Gadis itu Memilih Pergi ke Jakarta

Atiqotul Farhah, sumenep, pamekasan, sampang, madura, bangkalan, cerpen madura, sastrawan madura, penyair, kebudayaan, bahasa


Aku tidak pernah berpikir, gadis belia seperti dia memilih untuk menikah. Dia masih SMP. Usianya pun lebih muda dari padaku. Yang lebih aneh, bagiku, dia sadar dan bangga dengan pilihannya itu. Apakah ini normal atau tidak di zaman sekarang ini?

“Aku akan menikah dan ini pilihan yang membebaskanku dari sekolah dengan seabrek peraturan dan tugas-tugasnya,” tuturnya padaku dengan raut wajah bangga saat itu.

Memang benar, ada gadis yang rela ditindas dan disakiti oleh pasangannya hanya dengan alasan terlanjur cinta. Ada juga gadis yang rela meninggalkan pendidikan dengan alasan ingin segera membangun rumah tangga, melepaskan diri dari kontrol orang tua, atau ingin segera membangun ekonomi. Tapi itu aneh bagiku, entah pikiranku yang tidak normal atau mereka yang menderita kelainan.

Menurutku, menikah saat usia masih belia, bukan solusi terbaik untuk membebaskan diri dari tekanan dan ketidakjelasan berbagai persoalan hidup, termasuk sekolah. Bagiku, itu pilihan orang yang putus asa dan aku tak akan memilihnya.

Maos jugan

“Kamu enggak mau nikah juga? Enak nikah, ada yang nafkahin,” katanya padaku dengan senyum merekah. Kalau aku terjemahkan, dia membayangkan kehidupan rumah tangga yang harmonis dan indah.

“Nanti enak. Enggak diatur orang tua lagi. Enggak stres mikirin sekolah lagi. Kalau kamu mau nikah, ada teman suamiku mau nikah juga, mau?” imbuhnya lagi.

“Stres tidak masalah. Nikah muda bukan solusinya. Bagaimana nanti jika anakku bertanya bagaimana pengalaman ibunya saat duduk di bangku sekolah,” jawabku sembari menatapnya.

“Lagipula, sekarang tidak memiliki alasan untuk berhenti sekolah hanya karena tidak memiliki biaya. Beasiswa ada di mana-mana. Sekarang, kerja saja minimal ijazah SMA,” jelasku lanjut menunjukkan ketidaksetujuanku dengan pilihannya nikah di usia belia.

“Duh, enggak usah repot-repot sekarang. Mending cari warung Jakartaan. Kita cukup bermodal bahasa dan jujur sudah mendapatkan gaji. Lebih cepet juga ngumpulin uang daripada mempertaruhkan ijazah,” ucapnya bangga dan meremehkan.

“Iya kalau terus-menerus dapat untung warungnya, kalau tidak?” tanyaku menyelidik.

“Kalau soal untung rugi, kerja dengan ijazah juga ada untung rugi, apalagi ini berdagang. Aku akan menikah dan aku akan ke Jakarta,” balasnya dengan percaya diri.

Aku semakin tidak mengerti ketika pendidikan diukur dengan nominal uang. Memang benar, salah satu tujuan kita menjadi terdidik adalah hidup lebih baik, termasuk dalam ekonomi. Tapi, kalau ekonomi alias uang dijadikan standar, menurutku itu tujuan yang terlalu rendah.

“Nanti, kalau sudah punya anak dan masa kontrak di Jakarta belum habis, sedangkan anak kita sudah mau memasuki masa sekolah gimana?” tanyaku.

“Ya, aku antarkan saja anakku pada neneknya. Nanti aku tinggal kirimkan uang setiap bulan,” jawabnya enteng.

“Berarti ngelewatin masa sekolah anakmu dong? Bagaimana jika ada yang bertanya di mana orang tuanya? Bagaimana jika anakmu nakal dan nanti dibilang anak tidak didik oleh orang tuanya?”

