Seribet Itukah Berjomlo
Saromban. Sebenarnya aku tak hendak curhat sih,
namung peristiwa demi peristiwa datang silih berganti menghujamku, menusuk
jangtung hatiku, ingin menyanyi kaya Agnes aja. Anjrit lah! Masak iya hanya
karena belum berpasangan, aku dianggap meresahkan, apakah kejomloan adalah
persoalan bangsa yang sangat meresahkan. Aku sengaja memang menulis jomlo tanpa
b, namun jika kalian protes, aku akan menambai b nanti. iya kan, masih banyak
persoalan yang dapat dibicarakan, mengapa kesejahteraan guru tidak jadi
prioritas, jalan pedesaan yang berlubang, itu sangat bagus untuk dibicarakan,
orang-orang jarang ke masjid, meminta-minta amal di pinggir jalan, tapi
masjidnya sepi? Malah repot wal rempong membahas, menganalisis kejombloan. Kaya
perutnya kenyang saja.
Jika sekarang selalu bertanya kapan mau nikah, kapan
mau nikah, coba pikirkan anaknya, urusin tuh kencingnya sendiri yang meresahkan
masyarakat. Aku pengin banget mesuh mesuh, seperti (babi anjing anjrits), tapi
kan ga boleh mesuh. Sebagai seorang jomblo yang tidak minta makan pada kamu,
tidak menganggu suami-istrimu, aku santai-santai saja menjalani hidup ini. Aku
mungkin seperti yang diutarakan oleh temanku. Aku masih kurang bersabar dalam
menyikapi semua ini, serta masih belajar menerima segala luka yang pernah
terjadi. Hingga detik ini aku memang baru satu kali pacaran, aku baru saja
lulus S1. Jadi belum tua, jika pun telah lulus S2 dan aku masih sendiri atau
jomblo, apakah negara ini akan hancur, lalu agama yang aku peluk itu bakal
runtuh seketika, yaaa kalian tahu sendiri kan, jomblo itu hanya bisa memeluk
agama. Tidak bisa dengan yang lainnya.
Aku memang hidup di pedesaan dimana mayoritas
ibu-ibu lebih banyak menganggurnya, jadi punya banyak waktu untuk menganalisis
warga sekitar, mereka duduk bareng, mereka menganalisis yang bukan kelompoknya,
termasuk jomblo-jomblo karatan, baik lelaki ataupun perempuan. dianalisis
semuanya, tanpa terkecuali. Seandainya saja mereka disuruh menulis skripsi
tentang tetangga terdekat mereka, siapa saja yang pelit, siapa saja yang rajin
ke masjid atau siapa saja yang kaya, atau miskin tapi sok-sokan kaya, mereka
sangat tahu, pasti dalam waktu semalem selesai skripsi mereka.
Andai saja mereka mau mengaca, berpikir, setidaknya
mereka mengurani ngrumpinya, tapi lebih memilih mengaji, membaca Al-Qur’an,
tentu alam pedesaan akan adem ayem, meskipun ada perubahan iklim yang ganas
seperti ini tidak terlalu panas, aku Yakin Tuhan akan memberi jalan keluar bagi
hambanya yang berdoa, apalagi mereka mau mendoakan aku agar aku terbebas dari
tekanan kejombloan. Aku sih tidak tertekan. Cuma rasanya tidak enak selalu
dipandang dengan tatapan mata aneh, apalagi kayanya orang tua sendiri merasa
kurang nyaman, anaknya belum juga laku. Sebagai manusia aku berharap untuk
mendapatkan jodoh sebagainya mana mestinya.
Dikira aku tak mau berkembang biak apa? Hah? Tapi
kan ga gitu juga konsepnya… hidup harus sesuai dengan tuntunan agama, budaya
dan hukum negara. Hidup berjomblo di desa memang tidak segampang hidup
berjomblo di jantung kota-kota besar macam Jakarta, Seoul, Pyongyang,
Nusantara, Jogjakarta, Washington, Mekkah ataupun Oklahoma, Lima ataupun apalah
namanya. Kota besar memang memberikan ruang yang nyaman bagi penghuninya. Mau
hidup jomblo atau tidak, selama tidak mengganggu, tidak meresahkan masyarakat
aman-aman saja, tidak jadi pelakor, tidak jatuh cinta pada pria lain (jika
telah bersuami), tidak mencari jajanan di luar rumah bagi para lelaki yang
telah menikah. Mereka pun tidak harus mengurus orang-orang yang jomblo. Mereka
lelah bekerja, mereka family time bersama keluarganya.
Tidak mengurus privasi orang lain yang sedang
bermasalah, paling Cuma ikut prihatin, tidak menyebarkannya pada orang-orang
yang memang tidak layak untuk mendengarkan cerita begitu. Setiap orang punya
privasi yang tak semuanya bisa diceritakan pada orang lain, bukan kemudian
disebarkan luaskan. Sehingga membuat seseorang menjadi artis dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya. Anjrit! Lelah juga mengeluarkan neg-uneg sebanyak ini,
tak kirain mudah saja. Dahlah! Aku mau bobo saja!