Betapa
Tragisnya Keluargaku
Sebelum aku meneteskan hingga mengucurkan air mata, kita terlebih dahulu bermaaf-maafan, meskipun terasa sangat berat untuk menerima ucapan lelaki yang ringan tangan, yang terkadang tangannya melayang ke pipi dengan sebuah bunyi yang cukup dark and aesthetic. Tanganya melayang bukan hanya sekali duakali yang bunyinya sangat keras. Dampratan demi dampratan harus aku terima dari tangan lelaki yang anaknya telah aku kandung.
Aku takkan mengeluh bagaimana rasanya mengandung, itu sudah takdir seorang perempuan yang bersedia ikrar untuk menjalani hidup bersama pasangannya. Hidup bersama dengan komitmen yang telah disepakati bersama, disaksikan orang-orang ternama dengan latar ilmu pengetahuan yang sangat mumpuni, orang-orang yang dimuliakan, orang-orang yang dituakan dan lebih dianggap berkelas, telah menyaksikan bahwa aku dan kamu telah menjadi sepasang manusia yang diresmikan dan diakui secara hukum adat, hukum agama hingga hukum negara.
Sejak saat itu, aku berada dalam tanggunganmu. Dalam pertanggungan itu ada peraturan-peraturan tak tertulis hingga yang tertulis dalam kitab perundangan. Kita tentu saja memasuki babak baru. Kehidupan baru. Secara kebiasaan. Kau tercipta untuk berburu, mencari hewan untuk dimangsa, lalu aku memasaknya untuk makan kita. Artinya kau berusaha dan aku di rumah. Menjaga rumah. Merapikan dan menata. Kejutan-kejutan terjadi. Konflik-konflik kecil bermula. Dan percobaan pemukulan mulai kau arahkan. Meski masih kau tahan.
Anak pertama kita lahir dengan sangat menggemaskan. Kau tampak sangat ceria. Lebih berbunga dari pada saat aku telah berada di sampingmu. Aku bersyukur, rezeki keluarga kita semakin stabil. Mapan? Itu hanya menurut orang-orang. Bagiku kata ‘cukup’ adalah yang pantas untuk mengatakan sewajarnya. Yang terpenting adalah anak kita tak kekurangan makan. Kau sungguh bekerja keras untuk membuatku tenang, aman dan nyaman. Anak kita pun sangat ceria, tumbuh bahagia.
Hal yang tak terduga aku dengar, celotehan para tetangga tentang tingkahmu yang mulai goyah. Kudengar kau sedang main mata dengan perempuan lain. Saat aku Tanya tentang itu. tanganmu melayang ke seluruh tubuhku. Pukulan demi pukulan semakin membuatku tak berdaya. Aku meringkuk sendirian. Kau pergi entah kemana. Bukan hanya sehari kau pergi. Kau terkesan ingin meninggalkanku. Kau pulang di malam berikutnya. Aku cemas sendirian. Takut. Alangkah aku hanya bisa cemas di tengah badai semua ini. Aiih… apa benar kau menginap… ahhh kamu mungkin/pasti akan memukulku lagi jika kulontarkan pertanyaan itu. jika pertanyaan itu melompat dari ujung lidahku, mungkin bibirku akan pecah dan berdarah terkena dampratanmu. Sekarang aku akan memilih diam saja. Akan kunikmati segalanya.
- Pesantren Sebagai Pusat Pengetahuan
- Mamat Terro Nompa’a Jaran
- Matroni Musèrang, Nyalalat ka Tana Manca
Kekerasan dan kelembutan sekaligus akan aku rasakan. Bahwa itu adalah tanganmu yang kekar. Aku akan terus bertahan untuk tetap menjadi pasanganmu, menjadi istrimu, akan kutumpahkan air mataku setiap waktu. Takkan ada orang-orang julit yang akan mendengarkan jeritan tangisku ini. Aku tahu. Kau tampak tak mau bersyukur bahwa kau bisa hidup dengan perempuan cantik macam aku. Dan ternyata kau berselera pada perempuan seperti itu. sungguh nalar pikirku tak sanggup membaca pikiranmu.
Mau kubilang tolol, kau orang berpendidikan yang bisa saja tidak terdidik. Hahaha. Apa boleh buat. Apa yang bisa aku lakukan selain menertawakan tingkah leluconmu yang semakin tragis itu. Semakin dirimu banyak tingkah. Ulahmu akan tercium bau tak sedap oleh orang-orang sekitarmu. Orang-orang akan meninggalkanmu. Kau akan terpuruk sendirian. Dan akan mencari tempat bersandar. Pada saat itu, aku sudah tidak bersamamu lagi. Kau akan terkapar seorang diri. Aku dan anakmu telah tenang dalam kebahagiaan yang sempurna. Selamat jalan.