Aku tidak pernah berpikir, gadis belia
seperti dia memilih untuk menikah. Dia masih SMP. Usianya pun lebih muda dari padaku.
Yang lebih aneh, bagiku, dia sadar dan bangga dengan pilihannya itu. Apakah ini
normal atau tidak di zaman sekarang ini?
“Aku akan menikah dan ini pilihan yang
membebaskanku dari sekolah dengan seabrek peraturan dan tugas-tugasnya,”
tuturnya padaku dengan raut wajah bangga saat itu.
Memang benar, ada gadis yang rela ditindas
dan disakiti oleh pasangannya hanya dengan alasan terlanjur cinta. Ada juga
gadis yang rela meninggalkan pendidikan dengan alasan ingin segera membangun
rumah tangga, melepaskan diri dari kontrol orang tua, atau ingin segera
membangun ekonomi. Tapi itu aneh bagiku, entah pikiranku yang tidak normal atau
mereka yang menderita kelainan.
Menurutku, menikah saat usia masih belia,
bukan solusi terbaik untuk membebaskan diri dari tekanan dan ketidakjelasan
berbagai persoalan hidup, termasuk sekolah. Bagiku, itu pilihan orang yang
putus asa dan aku tak akan memilihnya.
Maos jugan
- Okara Kakanten Basa Madura
- Odhi’ Juntrong ban Patteha
- Mendalami Ketubuhan dan Kebutuhannya
- Sajan Abit Oreng Atane Sajan Tadha'
- Rèng Binè’ Ḍâlem Kepkeppan Jhâman
“Kamu enggak mau nikah juga? Enak nikah,
ada yang nafkahin,” katanya padaku dengan senyum merekah. Kalau aku
terjemahkan, dia membayangkan kehidupan rumah tangga yang harmonis dan indah.
“Nanti enak. Enggak diatur orang tua lagi.
Enggak stres mikirin sekolah lagi. Kalau kamu mau nikah, ada teman suamiku mau
nikah juga, mau?” imbuhnya lagi.
“Stres tidak masalah. Nikah muda bukan
solusinya. Bagaimana nanti jika anakku bertanya bagaimana pengalaman ibunya
saat duduk di bangku sekolah,” jawabku sembari menatapnya.
“Lagipula, sekarang tidak memiliki alasan
untuk berhenti sekolah hanya karena tidak memiliki biaya. Beasiswa ada di
mana-mana. Sekarang, kerja saja minimal ijazah SMA,” jelasku lanjut menunjukkan
ketidaksetujuanku dengan pilihannya nikah di usia belia.
“Duh, enggak usah repot-repot sekarang.
Mending cari warung Jakartaan. Kita cukup bermodal bahasa dan jujur sudah
mendapatkan gaji. Lebih cepet juga ngumpulin uang daripada mempertaruhkan
ijazah,” ucapnya bangga dan meremehkan.
“Iya kalau terus-menerus dapat untung
warungnya, kalau tidak?” tanyaku menyelidik.
“Kalau soal untung rugi, kerja dengan
ijazah juga ada untung rugi, apalagi ini berdagang. Aku akan menikah dan aku
akan ke Jakarta,” balasnya dengan percaya diri.
Aku semakin tidak mengerti ketika
pendidikan diukur dengan nominal uang. Memang benar, salah satu tujuan kita
menjadi terdidik adalah hidup lebih baik, termasuk dalam ekonomi. Tapi, kalau
ekonomi alias uang dijadikan standar, menurutku itu tujuan yang terlalu rendah.
“Nanti, kalau sudah punya anak dan masa
kontrak di Jakarta belum habis, sedangkan anak kita sudah mau memasuki masa
sekolah gimana?” tanyaku.
“Ya, aku antarkan saja anakku pada
neneknya. Nanti aku tinggal kirimkan uang setiap bulan,” jawabnya enteng.
“Berarti ngelewatin masa sekolah anakmu
dong? Bagaimana jika ada yang bertanya di mana orang tuanya? Bagaimana jika
anakmu nakal dan nanti dibilang anak tidak didik oleh orang tuanya?”
“Pikiranmu jauh sekali”. Ya sudah, biar
anakku enggak usah sekolah saja. Dia aku ajak jaga warung saja bersamaku. Nanti
jika sudah cukup usia, akan aku berikan jatahnya,” jawabnya dengan mantap.
“Bagaimana dengan bekal akhiratnya?
Bagaimana dengan kewajibannya mencari ilmu?” tanyaku lagi.
“Huh, sudah-sudah. Kau ini ribet sekali
memikirkan masa depan,” ucapnya kesal mendengar pertanyaanku tadi.
“Kamu iri tak bisa nikah di usia
sepertiku,” tambanya meledekku.
“Apa kamu bisa menjamin akan dapat
membangun keluarga yang harmonis dengan modal uang, tanpa pendidikan yang
cukup?” tanyaku lebih serius.
“Pusing aku dengan pertanyaanmu yang
banyak sekali. Kayak diinterogasi guru BK saja aku ini. Kalau jaminan tidak
ada, tapi keyakinan ada. Aku yakin bisa membangun keluarga yang harmoni meski
aku tak lulus SMP.”
“Kamu benar kita tak punya jaminan dalam
hal apapun. Kita hanya punya keyakinan. Tapi menurutku, keyakinan yang baik
dibarengi dengan pilihan langkah yang terbaik. Dan, pendidikan adalah langkah
terbaik pertama untuk anak seusia kita. Ya, untuk mendewasakan pikiran dan
tindakan. Intinya mambangun mental dan karakter yang baik. Kalau kamu memilih
menikah, apa kamu sudah punya modal pendidikan untuk menjalani dan menghadapi
berbagai soal setelah menikah, kalau tidak keluargamu tidak akan harmoni,
bahkan sampai pada kekerasan rumah tangga dan perceraian,” jelasku panjang
lebar.
Gadis di depanku tetap hanya menyimak
sekadarnya saja. Dia tetap bersikukuh dengan pilihannya. Dia akan menikah dan
segera berangkat ke Jakarta untuk menjaga warung sembako di sana.
***
Akhir tahun ini sangat mengecewakan.
Mestinya, aku dan teman-temanku lulus dengan perasaan bangga dan sedih karena
akan meninggalkan sekolah. Tapi, yang terjadi malah lebih buruk. Aku dan
teman-teman sekelas lulus dengan penuh kekecewaan dan ingin segera angkat kaki
dari sekolah ini.
Jauh hari sebelum acara perpisahan, aku
dan teman-teman sering mengobrol dan membuat prediksi, siapa yang akan menjadi
lulusan terbaik. Kami saling tunjuk. Tapi, aku sendiri tidak begitu
berekspektasi soal lulusan terbaik, sebab aku sendiri memiliki banyak catatan
kasus di BK.
Bahkan, ada kasus yang menimpa anak-anak
satu kelasku. Kami meminum pil yang berakhir memabukkan, bahkan seorang teman
laki-laki di kelasku sampai dibawa ke puskesmas karena overdosis. Kasus itu
juga yang membuatku saat ditanya lulusan terbaik, aku menjawab tanpa gairah.
Bagiku, kelas akhir tahun ini tak ada seorang siswa pun yang pantas mendapatkan
penghargaan lulusan terbaik.
“Menurutmu siapa yang pantas jadi lulusan
terbaik tahun ini?” tanya temanku di sela-sela kami bersantai dengan pentol
kantin sekolah yang khas.
“Tidak ada,” jawabku cepat.
“Kok bisa?” tanyanya heran.
“Setiap anak di kelas kita ini punya kasus
masing-masing, dan kasusnya parah-parah. Terus, mau dilihat dari sudut mana
lulusan terbaiknya,” jelasku.
“Tapi kan setiap tahun sekolah kita pasti
akan mengumumkan lulusan terbaik? Masa tahun ini tidak ada lulusan terbaik,”
kata temanku dengan tatapan aneh.
“Memang begitu. Tahun ini memang
seharusnya tidak ada lulusan terbaik. Lulus saja itu sudah cukup.”
Teman-teman menatapku dengan tatapan aneh.
Aku tahu mereka tidak percaya dengan jawabanku. Tapi itulah yang pantas
menurutku. Tahun ini harus diakhiri tanpa lulusan terbaik.
Namun, pengumuman itu mengubah semuanya.
Jauh dari yang aku pikirkan, bahkan nama yang tidak masuk dalam prediksiku dan
teman-teman sebelumnya diumumkan sebagai lulusan terbaik. Kami semua sangat
kecewa karena anak itu tidak lebih baik dari kami semua. Kelebihannya hanya
satu, dia anak guru di sekolah kami.
“Apa yang membuat mereka gelap mata hingga
memilihnya sebagai lulusan terbaik?” tanya seorang teman yang duduk di
sampingku.
“Aku tidak mau lanjut sekolah di sini. Aku
kecewa berat,” kata temanku yang lain.
“Kasusnya banyak sekali anak itu. Sering
tidur di kelas. Sering tidak nulis. Pernah pacaran. Pernah ngonsumsi pil sampe
dilarikan ke puskesmas. Apa coba kelebihannya dia dari kita-kita ini.” Teman
yang lain juga ikut mengevaluasi dengan rasa kecewa dan tak percaya.
Maos jugan
- Rora Basa Madura
- Carpan: E-WA Pa' Satun
- My Idol Is The Prophet Muhammad
- Sanja' Taresna, Helmy Khan
- Madhurâ ḍâlem Kaca Sajhârâ
Ya. Aku juga kecewa seperti mereka. Anak
itu memang tidak layak mendapat penghargaan itu. Soal akademik, masih ada yang
lebih darinya. Soal non akademik juga masih banyak yang lebih baik. Soal kasus,
anak itu malah banyak kasusnya.
Kalau ini didengar temanku yang memilih
menikah daripada bersekolah, tentu aku akan ditertawakan. Bagaimana tidak, di
sekolah yang mengajarkan keadilan, malah keputusan-keputusannya tidak
mencerminkan keadilan. Bahkan, bikin ruwet saja. Tapi masa hanya karena itu
meninggalkan sekolah adalah jalan yang terbaik. Aku pikir tidak begitu.
“Aku fix, enggak mau lanjut sekolah di
sini,” kata temanku mantap.
“Kamu gimana?” tanyaku pada teman di
samping kiriku.
“Tidak. Aku mau pindah saja. Terlanjur
kecewa aku,” jawabnya.
***
Beberapa Minggu dari pernikahan keduanya,
aku mendengar jika rumah tangga keduanya sering terjadi selisih paham. Entah
karena keduanya tidak ada yang mau mengalah atau mungkin keduanya masih labil.
“Bu, kenapa tadi di rumah temanku itu ada
Kepala Desa dan Pak RT?” tanyaku pada ibuku yang sedang mengayun sapunya
membersihkan teras rumah.
“Itu temanmu mau bercerai dengan suaminya.
Katanya gara-gara sering bertengkar,” jawab ibuku sembari mengambil serokan
sampah. Aku sendiri sangat kaget mendengarnya.
“Sudah aku ingatkan sejak awal, Bu. Tapi
dia enggak mau,” ceritaku.
“Katanya dua hari lalu dia bertengkar di
jalan. Dia menangis sejadi-jadinya," sambung ibuku.
“Sudahlah. Pikirkan ke mana kamu akan
melanjutkan. Jadikan kisah rumah tangga temanmu itu sebagai contoh,” kata ibuku
menasihatiku.
Benar kata ibu, aku harus memikirkan ke
mana harus melanjutkan pendidikan. Meski pada prinsipnya sekolah di mana saja
itu baik, tapi aku akan memilih sekolah yang memberiku ruang yang besar untuk
maju dan berkembang. Bila tidak, aku akan pergi tanpa menoleh lagi.
*ATIQOTUL FARHAH akrab dipanggil FAROH. Alumni SMP Nurul Jadid Batang-Batang 2024. Suka menulis cerpen dan membaca. Saat ini ia fokus merampungkan antologi cerpennya.