Dominasi wanita dalam pekerjaan sosial sangat
tinggi, hal ini terlihat dari hasil penelitian-penelitian sebelumnya terutama
di Kanada, Amerika dan Australia dimana profesi pekerja sosial didominasi oleh
wanita, NASW (National Association of Social Workers) di Amerika Serikat
sekitar 79% adalah wanita, sedangkan di Australia pada tahun 2006 pekerja
sosial wanita mencapai 83%, begitu pula dengan siswa-mahasiwanya yang terdaftar
dalam studi pekerja sosial, di Inggris (UK) pada tahun 1990an mencapai 75%
adalah wanita, di Australia pada tahun 2006 sarjana (bachelor) pekerja sosial
wanita[1] mencapai 86. Meskipun sudah banyak SMK dengan kejurusan Pekerja
Sosial serta perguruan tinggi dengan jurusan/program studinya Pekerja Sosial,
data jumlah pekerja sosial di Indonesia tidak terungkap jumlahnya. Yang
ditemukan adalah di STKS yang pada 2016 telah meluluskan 284 Pascasarjana dan
13.290 sarjana dengan mahasiswa aktif 1.791, sedang 1735 merupakan sarjana dan
56 merupakan pascasarjana (komps.com).
Kegiatan Pekerjaan sosial adalah pengasuhan yang
telah identik dengan kegiatan wanita, hal tersebut dianggap sebagai perluasan
peran tradisional dari istri dan ibu yang bertugas merawat atau mengasuh dalam
keluarga.[2]
Selain itu, pengguna (klien) dari pekerja sosial juga didominasi wanita.[3]
Maos jugan
- Cerpen: Kehidupan Kedua
- Elangnga Pangajiyan
- Wacana SIM Gratis
- Parebasan Madura ban Contona
- Rakara, Naskah Lakon
Bentuk pengasuhan tersebut kemudian menjadi bentuk
layanan atas lima hal yang meliputi jaminan sosial, pelayanan kesehatan,
pendidikan, perumahan dan pelayanan personal (Edi Suharto, 2006). Sedangkan
keberadaan laki-laki dalam dunia pekerjaan sosial memiliki hubungan yang
berbeda dalam hal pengasuhan atau perawatan dari pada pengasuhan dan perawatan
laki-laki. Menurut Lawrence dalam Bob Pease menyatakan (ia percaya) bahwa
kehadiran laki-laki pekerjaan sosial merupakan investasi jangka panjang, dengan
hadirnya laki-laki dalam pekerjaan sosial, pekerjaan sosial akan dianggap
serius sebagai sebuah profesi.
Sebagaimana yang ditulis Bob (Pease, 2011) bahwa pekerjaan
sosial merupakan profesi yang dominan wanita tapi masih didominasi oleh pria
terutama dalam struktur management layanan sosial (khususnya dalam menentukan
kebijakan). Hal ini berdampak terhadap pola/bentuk pelayanan-pelayanan yang
diberikan, produk-produk layanan sosial yang tidak berimplikasi pada
profeminisme.
Sebagai
profesi yang lahir dan berkembang pesat di Eropa (Amerika, Kanada,
Australia dan Inggris), pekerja sosial membutuhkan proses pribumisasi karena
perbedaan struktur sosial, budaya, politik dan ekonomi. Perbedaan kultur sosial
dan budaya akan berdampak pada pelayanan, menagemen serta bentuk-bentuk layanan
sosial. Sedangkan di Indonesia, budaya patriakhi lebih dominan, hal ini
terungkap dalam penelitian Ade Irma Sakina (dkk) yang menyoroti tingginya
budaya patriakhi yang berdampak pada kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan
seksual, tingginya pernikahan dini dan stigma perceraian. Langgengnya
patriarkhi ditopang oleh nilai, norma dan bahkan agama dalam masyarakat,[4]
nilai-nilai tersebut diwariskan dalam tradisi yang terstruktur dan sistematis.
Budaya patriakhis tersebut berdampak besar terhadap lahirnya subordinasi
perempuan[5]
dan bahkan berpengaruh terhadap ekonomi[6], pendidikan[7]
(Dlamini & Adams, 2014) dan politik (Nimrah, 2015) (Hillman, 2007).
