Cerpen: Sumur Kenangan

edy hermaawan, sastrawan madura, bahasa madura, balai bahasa jawa timur, MGMP, sastra, bahasa indonesia, guru sejahtera, PMM, gaji guru, Sumenep, pamekasan, sampang, bangkalan,

 

TANGAN KAKEK Karto gemetar saat menyodorkan uang lima ribu rupiah itu kepada Haji Rahim. Itu uang terakhir Kakek Karto, sisa ongkos meraut lidi milik Pak Saha setelah dibelanjakan beras jagung dan garam. Dia harus menyerahkan uang itu untuk membayar air kepada Haji Rahim yang dialirkan tiga hari lalu. Kalau tidak, Kakek Karto tidak akan mendapatkan air lagi untuk mandi atau minum.

Kulitnya yang keriput, warna rambutnya yang memutih, dan dua bibir atas bawah melipat ke dalam, tak ada yang mengingkari kalau Kakek Karto sudah tua. Dan, bila mengamati gerak langkahnya, dia juga sudah renta.

Biasanya, uang itu diantar oleh cucu kemenakannya, tapi berhubung anak itu sudah tinggal di pesantren, Kakek Karto dengan sekuat tenaga berangkat sendiri ke rumah Haji Rahim. Sejak kepergian anak itu, Kakek Karto diserang kesepian. Tidak ada lagi seseorang yang menemaninya meraut lidi. Kakek Karto benar-benar hidup sebatang kara.

Dengan perlahan dan tongkat sebagai penyanggah tubuh renta di tangan kanannya, Kakek Karto melangkah menapaki jalan menurun dan beraspal. Sebentar lagi, tak sampai lima puluh meter, Kakek Karto akan tiba di sebuah jembatan beton gagah yang tak pernah didapatinya semasa anak-anak.

Kakek Karto ingin segera tiba di jembatan itu, bukan untuk mengagumi, apalagi menikmati kegagahan jembatan beton itu, melainkan untuk menyesap kenangan yang terkubur di bawahnya. Bagi Kakek Karto, kenangan itu adalah kehidupan yang sebenarnya. Di dalamnya tali perasaudaraan terikat demikian kuat, tak ada orang lain, semua saudara.

Maos jugan

Setiba di jembatan beton nan gagah itu, Kakek Karto melihat ke sisi utara jembatan, menengok ke bawah. Batu besar yang tak diketahui ujungnya tergelar sepanjang lima belas meter dengan agak miring ke sisi timur. Ada lima lubang seukuran piring berbanjar dengan jarak kurang dari satu meter.

Lubang-lubang itu menyembulkan air bersih dan jernih, mengalir dua puluh meter ke selatan, kemudian ke arah timur menembus kampung, desa, kecamatan, hingga bermuara pada laut. Di sepanjang aliran sungai itu, hidup jenis-jenis pepohonan dan tanah-tanah pertanian warga. Para petani bisa mengalirkan air ke tanah-tanah mereka tanpa harus mengeluarkan uang serupiah pun. Mereka dapat menanam padi, jagung, bawang, dan berbagai jenis biji-bijian. Bahkan, bilapun kemarau datang, lubang-lubang itu tidak berhenti mengalirkan air kehidupan. Warga memanfaatkannya untuk menanam tembakau.

Kakek Karto tersenyum dengan dua ceruk di wajahnya yang tak tertahan juga mengalirkan air hangat. Dia ingat anak-anak bertelanjang berlompatan di mulut sungai, lari-lari dan menjaring ikan dengan sarung sehabis mengaji di surau Kiai Faqih.

“Ini kehidupan.” desisnya.

Kakek Karto sadar, yang tampak itu hanya banyangan dari masa lalu. Kini, lubang-lubang itu tak lagi menyembulkan air, hanya menjadi sarang dedauanan, plastik, popok, dan pembalut. Air yang mengalir di sisa lekukan sungai itu hanya comberan yang berasal dari rumah-rumah warga sekitar. Aroma busuk sebusuk birahi yang mengeram di dada-dada mereka.

Kakek Karto beralih ke sisi selatan jembatan. Dia turun melalui undakan. Kira-kira ada sepuluh undakan. Dia mendekati sebuah tembok yang tingginya sedada dan berbentuk lingkaran, dengan diameter tidak lebih dari dua kali lengan orang dewasa. Ya, itu sebuah sumur. Sumur kenangan.

Sesepuh kampung sering menuturkan, bahkan setiap orang sudah mafhum, sumur itu dibuat oleh seorang bernama Kiai Saba. Dikisahkan, Kiai Saba berasal dari Mataram, kemudian mengabdikan diri di Keraton Songenep dan diutus untuk membabat tanah tandus dan angker, hingga akhirnya menjadi kampung tempat Kakek Karto dilahirkan.

Di sumur itu terdapat sumber mata air paling besar dibandingkan dengan yang lain. Dulu, tembok sumur itu kurang dari satu meter dan warga tidak perlu menimba untuk mengambil air, cukup dengan gayung. Sekarang tembok sumur itu sudah sedada orang dewasa.

Kakek Karto menengadah mengedarkan pandang. Tatapannya berhenti pada jembatan beton itu lagi. Sumur di hadapannya kalah tinggi dan gagah dibandingkan jembatan beton itu. Sumur itu sudah tenggelam di bawah kemegahan jembatan seperti kenangan kehidupan di masa lalunya.

Kini, tidak ada lagi orang yang menimba air sambil bercengkerama tentang tanah pertanian mereka; tidak ada lagi ibu-ibu yang mencunci sembari membincang kelakukan anak-anak mereka yang lucu; tidak ada lagi anak-anak yang melompat-lompat di mulut sungai atau mencari ikan sehabis mengaji. Semua terkubur di bawah jembatan beton nan gagah itu.

Di sisi selatan sumur, tepat di pinggir sungai, ada pohon gayam menjulang tinggi lebih dua puluh meter dan sebesar empat kali rangkulan orang dewasa normal. Biasanya, sambil menunggu antrean, orang-orang yang akan meneguk air kehidupan di sumur itu, akan singgah di bawah pohon gayam itu. Menunggu jatuhnya buah gayam, untuk direbus atau dijadikan kripik, kemudian dijual untuk ditukar jadi beras dan lauk-pauk.

Orang-orang kampung percaya, ini juga menurut kisah mulut ke mulut, di pohon gayam itu ada seekor ular besar bersarang. Ular itu penjaga setia sumur dan lubang-lubang mata air yang ada di sisi utara. Ular itu akan keluar pada malam Jumat Legi dan kalau beruntung seseorang akan bertemu. Ular itu tidak akan mengganggu, hanya menampakkan diri, dan bagi mereka yang melihat maka akan hidup beruntung.

Kini sumur itu hanya sumur kenangan. Yang ditampung bukan lagi air kehidupan, tapi dedauan berbalur lumpur hingga baunya membuat Kakek Karto mau muntah. Tak ada lagi air menyembul di dalamnya. Semua tenggelam dihisap kerakusan yang bersarang di dada manusia-manusia yang katanya, maju berpengetahuan tinggi dan berteknologi canggih.

Maos jugan

*

 

Semula, Kakek Karto tidak hirau dengan deru mesin yang meraung-raung. Dia tetap saja mengambil air di sumur itu untuk keperluan minum dan memasak. Tapi karena deru mesin itu terdengar setiap hari dan pindah-pindah, Kakek Karto penasaran. Dia meninggalkan pelteng besar yang biasa digunakan untuk mengangkut air di sumur itu. Kakek Karto bertanya pada seorang anak.

“Itu bunyi apa kok tidak berhenti-henti?” tanya Kakek Karto pada seorang anak yang hendak mandi.

