Secara kosmologi, pesantren adalah ruang
yang dekat dengan ketuhanan beserta nilai-nilai yang ada di dalamnya. Sejak
awal pesantren dikenal atau dipercaya oleh masyarakat sebagai lumbung
pengetahuan yang berisi tentang kaagamaan. Adapun proses belajar yang ada di
pesantren, mengharuskan santri menetap atau tinggal di dalamnya bersama Kiai
setelah dipasrahkan oleh orang tuanya, dengan tujuan agar lebih fokus dalam
belajar.
Bagi santri, menetap di pesantren adalah
syarat utama untuk belajar menimba ilmu pengetahuan, sebab ia harus menyerahkan
diri sebagai anak didik Kiai secara langsung, sekaligus menjadi suatu
kesempatan untuk meneladani guru, ikhlas dalam bentuk pengabdian, mengikuti
kehendaknya, dan melayani segenap apa yang diinginkan oleh Kiai, lalu menemukan
dirinya dalam hidup yang berarti.
Pada dasarnya, pengabdian santri terhadap
Kiai merupakan praktik kerja yang dilakukan secara sadar dengan sepenuh hati,
guna memperoleh ketenangan lahir maupun batin dan kelak agar selamat dari
penyiksaan hari akhirat, sebab santri percaya bahwa melalui belajar di
pesantren berarti juga menyiapkan diri untuk kehidupan kelak di akhirat.
Persepsi ketenangan lahir dan batin ini,
dalam bahasa pesantren disebut dengan istilah barakah yang menjadi pijakan
utama santri dalam menuntut ilmu, dengan menekankan pada kebutuhan untuk
memperoleh kerelaan Kiai agar mendapat barakahnya.
Maos jugan
- Kamus Bahasa Madura
- Durahem Ajuwala Tokona
- Cangka Asela
- Puisi-Puisi Jufri Zaituna
- Konsonan Alos ban Dhammang
Pesantren sebagai sebuah ekosistem belajar
terbukti dan mampu memproyeksi diri pada arah pemurnian ke tingkat yang lebih
halus (Akhlak) dan tinggi baik secara spiritualitas maupun religiusitas, maka
yang diterapkan oleh pesantren sebagai sistem atau mekanisme belajar adalah
bentuk doktrinasi tentang keagamaan sebagai proses menuju pemurnian tersebut.
Dalam istilah yang lain, pesantren juga
dikenal dengan istilah belajar sambil praktik latihan dalam proses
bermasyarakat, sebab santri yang tinggal di pesantren diupayakan mampu meniru
sikap atau tindakan yang dipilih oleh Kiai dalam keseharian. Artinya, selain
menyediakan ruang pengetahuan secara agama, pesantren juga menyiapkan santri
agar mampu beradaptasi dengan sosial ketika pulang ke masyarakat, sebab
konstruksi santri harus berakar terhadap lokusnya; tempat asal usul geneologis
tumbuh menjadi sosiologis.
Santri sebagai anak-anak yang lahir dari
rahim masyarakat, tentu ia paham bagaimana arti atau makna menjadi bagian dari
masyarakat, dan kita akan memasukkan pertanyaan-pertanyaan mendasar ke dalam
ruang reflektif perihal santri dalam posisinya di masyarakat.
Kalau santri adalah anak-anak dari
masyarakat, maka ia mesti tahu tentang dirinya, dibentuk dari latar belakang
yang seperti apakah dan bagaimana seharusnya memahami masyarakat dengan jalan
pikirannya, agamanya, sosialnya, seni-budayanya, suka dukanya, harapan-harapannya,
serta mata pencahariannya dari mana, sebab makna masyarakat bagi santri adalah
rumah dipulangkannya seluruh kekayaan atau khazanah pengetahuan yang arif dan
luhur.
Kiranya pertanyaan-pertanyaan semacam ini
juga ikut menentukan proses santri selama di pesantren, sekaligus akan
memperkuat identitas atau karakter pesantren sebagai ruang yang mampu
melahirkan santri-santri berbudi luhur, mempunyai pengetahuan yang mempuni
secara intelektual.
Pengetahuan bagi orang pesantren telah
membawa pada rumusan konsepsi pembentukan masyarakat yang ideal. Pesantren bagi
santri merupakan ruang ekosistem pengetahuan yang berlokasi pada pengalamannya
melalui aktivitas sehari-hari, semisal, bagaimana ketika santri mengatasi
keterbatasannya setelah berjarak dengan rumahnya, hidup mandiri dan sederhana,
belajar bersosialisasi di antara santri
yang beragam karakternya, berbeda usianya, tentu dengan tidak meletakkan keterbatasan
menjadi kelemahan, sebab salah satu modal menjadi santri agar terus survive, diantaranya
adalah kreativitas, utamanya dalam menghadapi tantangan zaman.
Artinya pesantren telah berhasil
mempertemukan struktur sosial masyarakat tanpa kelas, lokasinya menjadi muara
dari berbagai lapisan masyarakat. Semuanya hadir dalam tujuan yang sama, yakni
Barakah. Mereka menetap dalam tempat yang sama, belajar agama dengan
guru yang sama pula.
Dalam pesantren, selain belajar secara
tekstual seperti mengaji kitab-kitab, juga mempunyai sistem belajar yang khas
dari bahasa kenyataan, yaitu, pengalaman. Pengalaman berarti sesuatu yang
dialami, dirasakan, disentuh, diwarnai, dibingkai, disimpan, diingat dan juga
bisa dilupakan, kehadiran bahasa pengalaman itu lebih menggungah dari pada
bahasa verbal atau literal.
Dalam konteks kebudayaan Madura, untuk
menjadi santri tidak harus menetap di pesantren, sebab di Madura ada istilah
santri Kalong, yaitu santri yang ikut belajar di pesantren tetapi tidak mukim.
Biasanya santri Kalong ini adalah penduduk yang tinggal di sekitar pesantren.
Ada juga istilah santri Kelana yang
belajar dari satu pesantren ke pesantren lain, dari satu Kiai ke Kiai yang lain
dengan tujuan untuk menambah sekaligus mempertajam keilmuan di bidang agama.
Mereka hidup bergerak dan mengembara. Dalam sejarahnya, pada abad 19 santri
Kelana ini menjadi aktor peradaban yang berperan penting dalam membangun opini
kepemimpinan masyarakat Nusantara. Terutama terletak di daerah pesisir Utara
yang kuat islamnya seperti Banten dan Madura.
Mereka membangun jaringan antar pesantren
dengan memanfaatkan teknologi apapun, diantaranya seperti gadget dan
transportasi kereta api. Gerakan semacam ini, memungkinkan bagi santri bisa
mengumpulkan fakta-fakta, mengakses informasi, merampungkan isu-isu yang terus
bergulir di pasar-pasar perdagangan dan di berbagai tempat, mereka mengumpulkan
berita-berita politik, perdebatan masalah agama bahkan menjangkau perkembangan
dunia internasional secara lebih luas.
Bahan-bahan tersebut, oleh santri
dijadikan sebagai pandangan mengenai Jawa, Nusantara, hingga timur tengah,
kemudian diracik menjadi imajinasi kebangsaan sekaligus menjadi sistem
pendidikan tandingan terhadap pola pendidikan yang ditawarkan oleh kolonial.
Maos jugan
- Tase’ Tadha’ Omba’
- Konye’ Gunong Monggu Kerrong ka Omba’
- Martabhât Orèng Madhurâ ḍâlem Bhughellân Traḍisi
- Pengaro dhari Arach Jamali
- PERIBAHASA MADURA
Maka pesantren bagi orang Madura juga
berkenaan dengan belajar secara langsung terhadap pengalaman sebagai kata kunci
bagi pengetahuan, sedangkan pengetahuan yang diperoleh secara tekstual seperti
kitab-kitab akan digunakan untuk menerjemahkan bahasa masyarakat dengan konsep
struktur secara idiologis.
Membicarakan pesantren di tengah-tengah
hadirnya lembaga pendidikan formal bukan berarti sesuatu yang kolot, udik, masa
lalu. Justru dalam konteks saat ini, pesantren telah berhasil mempertemukan
antara masa lalu, masa kini, dan masa depan, sebab imaji pesantren telah
membingkai kehidupan masa depan, dengan cara membuka diri terhadap hadirnya
lembaga pendidikan formal yang menandai bentuk adaptasi dengan zaman.
Meskipun di dalamnya, kita akan tetap
menemukan perbedaanya yang khas, tetapi dengan menghadirkan pesantren dan
lembaga pendidikan formal di atas panggung zaman saat ini, maka kita akan di
hadapkan dengan bentangan yang kurang lebih sama-sama mempunyai dampaknya
masing-masing.
Dengan masuknya lembaga pendidikan formal
di pesantren, berarti menandai terjadinya proses dialektika dengan zaman,
membentuk gradasi masa lalu dan masa kini, dan bila kita mengingat usia
pesantren, maka lembaga pendidikan formal baru hadir belakangan setelah
diwariskan oleh Belanda pasca penjajahan. Sedangkan usia pesantren, jauh lebih
tua dari lembaga pendidikan formal.
Dalam konteks sejarah, pesantren telah
menyumbang sesuatu yang berharga bagi bangsa, sebab pada masa penjajahan,
pesantren adalah barisan utama yang meracik imaji kebangsaan dengan menekankan
pada dekolonialisasi yang dirumuskan berdasar kebudayaan dalam bidang agama,
seni, sastra, dan pertunjukan.
Berikutnya, setelah pesantren berjalan
beriringan dengan lembaga pendidikan formal dalam bentuk yang adaptif, maka
kita bisa melihat bagaimana proses adaptasi itu terjadi. Namun saat ini, di
tengah terbukanya akses informasi dan pengetahuan yang melimpah ruah, pesantren
cenderung dilihat secara permukaan tanpa lebur dan masuk di dalamnya.
Banyak orang melakukan pembacaan yang
tidak bersih, kemudian pesantren diorder dalam bentuk eceran, akibatnya
pesantren seperti dagangan yang diobral dalam pasar kepentingan, sehingga ada
semacam rambu-rambu pembatasan yang merepresentasikan pesantren sebagai hal
yang tertinggal, udik, kolot, dan seterusnya, maka untuk mematahkan tuduhan
ini, orang-orang pesantren perlu menilik kembali tentang sejarahnya, kemudian
menerapkan apa-apa yang telah menjadi nilai, spirit dan energi pesantren ke
dalam sikap laku-gerak kebudayaan. Intinya adalah, pesantren harus menjadi
corong bagi peradaban yang maju, berkembang, adaptif, dialektis, dan kreatif.
*Muhammad Rafayat (atau dulu memperkenalkan diri sebagai Fayat Muhammad) Selain sebagai pengrajin batik tulis kontemporer, juga bergiat di dunia pertunjukan teater, menulis puisi dan esai, serta bertekun dalam kajian pesantren.