Apakah ini adalah hal yang paling azali dari setiap manusia; yaitu kesepian yang menyeruak dan membelenggu hari-harinya. Dari lahir sendirian, mati pun terkubur sendirian, lalu menjalani hidup dengan penuh pertanyaan-pertanyaan tak penting yang cukup meresahkan. Hari-hari dipenuhi dengan tawaran-tawaran tentang seorang yang dianggapnya potensial untuk mendampingi hidup, dan segala tetek bengeknya.
Cerita ini bermula saat aku mengikuti perjalananmu, saat dimulainya bahwa kau terlebih menawarkan setetes kenangan yang cukup manis pada waktu itu. Yang Aku pikir kau adalah lelaki pertama yang akan terus menemani hari-hari ini indah bersamaku. Kita memilih menuju suatu tempat yang sama, kawasan yang sama. Saat itu pikirku, meskipun kita tak memiliki kesempatan untuk berbicara langsung, kita masih di bawah langit yang sama. Bahwa perjumpaan laki-laki dan perempuan, terutama yang seusia kita pada saat itu, sangatlah di larang, karena tempat kita terpisah oleh tembok ratapan (meskipun bukan tembok kesengraan). Berada di tempat yang, di bawah langit yang sama. Harapanku. Doaku. Terpanjat untukmu. Terkabul untuk kita berdua. Awalnya, aku pergi ke tempat dimana dirimu belajar, adalah langkahku untuk membuatmu lebih bahagia dan tenang. Bahwa kita berada dalam frekuensi yang sama. Masa-masa yang harus dilewati sebagai siswa menengah atas pun telah berakhir.
Kau pun memilih pergi ke sebuah Kota Dingin, di lereng Bukit di pulau Padi. Apa yang kulakukan. Kau lelaki. Dengan senjata pahat yang bisa saja kau gunakan untuk mengukir, sehingga kau bisa bertahan dengan berbagai deraan badai yang siap menghantammu. Aku? Seorang perempuan yang terbelenggu adat. Tak mungkin seorang perempuan berlari mengejarmu di ataslautan. Tanpa alat apapun. Ahh.. akhirnya aku hanya bisa mengirimimu setangkai doa. Meskipun keyakinanku penuh bahwa doa-doaku masih akan terus menyertaimu di Kota Dingin itu. tapi doa hanya sebatas doa.
Aku memang berada di kota lain, dekat perbatasan. Di kota ini. Aku berharap kau pulang. Mampir. Lalu kita sepulang bersama. Aku selalu berharap kau turun di depan kampusku. Lalu mengajakku pulang. Kita satu bus bersama. Izinkan aku bersandar di pundakmu. Itu mimpiku. Namun, kota dingin adalah kota dingin yang mungkin, barangkali matahari tak pernah bersinar, sehingga membuat segala kabar darimu membeku di tiang listrik. Kota Dingin itu telah mengajarimu untuk berbuat dingin padaku. Apa yang bisa aku lakukan. Seorang perempuan. tertatih. Berdoa. Berharap sekedar mendapatkan kabarmu. Tak ada.
- Epic Ending Preman Pensiun 8
- MENGEJA MATA KEKASIHKU
- Pantun Madura
- Perjalanan dan Perjuangan Dakwah Abu Hasan al-Shadhili
Lalu kulihat berandamu. Kubaca kalimat-kalimat indah penuh sanjungan. Puitis. Membuatku terbang ke langit ke tujuh. Kupikir. Kau sedang dalam rindu serindunya padaku. Ternyata semua itu tertuju pada perempuan lain. Yang kau ukir di kota itu. hari-hari selanjutnya, aku tetap berharap kau pulang. Kau pulang. Pulang dalam pelukanku. Tak apa kau habiskan mata jelalatanmu itu pada perempuan-perempuan lain yang kau suka. Biarlah. Jika kamu lelah. Pulanglah. Kau akan tetap aku terima dengan tangan penuh cinta.
Hingga
detik ini pun. Aku tak bisa menerima pria lain. Tak ada pria lain yang bisa
mengetuk pintu hatiku yang terkunci olehmu. Dan aku berharap tak ada korban
lain yang lebih menyedihkan dari padaku. Selamat jalan!!!
Siapa yang nulis? 😅
BalasHapusseorang perempuan yang mencoba bangkit
Hapus