Cerpen: Di Atas Laut Garam

cerpen: Di Atas Laut Garam


Malam itu, langit di atas Laut Garam tampak muram. Awan tebal bergulung seperti tirai gelap yang menutupi rembulan. Hanya suara debur ombak yang menemani Saromban, seorang lelaki tua dengan tubuh kurus yang dipahat oleh usia dan kerja keras. Ia duduk di atas perahu kecilnya, berusaha mengendalikan layar di tengah angin yang menderu.

Saromban baru saja pulang melaut. Hasil tangkapannya malam itu tidak seberapa, hanya beberapa ekor ikan kecil yang berkilauan di dalam ember bambu. Cuaca buruk sejak sore membuat laut menjadi ganas, tetapi Saromban tetap memaksa berlayar. Ia tahu, perut kosong tidak bisa menunggu cuaca cerah.

Sembari memegang erat kemudi perahu, pikirannya melayang pada kenangan yang selalu datang di saat seperti ini. Wajah istrinya, Sainem, yang telah tiada bertahun-tahun lalu, muncul di benaknya. Sainem adalah perempuan yang selalu menyemangati Saromban di saat sulit. Dengan senyumnya yang lembut, ia biasa menyambut suaminya di tepi pantai, membawa segelas teh hangat dan kain untuk mengelap keringat.

Namun, malam ini Saromban tahu bahwa tidak akan ada lagi sosok yang menunggunya di daratan. Sainem telah berpulang akibat penyakit yang tidak pernah mampu mereka obati. Kehidupan miskin membuat mereka hanya bisa pasrah pada takdir. "Aku merindukanmu, Nem," gumam Saromban pelan, suaranya hampir tenggelam oleh angin yang meraung.

Maos jugan

Dan bukan hanya Sainem. Putri satu-satunya, Jumiati, juga telah meninggalkannya. Gadis itu menjadi korban arus deras saat membantu ibunya mencuci pakaian di sungai. Kehilangan Jumiati adalah luka yang tidak pernah sembuh bagi Saromban. Setiap kali ia memandang laut, ia teringat wajah kecil putrinya yang memohon tolong di tengah derasnya air. Tapi ia tidak pernah sempat menyelamatkan.

Perahu Saromban akhirnya mencapai pantai. Ia turun dengan langkah gontai, membawa ember bambu yang tidak seberapa berat. Gelap malam menyelimuti desa kecil tempatnya tinggal. Tidak ada cahaya lampu di rumah-rumah yang berjejer sepanjang jalan setapak. Desa itu sudah lama tenggelam dalam kesunyian, seperti hidup Saromban sendiri.

Setibanya di rumah, Saromban duduk di atas bale-bale kayu yang sudah reot. Rumahnya kecil dan sederhana, hanya terdiri dari satu ruangan. Di sudut ruangan terdapat foto keluarga, satu-satunya peninggalan yang tersisa dari masa bahagia. Ia menyalakan lampu minyak dan menatap foto itu dengan pandangan kosong.

“Kita hanya punya laut, Sar,” suara Sainem seolah berbisik dari masa lalu. “Laut memberi kita makan, meski kadang ia marah. Tapi, jangan pernah menyerah.”

Saromban tersenyum pahit. Laut memang telah menjadi teman setia, tapi juga musuh yang kejam. Ia pernah kehilangan banyak hal karena laut, tapi ia tidak punya pilihan lain. Kehidupannya bergantung pada hasil tangkapan yang semakin hari semakin sulit didapatkan.

Di luar, angin masih bertiup kencang. Hujan mulai turun, membuat malam semakin dingin. Saromban menarik selimut tipis yang sudah penuh tambalan dan berbaring di atas bale-bale. Matanya terpejam, tetapi pikirannya terus berkecamuk. Ia merasa sendirian, terasing di dunia yang semakin tidak peduli pada orang-orang seperti dirinya.

Maos jugan

Namun, di tengah kesendirian itu, Saromban selalu menemukan secercah kekuatan. Ia tahu bahwa hidup harus terus berjalan. Meski ia sudah tua dan lelah, ia tidak akan pernah meninggalkan tanah dan laut yang telah menjadi bagian dari jiwanya. Tanah ini ia jaga bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk cucunya, jika suatu hari takdir mempertemukannya dengan garis keturunan yang masih tersisa.

Saat hujan mengguyur genting rumahnya, Saromban teringat sebuah janji yang pernah ia buat kepada Sainem di akhir hayatnya. “Jaga tanah ini, Sar,” begitu kata Sainem dengan napas tersengal. “Meski tidak ada lagi yang tersisa, jangan pernah biarkan tanah ini diambil orang lain.”

Saromban memutuskan bahwa esok hari ia akan kembali melaut. Mungkin cuaca akan membaik, dan ia bisa membawa pulang lebih banyak ikan. Mungkin juga ia akan bertemu dengan sesuatu yang baru, sesuatu yang membuat hidupnya lebih bermakna. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi ia yakin bahwa selagi ia bernapas, ia harus terus berjuang.

“Sainem, Jumiati, aku akan terus menjaga ini untuk kalian,” bisiknya sebelum akhirnya terlelap, ditemani suara hujan yang membasahi tanah di luar sana.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak