berpikir keras untuk melantahkan
kandang itu. Aku hanyalah hiasan kandang. Pikirnya.
Sapi itu merasakan haus menggerogoti tenggorokannya.
Tak ada air lerre. Tak ada apapun. Ia melihat ke samping kandang. Ada air
dengan aroma yang sangat ia hafal. Kencingnya sendiri. ia minum dengan lahap.
Puas. Ia merasa mendapatkan tenaga baru mengalir dalam tubuhnya. Dengus
nafasnya kencang.
Ini saatnya keluar. melompat tinggi. Ia berbalik
melihat pintu di belakang pantatnya. Menerjang dinding-dinding. Tapi penyangga
dinding itu sangat kuat. Sapi itu tak bisa menembusnya. Dibalik dinding itu ada
kayu melintang. Penghalang. Sungguh cerdik akal manusia itu. Sangat rapat
mengurungku. Ia melompat. Kandang itu bergoyang. Gentengnya merosot. Ia
mengambil nafas dalam-dalam. Sebuah genteng menjatuhi badan sapi itu.
Sapi mendengus. Menerjang dan genteng-genteng
berjatuhan. Kandang itu bergoyang. Ia menerjangnya. Kayu penghalang itu patah.
Sapi lepas dan kandang itu roboh. Ia lari kencang ke arah orang yang
mengendalikan mesin-mesin. Menabraknya. Orang itu terpental. Sapi itu
mendekatinya dan menyeruduknya. Sapi itu berbalik arah dan menghancurkan pipa,
sanyu yang bergelantungan di dekat sumur. Ini yang menyebabkan air minumanku
berkarat. Bangsat. Orang tak mau menimba air untukku. Perutku kenyang dengan
besi-besi berkarat. Kurang ajar.
Ia berhenti setelah banyak sapi-sapi berdatangan.
Para Sapi itu terbahak-bahak. Seperti dalam pesta sapi-sapi. Semua sapi
menyorakinya. Tertawaan itu menyakitkan sapi ganas itu. Telinganya mendengar
cacian dan hinaan yang paling ganas.
“Kau masih ingin menjadi pembajak sawah? Hah? Apa
kamu lupa bahwa menarik bajak tanah itu melelahkan. Silahkan membajak
sendirian. Kami disini telah sepakat untuk tak membajak tanah?” semua sapi
tertawa ngakak.
Yogyakarta 2013
[1] Sapi sonok
[2] Pameran sapi, dalam bentuk arisan (sapi
berbaris ke samping berdasar anggota. Setiap anggota membayar berapapun dengan
batas maksimal tertentu ex: 20.000 dan uang yang terkumpul di serahkan pada
penanggap pameran dan kegiatan ini berpindah-pindah rumah.
[3] Tai sapi (Madura)
[4] Air bekas pencucian beras bercampur keratan
tongkol.
[5] Daun bambu (Madura)
[6]
Padi yang sudah kering