Semalam (Jum'at, 03/1. jam 19.30) saya menghadiri acara bincang buku berjudul Tirakat Jalanan: Melihat Indonesia dari Angkutan Umum, karya K. M. Faizi, di warung kopi Tabun. Ini kali pertama saya ngafe di Tabun. Sebelumnya hanya lewat saja. Dulu saat masih kuliah di IAIN Madura, saya biasa melewati Tabun. Ada rasa penasaran, sebenarnya, ingin ngafe di Tabun. Tapi momennya baru dapat semalam.
Acara bincang
buku ini berlangsung hingga pukul 22.30 wib. Peserta yang hadir demikian
antusias menyimak pemaparan K. M. Faizi. Hadir dalam acara ini Ketua Dewan
Kesenian Sumenep, tokoh-tokoh Pegiat Seni dan Sastra Sumenep, pengurus Lesbumi,
pengurus banom NU seperti GP Ansor, Banser dan IPNU-IPPNU Pragaan.
Saya benar-benar menikmati jalannya diskusi buku
Tirakat Jalanan ini. Hangat sekali suasana yang terbangun. Mas Mahendra yang
dulu sering saya lihat waktu ngafe di Blandongan atau Mato Jogjakarta, juga
terlihat hadir. Mahwi Air tawar, salah satu penyair Sumenep yang menasional
juga ada. Keduanya diberikan kesempatan menampilkan penampilannya di akhir
acara.
Maos jugan
- Oca’ Bakal dhalem Basa Madura
- Carpan: Amempe
- Abantal Cellot Asapo' Ba'a
- AH Hasmidi Lebur ka JokPin
- Ngala' Owanan ka Ji Tahir
Sejak kali pertama melihat leaflet acara diskusi buku
di grup WhatsApp Ikatan Alumni Universitas Islam Negeri Jogjakarta, keinginan
untuk hadir spontan menggebu. Bukan hanya karena bukunya tapi juga penulisnya.
Kebetulan saya Muhibbin Kiai M. Faizi. Saya kagum pada idealisme hidup beliau
yang menurut saya out of the box.
Kiai M. Faizi menerapkan laku hidup keseharian yang
nyentrik. Laku hidup yang sangat mungkin kita tidak akan bisa menirunya.
Kelihatan sederhana (bahkan sepele) namun sangat bermakna. Misal, beliau tidak
punya gadget. Hanya punya hape notnenot. Laptop yang beliau pakai di acara
semalem juga sederhana. Meminjam bahasa Kiai M. Faizi bahkan harus ditongka
agar bisa berdiri seimbang.
Kebiasaan nyentrik Kiai M. Faizi lainnya, misalnya,
beliau tidak mau minum air minum kemasan botol. Meski penghisap tulen, K. M.
Faizi tidak mau menghidap rokok yang ada filternya. Para santri beliau juga
diajarkan ramah lingkungan, misalnya, saat beli sesuatu di warung, tidak
diperkenankan dibungkus plastik. Kecuali daun, boleh.
Sepanjang yang saya amati, Kiai M. Faizi tidak terlalu
banyak menyinggung isi dalam bukunya. Hanya garis besarnya saja yang beliau
sampaikan. Pembahasan lebih banyak pada kisah nyata perjalanan beliau
mengelilingi Indonesia menggunakan moda transportasi angkutan umum. Bus, Elf
dan transportasi umum lainnya.
Menyimak ulasan Kiai M. Faizi saat menjelaskan
perjalanan beliau mengunjungi berbagai wilayah di Indonesia, saya menjadi
semakin kagum pada sosok berpenampilan sederhana ini. Beliau begitu hafal
(luar-dalam) nama-nama tempat yang pernah dikunjungi beserta pernak-pernik lain
selama dalam perjalanan. Guyonan segar yang menjadi ciri khas beliau dalam setiap penyampaian materi juga mampu membuat
cafe Tabun "meledak."
Saya dan banyak pengunjung diskusi buku tidak banyak
tertawa saat seorang stand-up komedian melucu di satu sesi acara. Di depan kami
semua. Padahal kita tahu bahwa misi utama stand-up komedian adalah membuat tawa
penonton pecah. Tawa seisi cafe Tabun justeru meledak saat Kiai M. Faizi
mengeluarkan jurus-jurus joke segar dalam setiap uraiannya. Bahkan saat hujan
turun dengan membawa dingin angin malam nyatanya berhasil dihangatkan oleh
joke-joke segar Kiai M. Faizi.
Pada awalnya, saya, mas Jazuli dan Istri serta kenalan
sahabat Ansor Pragaan duduk di luar warung. Namun karena hujan turun, kami
semua (yang ada di luar warung) harus pindah ke dalam meskipun sudah penuh
dengan pengunjung lain.
Maos jugan
- Serradan Epon Ach Jazuli
- Sumber Energi
- Makoko Sendhina Basa Madura
- Narto Lebur ka Oreng Bine'
- Jamal D Rahman Maos Carpan
Di penghujung acara saya sempatkan minta tanda tangan
Kiai M. Faizi di buku Tirakat Jalanan yang saya beli sekitar dua bulan yang
lalu.
Satu catatan penting yang sempat saya catat karena
kadung terhipnotis joke-joke Kiai M. Faizi adalah bahwa berlalu lintas itu
harus mendahulukan keselamatan orang lain dibanding keselamatan dirinya
sendiri. Dalam hal ini beliau menukil satu riwayat tentang kebajikan membuang
duri dari jalan. Mafhum mukhalafahnya; menaruh duri di jalan adalah perbuatan
dosa.
Jika ditarik pada etika di jalan raya, memberikan
kenyamanan atau keselamatan kepada pengendara lain adalah sebentuk perbuatan
bajik. Sebaliknya, mengganggu kenyamanan dan keselamatan pengendara lain
merupakan perbuatan dosa.
"Artena, magampang jalanna oreng laen areya
bagian dari tanda bersemayamnya Iman dalam diri seseorang." Tegas Kiai M.
Faizi.
Saking renyahnya suasana diskusi, tanpa terasa waktu
mendekati pukul 22.30. Setelah sesi tanya jawab, acara dipungkasi dengan
pembacaan doa oleh Kiai M. Faizi. Saat acara diskusi buku selesai, hujan sudah
reda. Setelah mendapatkan tanda tangan Kiai. M. Faizi, saya langsung gowes
pulang menembus pekat malam dari Tabun Pragaan ke Banasare. Dingin malam
sehabis hujan seperti menusuk pori-pori kulit. Pukul 01.45, Alhamdulillah saya
tiba dengan selamat sampai rumah.
Catatan: Mon la kadung senneng, makkeya la jau ban
etambu angen malem, paggun elaban.
Sabtu, 4 Januari 2024.
*Abdul Wahab Hasbullah anggota Banser dan penggerak Literasi Komunitas Ghȃi’ Bintang Rubaru