Pekerjaan sosial sebagaimana dijelaskan sebelumnya
merupakan peran ibu dan istri dalam keluarga untuk merawat dan mengasuh
(Kadushin, 1976) yang diperluas untuk perawatan sosial yang meliputi advokasi,
berupaya untuk mengatasi masalah sosial yang terdiri dari perumahan, kesehatan,
sanitasi, lapangan pekerjaan, dan pendidikan (ekonomi) (Healy, 2008). Pekerjaan
sosial hadir untuk mengembalikan peran sosial dari masing-masing individu yang
mengalami dampak dari industrialiasi ataupun globalisasi (JENNISSEN & LUNDY,
2011). Mereka (klien) yang terdampak oleh industrialisasi atau bahkan perang
dunia I atau pun II merupakan perempuan. Tidak dapat dipungkiri bahwa karena
banyaknya perempuan dalam pekerja sosial baik sebagai pekerja sosial itu
sendiri ataupun yang merupakan pengguna (klien) adalah juga banyak dari
perempuan, anak-anak perempuan, anak-anak, lansia perempuan. Hal ini telah
melahirkan asumsi bahwa pekerja sosial merupakan profesi wanita atau profesi
khusus feminisme (Orme, 2002).
Maos jugan
Sedangkan dalam konteks Indonesia lebih sering
disebut sebagai PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial yang terdiri atas
beragam persoalan sosial, seperti anak telantar, kekerasan dalam rumah tangga,
lansia, anak yang berhadapan dengan hukum, difable yang tidak mendapatkan
hak-haknya yang semuanya terakumulasi dalam persoalan sosial seperti lapangan
pekerjaan, pendidikan, hak asasi manusia, ekonomi dan bahkan lingkungan
ekologis. Menurut Ross (2008), dalam sejarahnya wanita sangat krusial terhadap
lingkungannya, perempuan selalu mampu menghadirkan sesuatu menjadi yang terbaik
terhadap keluarganya berdasarkan kekayaan alam yang ada di sekitarnya atau yang
ada di area pekarangannya (Dominelli, 2010). Pekerja sosial yang berupaya
memberikan pemahaman, mengadvokasi, membangun jaringan, intervensi melalui
penyadaran dan juga memberikan semangat pada perempuan yang terdampak dari
globalisasi atau pun industrialisasi (husna, 2014).
Sebagaimana asumsi mendasar dalam ide kaum feminis
dalam pekerja sosial adalah bahwa tidak ada seorang pun di dunia yang lebih
superior ataupun inferior dalam relasi apapun ( Dominelli & McLeod, 1989).
Berdasarkan asumsi tersebut yang melahirkan pendekatan feminisme untuk
mendifinisikan masalah-masalah sosial yang terjadi terhadap perempuan. pendekatan
feminisme itu bisa berupa feminisme
liberal, feminisme radikal, feminisme Marxist ataupun feminisme sosialis, yang
mana seluruh aliran femenisme tersebut berupaya menghadirkan perempuan lebih
setara, tidak terjadi perbedaan gaji,
perbedaan jam kerja, perbedaan apa yang harus dilakukan. Pada saat yang
bersamaan, yang hal paling mendasar dalam peksos dianggap sebagai profesi
feminisme karena faktor etika dan nilai yang erat sekali pekerjaan sosial
(Pease, 2011), seperti nilai-nilai empati, kasih sayang dan keibuan, serta
etika dalam beramal untuk saling membantu. Moral dan nilai-nilai yang
terkandung dalam keagamaan tersebut kemudian dikonfirsi menjadi etika, skill
dan pengetahuan dalam pekerja sosial. Pengetahuan dalam pekerja sosial
bersumber dari ilmu-ilmu sosial, sosiologi, politik, hukum, psikologi, filsafat
moral.
Maos jugan
- Sobung Kritikus Sastra e Madura
- Epic Ending Preman Pensiun 8
- MENGEJA MATA KEKASIHKU
- Pangadha’ dhari K.A Dardiri Zubairi
Berdasarkan pendekatan feminisme, masyarakat yang mengalami subordinasi akan terlihat, seperti kemiskinan, meskipun pandangan kemiskinan masing-masing daerah cukup beragam, namun ada hal mendasar yang harus terpenuhi yaitu kesejahteraan sosial. Untuk masyarakat Indonesia masih banyak hal yang harus dilakukan untuk menciptakan lingkungan yang sejahtera terutama masyarakat Indonesia yang erat kaitannya dengan masyarakat agraris dan maritim. Namun yang harus diingat bahwa sangat dibutuhkan laki-laki dalam pekerja sosial untuk menyeimbangkan peran dalam karena kebutuhannya di dalam masyarakat Indonesia yang masih sangat komplek serta peksos itu sendiri belum popular di Indonesia.