Di berbagai belahan dunia, tanah selalu menjadi
sesuatu yang diperebutkan. Bukan sekadar tempat berpijak, tanah adalah simbol
kekuasaan, identitas, dan kelangsungan hidup. Konflik tentang siapa yang berhak
atas sepetak tanah sering kali membawa cerita yang panjang dan penuh luka. Dari
masa lampau hingga sekarang, persoalan ini terus mengalir, menyentuh berbagai
dimensi kehidupan manusia.
Jika kita mundur ke masa lalu, tanah adalah salah satu
alasan perang dan penjajahan. Ketika bangsa-bangsa besar mengarungi lautan,
mereka mencari tanah baru yang bisa dijadikan tambang emas, ladang subur, atau
sekadar wilayah kekuasaan. Di Nusantara, penjajah mengubah tanah menjadi alat
kendali. Tanam paksa, misalnya, adalah bukti nyata bagaimana tanah rakyat
diambil untuk keuntungan kolonial. Rakyat hanya bisa menunduk, menyaksikan
lahan yang selama ini mereka rawat menjadi milik orang lain.
Namun, konflik tanah bukan hanya milik sejarah. Di
masa kini, ceritanya berubah wujud. Di desa-desa, tanah menjadi rebutan antara
petani kecil dan perusahaan besar. Banyak tanah adat yang tiba-tiba berubah
fungsi menjadi perkebunan sawit atau tambang tanpa persetujuan pemilik aslinya.
Akibatnya, masyarakat adat kehilangan tempat tinggal, mata pencaharian, dan,
yang lebih menyakitkan, kehilangan identitas.
Di kota-kota, cerita lain muncul. Gentrifikasi,
istilah yang kerap terdengar canggih, sesungguhnya adalah bentuk lain dari
perebutan tanah. Warga dengan penghasilan rendah sering kali terpaksa pindah
karena tempat tinggal mereka diubah menjadi kawasan mewah. Mereka yang dulu
punya rumah kecil di pinggir kota kini harus hidup di tempat yang jauh dari
tempat kerja, jauh dari akses pendidikan, dan jauh dari kehidupan yang layak.
Di tingkat yang lebih luas, tanah juga menjadi pemicu
ketegangan antarnegara. Lihat saja sengketa wilayah di perbatasan. Wilayah
Kashmir, misalnya, telah lama menjadi sumber konflik antara India dan Pakistan.
Bagi banyak orang, itu bukan sekadar peta di atas kertas, melainkan rumah,
kampung halaman, dan masa depan yang dipertaruhkan.
Apa yang terjadi jika tanah terus-menerus
diperebutkan? Jawabannya jelas: ketidakadilan. Mereka yang kuat, baik secara
ekonomi maupun politik, akan menang. Sementara itu, mereka yang lemah hanya
bisa bertahan dengan segala daya yang tersisa. Ketika tanah diambil alih tanpa
izin, keadilan sosial terguncang. Ketika hutan dibabat untuk tambang,
lingkungan yang menjadi penopang hidup ikut rusak. Bahkan, tak jarang perebutan
tanah memicu perang kecil, baik di tingkat lokal maupun internasional.
Lalu, bagaimana kita keluar dari lingkaran ini?
Pertama, harus ada penghormatan terhadap hak-hak masyarakat lokal. Mereka yang
hidup di atas tanah itu selama berabad-abad seharusnya tidak hanya dihormati,
tetapi juga dilibatkan dalam setiap keputusan. Kedua, kita membutuhkan hukum
yang jelas dan tegas. Tanpa aturan yang melindungi hak semua pihak, konflik ini
akan terus berulang. Ketiga, perlu ada kesadaran kolektif tentang pentingnya
menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia dan keberlanjutan lingkungan.
Namun, solusi tidak selalu datang dari atas.
Masyarakat juga punya kekuatan untuk menjaga tanah mereka. Lihat saja bagaimana
banyak komunitas adat yang tetap mempertahankan tradisi mereka meskipun tekanan
dari luar begitu besar. Mereka mengajarkan kepada kita bahwa tanah bukan
sekadar benda mati, tetapi bagian dari identitas dan kehidupan itu sendiri.
Tanah memang selalu menjadi sesuatu yang diperebutkan. Tetapi, di tengah semua itu, kita harus ingat bahwa tanah bukan hanya soal siapa yang memiliki, tetapi juga soal bagaimana kita merawatnya. Ketika kita kehilangan tanah, kita tidak hanya kehilangan ruang, tetapi juga kehilangan masa depan. Jadi, mari menjaga tanah ini, bukan hanya untuk diri kita, tetapi juga untuk generasi yang akan datang.