“Pikiranmu jauh sekali”. Ya sudah, biar anakku enggak usah sekolah saja. Dia aku ajak jaga warung saja bersamaku. Nanti jika sudah cukup usia, akan aku berikan jatahnya,” jawabnya dengan mantap.

“Bagaimana dengan bekal akhiratnya? Bagaimana dengan kewajibannya mencari ilmu?” tanyaku lagi.

“Huh, sudah-sudah. Kau ini ribet sekali memikirkan masa depan,” ucapnya kesal mendengar pertanyaanku tadi.

“Kamu iri tak bisa nikah di usia sepertiku,” tambanya meledekku.

“Apa kamu bisa menjamin akan dapat membangun keluarga yang harmonis dengan modal uang, tanpa pendidikan yang cukup?” tanyaku lebih serius.

“Pusing aku dengan pertanyaanmu yang banyak sekali. Kayak diinterogasi guru BK saja aku ini. Kalau jaminan tidak ada, tapi keyakinan ada. Aku yakin bisa membangun keluarga yang harmoni meski aku tak lulus SMP.”

“Kamu benar kita tak punya jaminan dalam hal apapun. Kita hanya punya keyakinan. Tapi menurutku, keyakinan yang baik dibarengi dengan pilihan langkah yang terbaik. Dan, pendidikan adalah langkah terbaik pertama untuk anak seusia kita. Ya, untuk mendewasakan pikiran dan tindakan. Intinya mambangun mental dan karakter yang baik. Kalau kamu memilih menikah, apa kamu sudah punya modal pendidikan untuk menjalani dan menghadapi berbagai soal setelah menikah, kalau tidak keluargamu tidak akan harmoni, bahkan sampai pada kekerasan rumah tangga dan perceraian,” jelasku panjang lebar.

Gadis di depanku tetap hanya menyimak sekadarnya saja. Dia tetap bersikukuh dengan pilihannya. Dia akan menikah dan segera berangkat ke Jakarta untuk menjaga warung sembako di sana.

***

Akhir tahun ini sangat mengecewakan. Mestinya, aku dan teman-temanku lulus dengan perasaan bangga dan sedih karena akan meninggalkan sekolah. Tapi, yang terjadi malah lebih buruk. Aku dan teman-teman sekelas lulus dengan penuh kekecewaan dan ingin segera angkat kaki dari sekolah ini.

Jauh hari sebelum acara perpisahan, aku dan teman-teman sering mengobrol dan membuat prediksi, siapa yang akan menjadi lulusan terbaik. Kami saling tunjuk. Tapi, aku sendiri tidak begitu berekspektasi soal lulusan terbaik, sebab aku sendiri memiliki banyak catatan kasus di BK.

Bahkan, ada kasus yang menimpa anak-anak satu kelasku. Kami meminum pil yang berakhir memabukkan, bahkan seorang teman laki-laki di kelasku sampai dibawa ke puskesmas karena overdosis. Kasus itu juga yang membuatku saat ditanya lulusan terbaik, aku menjawab tanpa gairah. Bagiku, kelas akhir tahun ini tak ada seorang siswa pun yang pantas mendapatkan penghargaan lulusan terbaik.

“Menurutmu siapa yang pantas jadi lulusan terbaik tahun ini?” tanya temanku di sela-sela kami bersantai dengan pentol kantin sekolah yang khas.

“Tidak ada,” jawabku cepat.

“Kok bisa?” tanyanya heran.

“Setiap anak di kelas kita ini punya kasus masing-masing, dan kasusnya parah-parah. Terus, mau dilihat dari sudut mana lulusan terbaiknya,” jelasku.

“Tapi kan setiap tahun sekolah kita pasti akan mengumumkan lulusan terbaik? Masa tahun ini tidak ada lulusan terbaik,” kata temanku dengan tatapan aneh.

