Ode
Bagi Lima Butir Telor dan Sungai Mimpi
Pagi
menjelang siang
Ketika
kelas menengah terpelajar enak tidur
Kuterima
chat WA dari rumah
Bahwa
sejak kira-kira dari seminggu yang lalu
Ayam
kami mulai bertelor
Hari
ini dihitung ternyata lima butir jumlah pastinya
Lima
butir telor itu, katanya
Akan
dibiarkan menetas semua
Secara
biologis dan ideologis jelas
Aku
ini makhluk manusia
Homo
sapiens, homo politicus
Homo
ludens, jangan xenophobia
Tidak
termasuk homophobia
Bukan
ayam jantan atau betina
Namun
justru karena manusia
Maka
tak mungkin duburku
Mengeluarkan
telor
Seperti
dubur ayam kampung
Apalagi
cuma ayam dalam puisi Pak Zawawi
Namun
justru sebagai manusia
Akupun
ikut manusia yang lain mengerami
Lima
butir nilai setiap hari
Entah
kapan kami sanggup menetaskannya
Oh
ya, Ibu bapakku rakyat biasa
Dulu
mereka sering comel menasehatiku
"Jangan
banyak angan dan aneh-aneh
Kita
golongan orang biasa
Yang
orang tua harapkan
Untuk
anak-anaknya satu hanya
Tahu
siapa diri sesungguhnya
Sehingga
dapat bedakan baik buruk hidupnya
Itu
saja!"
Dan
aku masih saja main-main jadi penyair
Kadang
bahkan pura-pura jadi revolusioner
Ah,
tapi baiklah, mungkin akhirnya
Aku
sekedar cangkang telor yang martir
Atau
sungai mimpi yang mengalir
Tenang
dan sendiri
Sehabis
tertetas kenyataan berkepingan
Nanti
aku akan iseng kembali berseru
"Di
negeri ini tak ada Eggboy
Seperti
di luar negeri sana
Tapi
kiamat masih jauh
Ayo
bangun pagi
Never
ending prot(s)es!"
23:32/
5-4-2019
Maos Jugan
- CERPEN MENIPU TUHAN
- Hanya Slogan “annadhofatu minal iman"
- Sanja’na KHALIL SATTA ÈLMAN
- Pantun Madura
- "Ja' Nyorot" Pak Mahfud!!!
Air
Mata Ibu
Pagi
menjelang siang
Si
anak hilang, pulang
Memasuki
pekarangan
Berbareng
ulukan salam
Segera
pelukan ibu
Menghambur
bertahun rindu
Keduanya
sama pejam
Segala
suara hilang
Udara
dan waktu diam
Di
batas kata dan nyata
Bongkahan
bulir air mata
Menimpa
pundak terasa
Basah
haru semesta
Kenangan
panas surya
Mengecup
hangat sukma
Mengambang
bentang peristiwa
Sampai
rembang tiba
Tiada
nasihat atau doa-doa
Bulan
di langit akan purnama
Keadaan
serambi hening juga
Di
antaranya tak saling bicara
Malam
yang meredam makna
Basuhi
tapak kaki ibu, pasi wajahnya
Azimat
perjalanan selanjutnya
2017
Ibu
Di
dalam setiap waktu
Yang
dikandung anak-anakmu
Engkaulah
keheningan itu
Engkaulah
juga kesepianku
Selalu
datang
Selalu
datang
12
Ags, 2018
*Umar Faruq Sumandar lahir di Sumenep, Madura (umur
dirahasiakan). Menulis Puisi, Cerpen, dan lain-lain. Aktor berbakat ini kini
tinggal di kampung halaman Dusun Pangsono' Desa Billapora Rebba, Lenteng,
Sumenep. Bekerja sebagai tukang pangkas rambut di kios Mambesak dan penjual
jamu tradisional Madura khusus pria dan wanita dewasa. Baru-baru ini masuk dalam jajaran pengurus
sebagai salah satu anggota divisi riset di Lesbumi PCNU Sumenep