Sejarah muculnya pekerja sosial sangat dipengaruhi nilai,
amal dan moral beragam yang tertuang dalam Alkitab berpengaruh besar terhadap
lahirnya pekerjaan sosial di Amerika pada akhir abad 19, serta juga berdasarkan
pada Undang-Undang Kemiskinan (ratu) Elizabeth Poor Law pada 1601,
Undang-undang ini sangat berorientasi moralistik, paternalistik, namun pada
waktu itu masih belum terorganisir dengan cukup baik. Lahirnya pekerjaan sosial
ditandai dengan berdirinya berbagai organisasi yang berorientasi pada
kesejahteraan sosial, seperti New York Society for the Prevention of
Paupaerisme (1818), Assosiation for Improving the Conditions of the Poor
(1840-an), dan American Social Science Association (1865) yang
menginisisasi National Conference of
Charities (1874). Serta lahir pula organisasi charity (amal) yang pertama yaitu
Charity Organization Society (COS) di Buffalo, New York, oleh S. Humphreys
Gurteen pada 1877, charity ini memiliki fokus pada pertolongan kemiskinan yang
merata akibat diskriminasi dan Perang Dunia 1. Tokoh yang cukup berpengaruh
dalam mengenalkan dan mempopulerkan pekerjaan sosial adalah Jane Addams
(1860-1935) yang mendirikan Settlement House/hull house beserta dengan Ellen
Gates di Chicago (Healy, 2008). Mereka
memiliki visi dan misi untuk melakukan advokasi dan pelayanan sosial dalam
rangka menjawab atas kondisi yang tidak stabil yang merupakan dampak dari
industrialiasi, urbaninasi serta tingginya imigrasi ke Amerika awal abad 19.
Jane Addams merupakan wanita yang di awal-awal menerima penghargaan nobel Peace
atas kiprahnya yang mampu merubah kondisi sosial dengan cara mereformasi
politik. Pada perkembangannya, misi utama pekerjaan sosial adalah mengatasi
masalah sosial yang terdiri dari perumahan, kesehatan, sanitasi, lapangan
pekerjaan, dan pendidikan (ekonomi) (Healy, 2008). Berdasarkan
hal itu, serta karena banyaknya wanita yang terlibat dalam pekerjaan sosial, dalam
pengantarnya Jennissen (Jennissen, 2011 ) menekankan
bahwa pekerja sosial merupakan profesi wanita.
Maos jugan
- Tasdid dhalem Basa Madura
- Geliat Gerakan Pemuda Ansor Sumenep
- Puisi Mahwi Air Tawar
- CERPEN MENIPU TUHAN
- Karjana DK Sumenep
Dalam sejarahnya status perempuan dalam pekerja
sosial justru mengalami perubahan yang signifikan, bias gender yang disebabkan
oleh perbedaan jenis kelamin berdampak pada perbedaan gaji, status (pangkat),
masa kerja, tugas kerja (Sakamoto, Anastas, McPhail, & Colarossi, 2008). Menurut
Sakamoto et al (2008), perempuan dalam pekerja sosial tampak kurang beruntung
dalam semua lini serta tanpak dirugikan
[1]
Bob Pease, “Men in Social Work: Challenging or Reproducing an Unequal
Gender Regime?,” Affilia 26, no. 4 (November 2011): 406–18,
https://doi.org/10.1177/0886109911428207.
[2]
Alfred Kadushin, “Men in a Woman’s Profession,” Oxford University
Press Vol. 21, No. 6 (1976): 440–47.
[3]
Pease, “Men in Social Work.”
[4] Wandi,
G. (2015). Rekonstruksi Maskulinitas: Menguak Peran laki-Laki dalam Perjuangan
Kesetaraan Gender. Kafa’ah : Jurnal Ilmiah Kajian Gender Vol.V No.2 Tahun
2015.
[5]
Yanuarius
You, E. H. (2019). Relasi Gender Patriarki dan dampaknya. Sosiohumaniora -
Jurnal Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora, Vol. 21
[6]
Folbre, N.
(1980). Of Patriarchy Born: The Political Economy of Fertility Decisions. Yale
University - EliScholar – A Digital Platform for Scholarly Publishing at Yale
[7] ull, A. (2009). At the Forefront of a Post-Patriarchal Islamic Education Female Teachers in Indonesia. Journal of International Women's Studies, Vol 11, 25-39