Badan Usaha Milik Ya
lalampan.com. 1445. Yapz. apa!?? Betul sekali. Badan
Usaha Milik Yayasan atau Sekolah, Kampus, bahkan bisa jadi milik masjid, hehehe,
terbalik ya, mestinya suatu yayasan yang memiliki sekolah, ataupun masjid. Apa
pula itu Badan Usaha Milik Yayasan, atau milik sekolah dan bagaimana proses
berjalannya.
Dalam tulisan sebelumnya, esai di lalampan.com,
tentang konsorsium yang berdiri bersama kemudian diharapkan bisa menghasilkan
keuntungan besar, yang itu bisa digunakan untuk kemakmuran dan kesejahteraan
sekolah atau seluruh lembaga yang berada di bawah Yayasan itu, seperti Yayasan
Arokat lalampan ini yang memiliki lembaga penyiaran, mulai dari lalampan.com (web),
Arokat lalampan (Youtube/podcast), Lalampan Book Store (toko buku), bisa juga
bisa besok lalampan ini memiliki badan usaha khusus, seperti kuliner atau pun
pom bensin di satu rest area.
Jika sebuah yayasan di Madura yang biasanya memiliki
beberapa lembaga seperti Taman Kanak-Kanak, RA, MI, SD-I, MTs, SMP-I, MA-SMA,
yayasan tersebut bisa mendirikan yang namanya badan usaha milik yayasan.
seperti Badan Usaha Milik Lalampan, karena nama yayasannya adalah Yayasan
Arokat Lalampan. Ini untuk apa sih…
Pertanyaannya, apakah bakal berjalan BUMY tersebut,
jika kita berkaca pada Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) saja, dinamika perjalanannya
tidak tentu arah. Ini jika berkaca pada BUMDes yang tidak berjalan, tak bisa
ditampik bahwa BUMDes tersebut telah memiliki modal besar yang telah diatur
oleh negara. Secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa BUMDes tersebut
memiliki sumber modal yang jelas, jika orang-orangnya serius mau mengelola
sumber modal tersebut. Apakah BUMD sama BUMN juga memberikan keuntungan besar?
atau justru hutang negara semakin membengkak?
Maos Jugan:
Lalu bagaimana dengan Yayasan Sekolah itu? Pertama
jangan terlalu berpikir yang waw apalah sampai bermuluk-muluk ria. Sekolah
sebagai tempat mencari ilmu, tentu membutuhkan kitab, membutuhkan peralatan
menulis. Di sekolah bisa didirikan toko peralatan menulis semacam ATK, begitu
pula dengan kulineran yang biasa dibeli anak-anak, sudah harus punya izin dari
sekolah. seperti pentol, ciki-ciki, itu merupakan toko (barung) milik sekolah, bukan milik pribadi atau individu. Sudah
milik pribadi, tak sekedar memberikan tempat sampah di lingkungan sekolah,
efeknya, sampah banyak dan terbuang sembarangan.
Yang jadi pertanyaan adalah dari mana sekolah itu
akan mendapatkan modal? ini yang repot!!! Baiklah, sebelum masuk ke permodalan
mari kita lanjutkan menuju usaha prospek yang cukup menjanjikan dalam beberapa
tahun terakhir ini, bahkan dalam satu dekade lebih, usaha masyarakat Madura
yang merantau ke Jakarta ini terbilang cukup menggembirakan. Tentu sudah banyak
bukti bahwa mereka yang merantau ke Jakarta, membuka toko kelontong, pulang
membawa kesuksesan yang lebih dari cukup.
Bagaimana jika sekolah juga memiliki toko kelontong
semacam itu? tidak bolehkah? Memang. Jika ditelisik berdasarkan pikiran yang
dalam apakah akan memungkinkan, sekolah atau yayasan akan bisa membuka toko
kelontong di Jakarta? tapi hari ini, kabarnya Jakarta telah penuh.
pertanyaannya adalah kembali pada modal, siapa yang akan menjaga, proses
pembagiannya, dan lain sebagainya. Sebab pemiliknya bukan milik individu. Mari
kita mengenal konsorsium, saham, atau kooperasi. Barangkali bisa.
Maos Jugan:
- Malem Ser
- Pantun Madura, Sanja' Kona
- Lukman: Ngaronge Sagara Madura
- Matroni Musèrang, Nyalalat ka Tana Manca
Tentunya, jika kita mendengar cerita dari
orang-orang yang telah pulang dari Jakarta. Pulang membawa uang segepok, ada
yang langsung memperbaiki rumah, membeli motor, bahkan membeli mobil, tapi tak
ada yang menjadi modal. Untuk modal? dulu sekolah kenapa bisa punya gedung,
lahan untuk membangun sekolah, dimana dapat uang/modal? iya sudah.
Tentu beberapa sekolah sudah mempunyai alumni yang
banyak, sukses semua. Tentu bisa jika membeli saham perlembar seharga seribu
rupiah. apa ada harga saham perlembar seribu rupiah? ya silahkan dicari di google.
atau bisa langsung minta uang pada alumni seribu rupiah perorang, tentu jika
dikumpulkan akan banyak, dan bisa jadi modal.
Jika yayasan, atau sekolah tersebut, meminta
sumbangan tiap bulan, apalagi pada alumninya, tentu juga akan membuat mereka
berpikir panjang, masa iya minta amal tiap bulan atau bahkan tiap minggu, tentu
juga tidak mungkin, apalagi alumni sudah tersebar kemana-mana. Tentu sudah
banyak Yayasan, atau sekolah atau bahkan Universitas/perguruan tinggi/kampus yang
telah memiliki Badan Usaha.
Seperti yang ditulis oleh Deni al Asyari (https://web.suaramuhammadiyah.id/2020/07/02/badan-usaha-milik-sekolah-why-not/)
tentang lini sayap bisnis. Saya menemukan web ini, setelah mencari dengan
keyword: beberapa badan usaha milik sekolah, tentu saja saya tidak berniat
plagiasi. Itupun setelah menulis selama kurang lebih satu jam, yang menurut
pikiran saya, tulisan ini akan selesai. Niat awal tulisan ini adalah
menghadirkan wacana tentang Badan Usaha Milik Yayasan, sedang Deni secara
konsisten menyebut Badan Usaha Milik Sekolah. Tujuannya adalah sama, seperti
yang saya tulis di halaman sebelumnya (baca: Sakola’an Tombu Nyenna), yaitu
untuk menunjang kesejahteraan tenaga pengajar, pembiayaan sekolah dan lain
sebagainya.
Yang Pertama adalah Mendirikan waralaba di
lingkungan sekolah sendiri, seperti toko ATK, warung nasi, pentol dan
lain-lain. Kedua mendirikan Toko Kelontong di Kota besar seperti Jakarta,
sebagaimana masyarakat Madura (Sumenep) pada umumnya, kemudian yang ketiga
adalah membuat channel Youtube.
Apakah membuat Channel Youtube milik sekolah akan
membutuhkan modal besar? Saya sungguh males untuk menuliskannya. Apalagi
lembaga yang memiliki pesantren, yang artinya siswa dan santri bermukim di
lingkungan pesantren, asalkan ada yang membimbing tentunya Channel tersebut
akan berisi konten-konten yang berkualitas, mulai dari pengajian, aktifitas di
sekolah, bahkan ini bisa menjadi media promosi. Gunakan alumni untuk
mensubcribe channel Youtubenya. Masih susah? saking tak mau bergerak untuk
menuju perubahan?
Mat Toyu, Pria Kelahiran Sumenep