Di Cafe Ini, Puisi Umar Faruq Sumandar

Di Cafe Ini, Puisi Umar Faruq Sumandar



Pusara Munir Said Thalib

 

Mestinya kau ada

dan kita bisa bersama

lebih lama

menyapa rekah bunga

 

Di kota Batu

yang selalu dirindu

dan kau bangga-banggakan itu

gigil gerigi kabut waktu

makin menebalkan ingatan kelu

 

Padang luas kematian membisu

kami mencarimu

 

Hanya geletar uar kata

menghangatkan jiwa

menebah perdu doa

membakar semak rahasia

 

Di celah akar tegar kamboja

tabah nisan menandai pusara

di samping kau dibaringkan

dekap kasih ibu terbaring juga

 

Di antara kubur orang-orang biasa

 

Februari, 2021

Maos jugan

 

Pelabuhan Paotere' (II)

 

Ucapkan salam

pada senja pulang

dan malam menjelang

setulus pelabuhan

berangkatkan penumpang

lalu mendekap

semua yang merapat datang

 

Kapal dan perahu

diam namun menderu

dalam jangkauan pandang

masih berkibaran

bendera tiang-tiangmu

 

Daya kerja memang tak pernah berhenti

meski sangar hari kembali menampar mimpi

meski si jelata lelah telah menepi

meski si kuasa pongah masih berpaling sangsi

 

Sedang aku dan laut

tambah erat berpagut

setelah riakan gelombang

yang datang pergi perlahan

dengan hati hangat

anginnya menambat

 

Ada cahya bulan pualam

melandai turun ke wajah lautan

bagai sepuhan lorong kencana

menuju misteri rahasia jelita

 

Ibu, berapa lamakah usia tempuh

menjalani kelahiran sendiri hingga ruh

 

Ibu, pada maut laut hidup bertaut

takdir dan nasib jadi ikut bergelut

 

Dan pada antrean truck angkutan barang

pada abang-abang yang tidur bertirai plastik

di jok depan becaknya di jalan menuju pelabuhan

pada mereka yang berumah di sudut-sudut dan emperan

pada satpam yang duduk tertidur di kursi jaga malam

pada bangkai-bangkai ikan berceceran

pada tikus got yang mengorek-ngorek sampah makanan

pada warung makan bagi kasbon dan hutang

lepas kuhaturkan salam setulus pelabuhan

 

Biar sepi yang sempat lahir

karena kerling sinar lampu

dari ketinggian puncak mercusuar

segera dicibir kerlipan nakal

semarak warna cahaya lampu

dari tiang-tiang pinggir jalan

dan kapal perahu bersandar

 

Sepanjang dermaga

ke lantai di bawah mercusuar itu

kau akan makin tahu

mengapa laut dan aku

terikat akrab selalu

 

Dari tebaran jiwa pulau-pulau

terus dikebas-kibarkannya rindu

dengan bentang layar langit biru

 

18 Maret, 2018

Maos jugan

 

 

Di Cafe Ini

 

Malam yang turun di luar

menghapus segala bayangan

di muka kali mengalir keruh

di ruas jalan landai tergenang

juga di warna tembok kusam

 

Di cafe ini

beberapa pengunjung

mulai beranjak pergi

akan meninggalkan jejak

kesunyian pada dingin

yang perlahan merambat

dari tepian pigura

dari garis coretan iseng

ke setiap sudut ruang

ke kaki meja dan kursi

 

Sementara putaran lagu

juga satu dua percakapan

masih saling meningkahi

 

Di cafe ini

nanti kulayani sekecap suara

dalam diam mengelam

sebab kata kadang tak cakap

mengungkap kegelisahan

 

Mungkin kelak cinta

dapat juga terbaca

lewat gemeretap langkah

kaki yang meretas jalan

ke suatu tempat

di mana lengan kesedihan

sudah lama menunggu

untuk saling berdekapan

 

Sekali lagi kutoleh

jendela berkaca buram itu

sekedar mengira ilham

akan lahir dari desah

angin di kisi-kisinya

sekedar menakar tegur

yang datang dari tegang

kenyataan di sebaliknya

 

Sementara di sekitar

kudapati udara berat

seperti ditaburi duka

 

pada hisapan penghabisan

sisa lagu tanpa percakapan

tergesa menyalami sunyi

yang mulai mengambang

di antara buku menu

dan lelah tatapan pelayan

 

November 2016


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak