Entah, ini sudah keberapa kali, kau selalu
lupa untuk menuliskan sesuatu tentangnya. Bisa-bisanya kau lupa menuliskan
sesuatu pada gadis yang lama kau taksir. Mungkin, aku sebagai sahabatmu juga penasaran,
sebab apa kau bisa lupa menuliskan sesuatu tentangnya. Setiap kali kita jatuh
obrol di manapun, termasuk dalam kelas, kau tak pernah bosan menuliskan sesuatu
tentang dirinya. Bukankah ini terkesan aneh ketika kau abai pada seseorang yang
sudah amat lama kau taksir tidak menuliskan sesuatu?
Bahkan aku masih ingat perkataanmu di suatu
sore sebelum pulang sekolah.
“Begitulah perasaan, ketika ia dihantui hal
pelik, kadang lupa menjadi jalan tekahirnya,” ucapmu dengan wajah datar.
Sebenarnya, ketika kau berucap demikian, aku
tidak tahu masalah apa yang sedang menimpamu. Di satu sisi kau tidak juga
menceritakannya kepadaku, di sisi yang lain, aku enggan ingin tahu seluk-beluk
persoalanmu. Meski terkadang, ketika mendapati apa-apa, kau tidak pernah absen
untuk mengutarakan padaku, akan tetapi, di suatu sore itu, kau malah lebih
dingin dari yang kutahu. Dari itu, aku sama sekali ragu untuk mencari tahu, hal
yang aku takutkan, keingintahuanku justru mengusik ketenanganmu. Dan aku,
menghargai caramu mengobati dan menyelesaikan persoalan itu.
Seingatku, kita sempat mendiskusikan
gerak-gerik manusia dalam berhubungan sosial. Seperti halnya kita, yang tidak
pernah bisa menyelesaikan sesuatu dengan sendirian. Baik tugas kelas, ataupun
tugas pribadi. Cuma satu kalimat yang selalu terngiang dalam benakku, bahwa mau
diam bagaimanapun kita, di mata manusia salah tidak pernah lepas di-cap-kan ke
kita. Mau sebaik apapun manusia, kalau setiap hari selalu kelihatan batang
hidungnya, salah tidak pernah lepas dari penilaian manusia.
Di kesempatan diskusi itu, kau juga ambil
bicara, menurutmu, manusia di luar kita adalah komentator yang kritis pada
orang lain, dengan lupa mengomentari dirinya sendiri. Sehingga tidak heran
ketika kau malah memilihh untuk menjatuhkan diri dari kemuslihatan bibir orang
agar orang lain tidak tahu kau yang sebenarnya. Bukankah hidup dengan perkataan
orang itu adalah pekerjaan yang paling tidak menyenangkan.
Maos Jugan
- Ma Ma’na Sanat
- Tasdid dhalem Basa Madura
- Luka yang Menua
- Memahami Fikih Pandemi
- Puisi: Jarak yang Kukejar
Tetapi, menurutku bukan hanya itu saja yang
bisa membuat manusia amatir seperti kita ini merasa ogah untuk hidup di dekat
orang-orang yang sangat amat kritis terhapa gerak-gerik orang lain. Cuma,
diskusi pada hari itu cepat-cepat kau tutup, mengingat, jika lebih jauh
mengkritisi kemanusiaan komununal, kemanusiaan secara individual juga akan
terseret, hingga pada akhirnya diskusi itu bukan lagi bertukar pikiran atau
pengalaman, melaikan membenturkan keburukan orang alias ghibah dan di agama
kita itu tidak diperbolehkan.
“Jika tidak diperbolehkan, mengapa orang lain
lebih piawai mengkritisi orang lain? Apakah mereka di luar agama kita?” aku
mencoba mengutarakan sesuatu yang sudah jelimet di kepalaku.
“Hessh… kau ini terlalu berlebihan,” kau
memotong kekesalanku.
“Habisnya, diamku pun tidak lepas dari
penilaian orang-orang.”
“Bukan karena agamanya, tapi mereka sudah
punya tiket surga,” ucapmu sambil tertawa cekikikan, seolah jawabanmu itu hanya
satire belaka pada mereka yang paling benar dalam bertingkah sosial.
Orang-orang juga tahu kalau kita hampir setiap
hari mesti bersama, sampai orang-orang bilang kalau sudah ada aku, mesti ada
kau. Dan itu seolah sudah menjadi hukum alam bahwa kita ditakdirkan selalu
bersama. Bukan karena itu saja, sebenarnya rumah kita dekat, dari sejak kecil
sampai sekolah seperti saat ini, kita selalu bersama.
Bisa di bilang, perjalanan kita sudah sangat
panjang. Baik komentar atau cibiran sudah kita lahap bersama. Tapi anehnya, di
pengujung kelulusan ini, kau malah tertarik pada seseorang yang itu bisa
dibilang bukan kelasmu. Benar, dia anak konglomerat bergelar kiai.
Aku tidak tahu mengapa kau tiba-tiba suka
padanya, bukankah kau sudah menaruh prinsip untuk tidak mencitai siapun sampai
kau mapan segala hal? Entahlah, aku juga tidak tahu mau sekuat apapun prinsip
kalau dihadapkan dengan perasaan, pemenangnya pasti satu! Hanya saja begitu,
dia bukan kelas kita yang kelas abangan.
Kau bersikukuh bisa meluluhkan perasaannya.
Untuk marga? Kau masa bodoh, dalam keyakinanmu, perasaan tidak pernah dibatasi
apapun, termasuk marga. Dari saking bersikukuhnya kau ingin mendapatkan hatinya
dia, Neng Fai. Perubahan sikapmu sangat drastis, kau yang awalnya selalu
mengutaran isi kepala lewat bibir, karena Neng Fai, kau hampir menuliskannya ke
buku diary.
“Ini tentang mengabadikan. Ingat, karena
tulisan kita tahu sejarah.”
Dari isi pembicaraan yang kerap kita lakukan,
tentang Neng Fai, tidak pernah lepas dari bibirmu. Aku yang mendengar hampir
ingin muntah. Sungguh, aku tidak tahan dengan pembicaraanmu yang selalu
mengarah dan menyudut ke yang melakat pada Neng Fai. Seolah hidupmu hanya untuk
Neng Fai, dan kau siap melakukan apa saja asal itu keluar dari bibir purnama
Neng Fai.
Suatu waktu, entah untuk yang keberapa kalinya,
aku menemukanmu di luar batas kebiasaanmu. Bukan hal aneh sebenarnya, tetapi
itu tidak wajar saja kau seperti itu. Misal, kau yang jarang melakukan ritual
ibadah, eh setiap kali aku hendak mengajakmu ke luar, kau selalu berasalan “Aku
masi belum solat,”, atau seperti setelah mangrib, biasanya kita selalu membeli
gorengan di pertigaan lapangan sana, kau selalu beradalih, “Setiap habis
mangrib, aku tidak boleh kemana-mana, harus ngaji.” Dan, yang paling membuatku
enek pada perubahan sikap sosialmu, ketika hendak berangkat ke sekolah, kau
selalu berasalan, “Aku disuruh Neng Fai solat dua rakat dulu sebelum
berangkat.” Sungguh itu membuatku enek sama sekali.
Aku bingun, apa karena cinta seseorang harus
melawan kebiasaan sebelumnya? Sungguh, aku tidak lagi sanggup hidup atau
berdampingan dengan orang-orang yang berubah dirinya karena cinta, apalagi beda
cinta beda kelas.
“Kenapa kau sederastis itu berubah? Biar
selamat dari buah bibir orang-orang? Atau, kau mau membuktikan kalau kau bisa
mendapatkan posisi baik di mata orang-orang?” hari Rabu, saat jam istirahat,
aku mengajukan pertanyaan itu kepadamu yang sedari pagi berangkat sampai
sekarang bibirmu selalu terkatup-katup.
Jawabmu juga rada lelet, tidak seperti biasa.
Anehnya, kau sekarang mengalungkan cincin tasbih eletronik di jari telunjukmu.
Aku sungguh ingin tahu, apakah karena cinta kritismu masih berguna? Tetapi
sampai berapa detik, kau masih mengatupkan bibir seraya membaca entah tanpa ada
suara.
“Aku tidak ingin sedang mencari aman, tetapi
ini permintaan Neng Fai. Kan aku sudah pernah bilang, aku akan melakukan
apapun, asal itu keluar dari bibir purnama Neng Fai,” kau berusaha menjawab
dengan sempurna, tapi di telingaku itu omong kosong.
Maos jugan
- Lukisan Musim Lalu
- SUNDAY KILLER
- Kehidupan Kedua
- Warung Kopi Dan Kisah Yang Belum Usai
- Puisi Madura: Majang
“Apa kau percaya kalau Neng Fai itu
mencitaimu? Jangan-jangan dia hanya ingin mencari sensasi, makdusku, itu hanya
bentuk Neng Fai berdakwah? Bukan, dan sama sekali tidak ada maksud menerima
cintamu!”
Kulihat, kau sedang berpikir keras mencari
pembenaran, sampai-sampai menengadah menutup mata seolah itu pertanyaan berat
yang sulit kau temukan kebenarannya. Mungkin kau akan berpikir, kalau marga
kiai tidak akan pernah luput dari perkataannya, atau kalau sudah kelas
santri—dalam mitodologi Clifflord Geertz—itu sudah mantap akan dibuktikan
dengan tindakan, bukan hanya dengan perkataan. Mungkin itu yang ada
dipikiranmu, namun itu bisa saja salah.
“Mungkin kau benar juga, tetapi masa iya
seorang Neng ingkar pada ucapannya? Itu kan lebih lucu dari stand up comedy-an?
Tapi, aku yakin, Neng Fai itu juga menaruh rasa kepadaku,” kau mencoba
memantapkan topik setelah selesai dari tengadahmu.
“Jujur saja, aku masih saja tidak yakin dengan
respon Neng Fai yang kulihat biasa-biasa saja dalam menanggapi cintamu.
Seolah-olah, dugaanku benar kalau dia hanya iseng saja, atau baik diucapkan
itu, hanya berdakwah belaka,” aku mencoba meyakinkanmu sekali lagi, unrusan
nanti kau percaya atau tidak, tunggu nasib yang berkata.
Kau menganggukkan kepala, seraya memberi
senyum datar, “Semoga ucapanmu itu salah, dan kau harus cepat-cepat minta maaf
pada Neng Fai,” ujarmu sambil menoleh ke entah.
Entah sudah keberapa kali aku menengur
perubahanmu yang selalu kau tampakkan, aku hanya kasihan saja padamu jika
dugaanku itu benar—Neng Fai hanya ingin berdakwah—dalam mendekatimu. Artinya,
yang bisa kusimpulkan singkat, kau itu hanya kelinci percoban dari metode
dakwah yang sedang Neng Fai emban.
“Tapi, kalu boleh, aku hanya ingin kau jangan
kelewatan, karena sesal sesalu di kemudian,” pintaku entah diindahkan atau
tidak.
Kau menunduk, beberapa jenak, lalu kemudian
menengadah dan menatap tajam mataku sambil berkata, “Jika aku berpikir
sebaliknya, justru berdakwah Neng Fai itulah yang sebenarnya dijadikan tabir
untuk menutupi cintanya?”
Aku hanya diam, menalar lebih jauh, sambil
memastikan kebenaran realita bahwa keluarga kiai tidak pernah ingkar dalam
berucap, dan…?
Ledokombo, 18 Ramadhan
1445 H.
*cerita ini
saya dedikasikan teruntuk mwdtd
*Muhtadi.ZL pria yang lahir di Jember dan konsisten menulis.