“Memang begitu. Tahun ini memang seharusnya tidak ada lulusan terbaik. Lulus saja itu sudah cukup.”

Teman-teman menatapku dengan tatapan aneh. Aku tahu mereka tidak percaya dengan jawabanku. Tapi itulah yang pantas menurutku. Tahun ini harus diakhiri tanpa lulusan terbaik.

Namun, pengumuman itu mengubah semuanya. Jauh dari yang aku pikirkan, bahkan nama yang tidak masuk dalam prediksiku dan teman-teman sebelumnya diumumkan sebagai lulusan terbaik. Kami semua sangat kecewa karena anak itu tidak lebih baik dari kami semua. Kelebihannya hanya satu, dia anak guru di sekolah kami.

“Apa yang membuat mereka gelap mata hingga memilihnya sebagai lulusan terbaik?” tanya seorang teman yang duduk di sampingku.

“Aku tidak mau lanjut sekolah di sini. Aku kecewa berat,” kata temanku yang lain.

“Kasusnya banyak sekali anak itu. Sering tidur di kelas. Sering tidak nulis. Pernah pacaran. Pernah ngonsumsi pil sampe dilarikan ke puskesmas. Apa coba kelebihannya dia dari kita-kita ini.” Teman yang lain juga ikut mengevaluasi dengan rasa kecewa dan tak percaya.

Maos jugan

Ya. Aku juga kecewa seperti mereka. Anak itu memang tidak layak mendapat penghargaan itu. Soal akademik, masih ada yang lebih darinya. Soal non akademik juga masih banyak yang lebih baik. Soal kasus, anak itu malah banyak kasusnya.

Kalau ini didengar temanku yang memilih menikah daripada bersekolah, tentu aku akan ditertawakan. Bagaimana tidak, di sekolah yang mengajarkan keadilan, malah keputusan-keputusannya tidak mencerminkan keadilan. Bahkan, bikin ruwet saja. Tapi masa hanya karena itu meninggalkan sekolah adalah jalan yang terbaik. Aku pikir tidak begitu.

“Aku fix, enggak mau lanjut sekolah di sini,” kata temanku mantap.

“Kamu gimana?” tanyaku pada teman di samping kiriku.

“Tidak. Aku mau pindah saja. Terlanjur kecewa aku,” jawabnya.

***

Beberapa Minggu dari pernikahan keduanya, aku mendengar jika rumah tangga keduanya sering terjadi selisih paham. Entah karena keduanya tidak ada yang mau mengalah atau mungkin keduanya masih labil.

“Bu, kenapa tadi di rumah temanku itu ada Kepala Desa dan Pak RT?” tanyaku pada ibuku yang sedang mengayun sapunya membersihkan teras rumah.

“Itu temanmu mau bercerai dengan suaminya. Katanya gara-gara sering bertengkar,” jawab ibuku sembari mengambil serokan sampah. Aku sendiri sangat kaget mendengarnya.

“Sudah aku ingatkan sejak awal, Bu. Tapi dia enggak mau,” ceritaku.

“Katanya dua hari lalu dia bertengkar di jalan. Dia menangis sejadi-jadinya," sambung ibuku.

“Sudahlah. Pikirkan ke mana kamu akan melanjutkan. Jadikan kisah rumah tangga temanmu itu sebagai contoh,” kata ibuku menasihatiku.

Benar kata ibu, aku harus memikirkan ke mana harus melanjutkan pendidikan. Meski pada prinsipnya sekolah di mana saja itu baik, tapi aku akan memilih sekolah yang memberiku ruang yang besar untuk maju dan berkembang. Bila tidak, aku akan pergi tanpa menoleh lagi.

 

*ATIQOTUL FARHAH akrab dipanggil FAROH. Alumni SMP Nurul Jadid Batang-Batang 2024. Suka menulis cerpen dan membaca. Saat ini ia fokus merampungkan antologi cerpennya. 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak