"Inshaallah baik anaknya. Dan yang terpenting
lagi, tidak main-main." Lanjut beliau. Aku hanya duduk mematung tanpa
mengeluarkan sepatah kata pun.
"Ya kalau sekiranya baik, mungkin bisa diurus
lebih lanjut." Kemudian Mbah Putri menyambung. Aku tetap saja sok sibuk
menatap layar ponsel.
"Kamu yaapa Nak? Mau ngikuti saran pamanmu apa
mau manut Ummi?" Di suasana yang lain, Ummi tetap saja seolah tak punya
tema lain untuk dibicarakan. Pokonya, bagi Ummi, tahun ini sudah harus menikah.
"Daripada calon yang pamanmu ceritakan kemarin,
Ummi rasa pilihan Ummi lebih tepat. Ummi kenal, Ummi tahu dan akrab dengan
keluarganya."
"Miii... Sudah jangan bahas ini lagi. Maira
belum ingin, Mi..."
Maos Jugan
"Lha, teman-temanmu sudah punya anak, sepupumu
yang lebih muda juga sudah menikah. Umurmu sudah berapa?" tegas Ummi lagi.
"Iya tapi menikah bukan peeihal siapa cepat,
bukan ajang lomba, bukan untuk selalu terkesan dipaksakan hanya karena malu
pada tetangga karena tak kunjung menikah, Mi..." Kalimat panjang ini hanya
mengangan, urung kukeluarkan sebab jawaban Ummi akan tetap sama.
"Ra, gimana soal temenku kemarin yang ngajak
kamu ta'aruf?" Ainun, tetangga rumah, karibku. Keturunan Solo yang
kemudian tinggal di Madura.
"Ap sih Nun.... Uda ah...."
"Ra, temanku kamarin lihat kamu pas acara bazar
buku kemarin. Dia minta tolong untuk sampein ini ke kamu." Faris,
lagi-lagi.
Bukan senang, mengingat beberapa nama yang kemarin
juga mengirim pesan lewat sosial media, di rumah, di tempat kerja mendapati
semua ini aku hanya ingin menangis sejadi-jadinya. Tiba-tiba sesak mengerumun
dan datang bergerombol memenuhi rongga dada. Ingin menangis sekeras-kerasnya
kemudian mengadu ; Tuhan... Aku tak ingin menikah.
Ummah El-Kamil merupakan perawat di Pusat Kesehatan Pesantren dan merupakan Alumni Akademi Keperawatan Nazhatut Thullab Sampang. melain merawat ia juga menulis cerpen dan sanja'