“O, itu mesin bor, Kek. Katanya, dengan mesin itu kita bisa mendapatkan air dari dalam bumi yang tak mungkin digali oleh manusia,” jawab anak itu.

“Untuk apa? Bukannya di sini air sudah cukup banyak?” tanyanya lagi.

“Katanya sih, biar hidup lebih nyaman. Enggak perlu susah-susah ngangkut air kayak Kakek. Air akan masuk sendiri ke kamar mandi mereka, atau menadahnya di halaman rumah. Tak tahu la, Kek. Acung juga tidak mengerti.” jawab anak yang ternyata bernama Acung itu.

Kakek Karto diam saja mendengar penjelasan anak itu. Kemudian kembali ke sumur itu untuk mandi dan mengambil air. Dia harus segera pulang karena sebentar lagi azan Magrib akan berkumandang.

Deru mesin itu terus terdengar memenuhi telinga siapa saja yang berada di sumur itu. Mulanya, di sebelah barat sumur, satu minggu kemudian pindah ke sebelah utara sumur, lalu ke sebelah timur dan selatan. Setelah itu, tak tentu lagi pola perpindahannya. Kadang di barat begitu lama, kemudian pindah ke selatan, lalu pindah lagi ke utara, ke selatan, dan seterusnya. Yang pasti deru mesin yang meraung-raung itu berputar-putar saja di sekitar sumur.

Sejak Si Acung tak memberikan jawaban yang jelas, Kakek Karto tak pernah memikirkan lagi tentang suara deru mesin yang tak henti-henti itu. Kakek Karto hanya heran, kenapa air di sumur itu semakin turun. Sebelumnya, cukup diambil dengan gayung, tapi lambat laun harus ditimba dengan tali lebih satu meter. Begitu juga dengan lubang-lubang di hamparan batu di sisi utara jembatan, sembulan airnya terus berkurang.

Lebih aneh lagi, Kakek Karto sudah tidak bertemu lagi dengan orang-orang yang tinggal di sekitar sumur. Dalam benaknya, Kakek Karto bertanya-tanya. Ke mana Haji Rahim, Pak Sukri, Pak Ruto, biasanya mereka sering di sini mengambil air? Tentu Kakek Karto belum mendapatkan jawaban karena sumur itu seringkali sepi, tak ada yang mandi, mencuci, atau mengambil air.

*

 

Kakek Karto masih berdiri dan memegang erat bibir sumur itu, seakan dia tak ingin kelihangan masa lalunya. Kalau saja matahari tidak akan segera tenggelam, Kakek Karto masih ingin berada di sumur kenangan itu.

Orang-orang lalu-lalang di atas jembatan beton itu. Ada yang jalan kaki, naik ontel, sepeda motor, bahkan mobil. Tapi tentu mereka tidak menyadari kalau di sisi selatan di bawah jembatan itu ada seorang kakek renta yang sedang mengenang masa lalunya, berasama sumur kenangan. Mereka juga tidak terlalu peduli, kalau lubang-lubang dan sumur itu sudah tidak mengalirkan air, kecuali menjadi penampungan sampah dan comberan dari rumah-rumah megah di sekitarnya.

Kakek Karto baru tahu setelah cucu kemenakannya menjelaskan perihal tentang matinya sumur kenangan.

“Rumah-rumah megah di sekitar sumur itu sudah punya sumur bor masing-masing, Kek. Mereka hanya perlu memutar kran di tembok kamar mandinya untuk mendapatkan air. Kalau tidak punya sumur bor, seperti Kakek, ya harus beli. Bisa beli ke Haji Rahim, Pak Ruto, atau yang lain,” tutur cucu kemenakannya yang baru datang dari pesantren.



Edy Hermawan adalah warga Batang-Batang Daya, alumni Sosiologi UIN Sunan Kalijaga ini memilih menetap di kampung halamannya dengan setia menulis cerpen saban hari.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak