Di teras depan, Misnah tanpak murung. Ia duduk di kursi plastik warna hijau
yang pudar warna karena termakan kenangan. Tatapan Misnah nyaris datar. Belum lagi, pikiran dan
hatinya saling beraduk tempur mengharap Misnali cepat pulang. Lelaki yang sudah
memberinya kehidupan hingga usia senja seperti saat ini. Tetapi, sejak satu
yang lalu, ketika lelaki asal pedalaman Gedangan itu pamit untuk pergi merantau
ke luar kota, tak pernah memberi kabar sampai membuat Misnah rindu tak terperi.
Dirinya bingung harus bertanya kepada siapa, pun juga tidak tahu harus meminta
tolong dengan cara apa.
Semenjak satu atap dengan Misnali, Misnah tidak pernah diperbolehkan
memegang Hp, bukan tanpa alasan, selain Misnah tidak tahu, Hp di masa madunya
tidak begitu familiyar. Tidak semua orang yang bisa memiliki Hp, tetapi Misnali
lain sendiri, di usia remajanya, ia sudah memegang dan memiliki Hp. Misnah
jelas tidak tahu dimana Misnali mendapatkan cukup uang untuk membeli Hp yang
kala itu harganya melangit. Tidak sembarang orang yang bisa membeli Hp.
Pada akhirnya, kau tidak mau tahu bagaimana Misnali mendapatkan banyak uang
untuk membeli Hp, yang Misnah ingin ialah bagaimana Misnali bisa tertarik padanya,
karena dengan begitu, Misnah bisa mendapatkan keduanya. Tetapi begitu, Misnali
tidak juga kunjung tertarik kepada Misnah, seolah apa yang ia lakukan semuanya sia-sia. “Apa begitu orang kalau kaya sendiri?”
rutukmu dalam hati.
Maos jugan
Misnah tidak pernah putus asa untuk mendapatkan cintanya Misnali. Setiap
bertemu Misnah selalu mencari perhatian Misnali, lagi-lagi begitu, Misnali
selalu tanpak acuh dengan apa yang dilakukan Misnah. Bahkan Misnah sempat
menduga kalau Misnali sudah punya perempuan lain yang tiada lain ada di dalam
Hp itu. Tapi dengan akal warasnya, ia urung buru-buru menuduh, pertanyaan yang
tidak mendasar itu cepat-cepat ia lempar jauh. Jika tidak begitu, mungkin
Misnah sendiri yang akan kenak batunya. Misnah tidak mau lelaki yang mampu
membuatnya jatuh-sejatuh-jatuhnya pada masa-masa kaula muda, tidak mau hilang
karena pikirannya sendiri. Tidak mau, benar-benar tidak mau!
Setelah hampir satu bulan lebih mencari cintanya, akhirnya Misnah mendapatkan
apa yang didambanya. Tepat purnama di bawah pohon mangga Pak Munip, Misnah dan Misnali berpapasan, dan kebetulan Misnali
hendak mencari Misnah ke rumahnya. Dalam dirinya, ia ingin bertanya pada Misnah
apakah cintanya itu tidak main-main. Sama seperti dirinya yang juga tidak
main-main dengan tidak mengubris usahanya Misnah. Di bahwa guyuran sinar
purnama dan rindang pohon mangga, Misnali menyapa, lalu kemudian mengajak
Misnah untuk berbicara sebentar. Sedang Misnah yang sedari jauh tadi
senyam-senyum menahan candu pada lelaki yang berkemeja abu-abu tiada mampu ia
tutupi lagi.
Setelah menyeret Misnah yang nyaris lurus di bawah purnama, Misnali hendak
menanyakan keseriusan cinta yang Misnah umbar padanya. Tetapi, ia bingung harus
dari mana ia memulai dan menyatakannya. Pasalnya, ia tidak sanggup menatap
lamat bola mata Misnah yang bersinar terkena tempias sinar purnama. Begitupun
Misnah yang juga tidak ingin berlama-lama memaku tatap pada Misnali.
“Aku ingin bertanya sesuatu padamu?” gemetar Misnali bertanya sebab sejak
pertama kali memegang dan menyeret tangan Misnah, gemuruh serupa guntur di
dadanya tidak bisa ia tenangkan kembali.
“Tanyakan saja, aku siap menjawabnya.” Ia mencoba menjatuhkan diri pada
suasana.
Lagi-lagi Misnali bingung harus memulai dari mana, pikirannya berkecamuk
sendiri. ia teramat gugup, belum lagi baru kali ia begitu dekat menatap
perempuan. Kakinya pelan perlahan mulai gemetar. Ia sungguh bingung harus
memulainya dari mana, pikirannya kosong. Degub jantung semakin kencang. Sunyi
merampas kemesraan mereka.
“Misna, kau tidak bermain-main kan dengan perasaanmu itu?”
Wajah bahagia Misnah tiba-tiba merah merona. Ia tidak tahu harus jujur malan
itu atau tidak. Dirinya juga sadar tidak akan menemukan
kesempatna seperti malam itu lagi. Dengan segala pertimbangan, dan menyakinkan
diri bahwa cintanya kepada Misnali tidaklah main-main.
Maos jugan
- Ancaman Krisis Mental Jadi Perhatian Utama
- Santri Dalam Dinamika Politik Kebangsaan
- Cerpen: Kehidupan Kedua
- Puisi-Puisi Jufri Zaituna
- Parebasan Madura, Sanja' Kona
“Benar, aku tidak main-main dengan perasaanku kepadamu,” ujar Misnah setelah segala tanya menjadi satu.
“Mengapa kau mencintaiku?”
“Kau tidak seperti mereka!”
“Siapa mereka?”
“Mereka, teman-teman sebayamu.”
“O…. kenapa memang teman-temanku?”
“Hemmm….”
Misnali tidak tahu harus bagimana memulai dan mengakhiri percakapan.
Sehingga yang meluncur dari mulutnya selalu pertanyaan. Tanpa menyadari
perasaan Misnah itu sendiri. Karena saking gugupnya, Misnali tidak tahu apa
yang diutarakan itu membuat suasana kaku, dan Misnah kesal dengan Misnali yang
tidak peka terhadap perasaan dirinya.
“Maaf, Maaf, aku tidak sengaja dengan yang kuutarakan. Sekali lagi, maaf.”
Dengan segala sesal, Misnali meminta maaf kepada Misnah yang tidak tahu
berkomunikasi.
Selama ini, Misnali jarang bertegur sapa dengan lawan jenis, sehingga tidak
mau tidak, saat dihadapkan dengan situasi seperti malam itu, ia tidak bisa memecahkan
sendiri. belum lagi, sampai sebelum Misnali berpapasan dengan Misnah, ia hanya
sebagai peternak ayam. Jarang berkumpul pasti ia temui, mengingat kesibukannya
sebagai peternak yang tidak bisa ia tinggalkan.
Misnah memasang wajah masam, ia merasa lelaki seperti di depannya tidaklah
cocok bersanding dengan dirinya, mengingat Misnali yang tidak peka. Tetapi
ketidaksukaan Misnah terhadap Misnali tidaklah mampu megalahkan cintanya yang
tumbuh dan ia rawat sampai pada detik dimana dirinya bisa menatap dengan jelas
wajah Misnali. Ia tidak mau gegara Misnali tidak peka, tiba-tiba dirinya
meningalkan Misnali. Tidak demikian yang ia inginkan. Cukuplah ia tidak suka
dengan ketidakpekaan Misnali tanpa perlu menyeret jiwa nan raganya.
Di hari itu, yang entah kapan, kau telah menjatuhkan cintamu pada Misnali.
Kau tidak tahu Misnali anak siapa? Orang mana? Pekerjaannya apa? Segalanya
Misnah tidak tahu, yang ia tahu kalau Misnali mampu membuat dirinya melabuhkan
cintanya seluas samudera. Dan Misnah juga tidak tahu Misnali itu perangainya
bagaimana?
Dengan posisi duduk yang sama di teras depan, Misnah mencoba menarik senyum
yang kisut di bibir tuanya.
“Persmisi Mbah,” seseorang mengaburkan lamunan masa kaula muda Misnah.
Misnah terperajat, mencoba mencari asal suara. Sejatinya Misnah tidak asing
dengan suara itu, namun meski begitu, ia tentu harus menemukan asal suara untuk
kemudia menyapa dan menanyakan keperluannya apa.
“Oh…. Kamu, ada perlu apa?” dugaan Misnah benar kalau pemilik suara itu
adalah Tumi yang tiada lain merupakan cucu duapupu.
“Mbah Misnah sudah makan?”
Pertanyan Tumi mengingatkan Misnah kalau dirinya sedari malam tidak makan. Bukan karena tidak lapar,
tetapi rasa rindu terhadap suaminya mengalahkan segalanya. Ia sangat tidak
berselera untuk memasukkan makanan apaun ke mulutnya. Ia seolah mati rasa untuk hal itu, kecuali
rindunya terobati, mungkin segalanya akan kembali ke awal.
“Belum, Nak. Kamu bawa makanan lagi?” Misnah mencoba bertanya seolah dirinya
sungguh sangat lapar.
“Kalau begitu, ini makan dulu, Nek,” timpal Tumi sambil mengulurkan
bawaannya.
Dengan Tumi, Misnah sungguh sangat bangga. Cucunya yang satu itu pengertian
sekali dengan kondisi dirinya. Semenjak sang suami minggat dengan dalih merantau mencari penghidupan keluarga, Tumi-lah yang
selalu membawakan bekal makan pagi, sore dan malam. Bukan hanya itu, kehadiran
Tumi juga menjadi kebahagiaan tersendiri yang Misnah rasakan. Bukan perihal
kehilangan, tetapi Misnah terlalu lama mengakrabi sepi. Jika dihitung mundur,
tentu Misnah sudah lupa.
Tumi tidak pernah lelah melayani neneknya, bukan karena alasan lain. Bilamana ibunya yang melakukan, siapa yang akan mengurus adiknya
di rumah. Belum lagi, bapaknya yang tidak juga kunjung pulang setelah kelahiran
akan ke duanya. Sehingga tidak heran jika Tumi selalu jarang dizinkan pulang terlalu lama.
“Kamu tidak keburu-buru kan kan, Nak?” tanya Misnah meyakinkan dugaannya.
“Tidak juga, Nek. Cuma dari ibu, Tumi tidak boleh terlalu lama juga, soalnya masih harus
ke rumah tante Misni.”
Hati Misnah sedih mendengar pernyataan Tumi yang tidak boleh berlama-lama
di kediamannya. Padahal di awal mendengar suara Tumi, Misnah sudah semringah
karena cucu kesayangannya ada di dekatnya.
“Kalau begitu, Tumi pamit dulu ya, Nek.”
Misnah tidak bisa mencegahnya, lagian nanti malam Tumi akan menemuinya
lagi.
“Iya, Nak.”
“Eh, ada pesan dari bapak, Nek. Katanya kakek telah meninggal dan dikubur berdampingan dengan kuburan
perempuan lain,” begitu berat dada Tumi mengutarakannya. Meski sejatinya,
kedatangannya bukan hanya memberi bekal makan, tetapi juga mengabari kepada
neneknya kalau sang kakek telah meninggal di tanah rantau sana.
Antara Misnah dan Tumi tidak saling berujar, tidak saling berucap, tidak
saling bertatap. Segalanya hening, sehening kesepian yang teramat lama menemani Misnah, dan
dengan kabar itu, purnah sudah kesepian Misnah hidup dengan sunyi.
Ledokombo, 17 November 2023
-Cerita teruntuk terkasih, Mawaddatin
Warahmatan Aulia
*Muhtadi.ZL. Merupakan alumni Pondok Pesantren Annuqayah
Guluk-Guluk Sumenep Madura. Tulisannya berupa Esai, Opini, Cerpen, Resensi dan
Puisi yang telah dimuat diberbagai media online dan offline.