PILKADA DARI LANTAI DUA KANTOR DPRD SUMENEP

PILKADA DARI LANTAI DUA KANTOR DPRD SUMENEP



Pukul 11.22 WIB, Selasa siang (12/11), saya berkesempatan untuk mengunjungi ruang rapat paripurna di kantor DPRD Sumenep yang lama. Ruang paripurna itu sudah dikosongkan. Yang tersisa hanya sepi, pengap dan mencekam.

AC sudah tidak menyala. Ia berdiri, seperti masalalu yang diacuhkan dengan sengaja oleh kenyataan. Dan 4 lampu yang menyala tidak mampu menahan gelap yang terasa kerontang.

Saya memotret beberapa bagian dari ruang paripurna itu. Pertama, saya memotretnya dengan mode panorama; dari ujung kanan hingga ujung kiri ruangan menjadi satu gambar saja. Ruangan paripurna itu seperti sedang menderita, ringkih menghadapi hari tua. Ia tergeletak sembari menahan air mata dari semua kesepian yang telah diterima.

Kedua, saya juga memotret bagian meja dan kursi untuk jajaran ketua DPRD dan podium tempat laporan sekaligus pertanggung jawaban biasanya dibaca. Yang tersisa, seperti menjadi saksi dugaan seluruh persekongkolan, pemerasan, dan kleptokrasi yang membabi buta. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ruang paripurna seperti buku tua, tempat segala dosa dicatat, namun merahasiakan seluruh penulisnya.

Tidak lupa, saat itu saya juga memotret foto presiden di masing-masing periode. Mulai dari alm. Sukarno sampai Susilo Bambang Yudoyono. 6 foto presiden itu berada tepat di atas pintu masuk ruang rapat paripurna. Hanya saja, posisi foto itu seperti dipasang secara asal. Ada posisi bingkai tidak sejajar dan tidak presisi. Ukuran foto dan bingkainya pun tidak sama antara satu dengan lainnya.

Usai memotret, saya berdiri menghadap ke arah tempat pimpinan sidang. Saya berdiri cukup lama, berusaha mengusir rasa takut yang perlahan mendera. Suasana ruang paripurna semakin menakutkan. Sesekali saya menghela nafas dalam-dalam. Membiarkan perasaan berkeliaran.

Perlahan, ada beberapa kenangan yang datang secara bergantian. Di antaranya, saya pernah duduk di kursi ruang paripurna, dan meminta seorang kawan untuk membangunkan saya saat sidang paripurna selesai. Saya ingin merasakan langsung, bagaimana jika tidur ketika paripurna belum rampung?

Saya juga teringat saat perwakilan anggota dewan memberikan koreksi dan usulan. Anggota dewan itu naik ke atas podium. Lampu belajar menerangi materi laporan yang akan dis sampaikan.

Seingat saya, isi laporan itu disampaikan dengan berapi-api. Seperti ada wakil dari langit yang tidak pernah ingkar janji. Akan tetapi, bagi saya, setiap pernyataan mereka sulit sekali untuk diyakini.

Koreksi dan usulannya, bagi saya, hanya seperti sesajen yang dibacakan untuk mengusir roh jahat di dalam ruangan. Akan tapi bagaimana jika roh jahat itu tidak lain adalah saya, dan maaf, juga yang terhormat anggota dewan? Semua menjadi sulit untuk dijelaskan.

Selain kenangan, perasaan saya juga meraba-raba, kiranya sudah berapa banyak dosa dan kebaikan yang tercipta dari ruang paripurna yang kini hampa? Berapa banyak kesepakatan buruk yang rakyat tidak pernah duga? Dan juga berapa banyak perda yang berakhir tragis, sekedar menjadi macan kertas di meja?

Sebentar lagi gelaran Pilkada. Dari ruang paripurna, yang hampa, perasaan saya dicegat kecewa. Siapapun bupati yang terpilih, baik Final atau Faham, apakah mampu memberi pembeda di ruang paripurna? Pembeda yang untuk semua rakyat, bukan sekedar golongan yang mufakat.

Sejauh yang saya tahu, politik hanya soal koalisi dan bagi-bagi. Selebihnya, rakyat akan hidup dan tetap bergantung pada nasibnya sendiri.

Pukul 12.09 WIB, saya keluar dari ruang paripurna. Di depan saya ada tangga untuk turun. Namun perasaan saya terus naik, sembari bertanya, Pilkada untuk siapa? Semua sibuk mencari cara untuk berkuasa. Saat kaki saya menuruni tangga, perasaan kian perih didera kecewa. Salam awam saja.

 

Gapura, 13 November 2024

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak