"Entahlah, aku mau memulainya dari mana. Tapi
yang jelas begitu terpukulnya jiwaku saat ini. Meninggalkanmu sepertinya tidak
akan pernah benar-benar siap".
"Aku bodoh. Ya, benar. Aku memang orang yang
sangat bodoh. Bodoh sebodoh-bodohnya. Entah dari mana aku tiba-tiba menjadi
laki-laki paling bodoh kala itu."
"Semuanya berjalan atas dasar ketiadaan
pertimbangan. Aku yang terlalu ceroboh. Melakukan hal terlarang di antara
kehati-hatian moral".
Malam memekat. Aku sendiri. Semakin menjadi diri.
Tidak tahu kondisi mana yang harus aku adukan. Semuanya pecah. Berantakan tak
berdaya. Hanya bisa memejamkan mata. Menjadi gelap di antara yang gelap.
Semuanya tak terlihat sebagai warna. Hanya kamu yang tersisa utuh dalam genggam
yang tidak bisa aku sentuh.
"Sungguh aku belum siap bicara langsung
kepadamu, tapi aku lebih belum siap lagi
jika harus melupakanmu.Kamu yang menerimaku sebagai manusia disaat isi dunia
menghujatku sejadi-jadinya".
"Aku hanya bisa sampaikan ini..."
Dear kamu...
Aku tidak tahu gimana bencinya kamu saat ini
terhadapku. Kecewanya kamu. Lukanya kamu. Terpukulnya kamu. Yang bisa aku
lakukan hanya 'maaf'. Dan itu tidak akan merubah keadaan. Aku telah
mengecewakan. Aku telah membuat semuanya berantakan. Hancur lebur. Tak ada lagi
harapan.
Maos jugan
- Sanja’na KHALIL SATTA ÈLMAN
- Mendalami Ketubuhan dan Kebutuhannya
- Ajam Guring Pongkasan, Lukman Hakim Ag
- Rakara (Naskah Lakon, Anwari)
- Kaju Odhi' Paseser Tasellem
Dear kamu...
Di saat tulisan ini aku buat, pecahlah segala
tangis. Bercampur antara ketidakmampuan atau memaksa berdamai pada keadaan. Aku
tidak tahu harus membahasakannya bagaimana. Aku telah menikah. Terpaksa
menikah. Menikah yang bukan pilihan. Menikah atas dasar kecerobohan. Aku telah
menjadi orang yang mengotori suci ikatan. Memulai dari kesalahan. Dari
kebodohan yang aku mulai sendiri.
Dear kamu...
Aku tidak tahu, posisimu saat membaca tulisan ini
sudah tahu atau tidak. Tapi peristiwa malam itu benar-benar singkat. Aku
terperangkap. Mati dari segala pikir dan gerak. Mulut diborgol dari segala
arah. Terjebak pada kata sendiri. Besoknya aku sudah menikah. Menjadi seorang
suami yang sah dari cinta dan perempuan yang tak perna aku pinta.
Dear kamu...
Dua pekan berlalu. Dan aku belum sadarkan diri.
Semuanya masih terasa mimpi. Gelap dan menyeramkan. Langkah tiba-tiba hilang.
Aku hanya sebatas bongkahan beban yang menyisakan nyawa-nyawa penyelasan. Tak
ada lagi suara. Hanya pekikan tak berkemanusiaan yang selalu lantang dari mulut
perempuan di hadapanmu.
Dear kamu...
Entah kapan tulisan ini sampai. Sungguh aku
benar-benar hancur. Tidak tahu ke mana harus pulang. Arah dan harap telah
hilang. Dan aku sendiri penyebabnya. Aku api yang sekaligus baranya. Aku badai
yang sekaligus gelombangnya. Akulah kematian dan nerakanya. Maafkan aku, meski
aku tahu kamu tidak akan pernah bisa melakukan.
"Anjing..."
"Babi..."
"Laknat... "
"Pulang kamu..."
"Suami macam apa, tingkahnya tidak pernah
becus..."
Suara itu. Suara perempuan itu. Kembali menghantam
dan menghujatku sejadi-jadinya. Aku terlempar. Membusuk dalam kutukan
persyetan.
Madura, 2023
*Ach Jazuli. Merupakan penulis buku Kisah Hujan yang
Lain