Muhammad Sholeh
Perkerisan bukan hanya tentang sebilah senjata tajam yang bentuknya unik dan misterius. Lebih dari itu, keris adalah warisan budaya yang memancarkan nilai-nilai luhur dan mengandung makna filosofis yang mendalam. Dalam setiap lekukan bilahnya, terkandung sejarah panjang peradaban Nusantara yang sarat akan simbolisme, spiritualitas, dan kekuatan identitas budaya. Khazanah perkerisan adalah warisan yang melintasi zaman, menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini, serta menyatukan elemen-elemen kultural yang kompleks dalam satu entitas yang padu.
Sejarah Panjang yang Terukir di Bilah Keris
Jejak awal perkerisan diyakini bermula pada era kerajaan-kerajaan
Nusantara (masa lalu). Pada masa itu, keris bukan sekadar senjata, melainkan
simbol status sosial dan kekuasaan. Raja dan bangsawan menggunakannya sebagai
lambang kehormatan dan wibawa. Seiring berjalannya waktu, keris mengalami
perkembangan bentuk dan fungsi. Pada masa tertentu, perkerisan mencapai puncak
keemasan dengan ditemukannya berbagai jenis pamor yang tidak hanya berfungsi
sebagai ornamen, tetapi juga dipercaya memiliki makna magis dan spiritual.
Di setiap masa, keris selalu hadir dalam berbagai
ritus kehidupan masyarakat Nusantara. Mulai dari upacara kelahiran, pernikahan,
hingga kematian, keris senantiasa hadir sebagai simbol perlindungan dan
keberkahan. Dalam tradisi Jawa, misalnya, keris sering kali diwariskan secara
turun-temurun sebagai pusaka keluarga yang membawa doa dan harapan leluhur. Hal
ini menunjukkan betapa kuatnya peran keris sebagai penghubung antargenerasi,
yang tidak hanya memperkuat ikatan keluarga, tetapi juga memperkokoh identitas
budaya.
Maos jugan
- Rèng Binè’ Ḍâlem Kepkeppan Jhâman
- Kaju Odhi' Paseser Tasellem
- carpan: Eselpettagi
- Contoh Undangan Bahasa Madura
- Karnaval Never Ending Soud System
Simbolisme dan Makna Filosofis dalam Perkerisan
Tidak seperti senjata tajam lainnya, keris dibuat
dengan filosofi dan tujuan yang sangat spesifik. Setiap elemen pada keris
mengandung simbolisme yang mendalam. Bentuk bilahnya yang berkelok-kelok (luk)
misalnya, melambangkan perjalanan hidup manusia yang tidak selalu lurus dan
mudah. Sementara itu, pamor atau pola yang terbentuk dari pencampuran logam
saat ditempa memiliki makna yang lebih kompleks. Pamor tertentu misalnya, dianggap
melambangkan aliran rezeki yang lancar dan berkah yang tiada putus.
Pamor pada keris tidak sembarang dibuat. Seorang empu,
sebagai perajin keris, menciptakan pamor dengan meditasi dan doa khusus. Proses
penempaan logam menjadi keris melibatkan ritual spiritual yang sarat akan laku
batin. Tidak mengherankan jika seorang empu diyakini memiliki kemampuan
spiritual yang tinggi, karena mereka tidak hanya menciptakan senjata, tetapi
juga mengalirkan energi doa dan niat baik ke dalam setiap bilah yang ditempa.
Inilah yang membuat keris dianggap bertuah dan memiliki kekuatan magis.
Selain itu, keris juga mengajarkan nilai-nilai
kebijaksanaan hidup. Luk yang berkelok-kelok mengajarkan manusia untuk tetap
bijak dalam menghadapi berbagai liku kehidupan. Sedangkan gandik dan sogokan
pada bilah keris melambangkan keseimbangan antara jasmani dan rohani. Dalam
budaya Jawa, keseimbangan ini adalah kunci untuk mencapai kehidupan yang
harmonis. Oleh karena itu, memiliki keris tidak hanya soal kepemilikan benda
antik, tetapi juga tentang memegang teguh nilai-nilai hidup yang diwariskan
oleh leluhur.
Perkerisan di Era Modern: Antara Pelestarian dan
Komersialisasi
Pada era modern, khazanah perkerisan menghadapi
tantangan besar. Globalisasi dan modernisasi mengubah cara pandang masyarakat
terhadap keris. Generasi muda cenderung menganggap keris sebagai benda kuno
yang tidak relevan dengan kehidupan modern. Akibatnya, minat untuk mempelajari
perkerisan pun semakin berkurang. Ironisnya, justru di luar negeri, keris
mendapat apresiasi tinggi sebagai karya seni dan artefak budaya yang memiliki
nilai sejarah yang tak ternilai.
Fenomena ini memunculkan dua arus besar dalam dunia
perkerisan. Di satu sisi, muncul upaya pelestarian dengan pendekatan yang lebih
kreatif, seperti pameran keris dan kajian akademis tentang filosofi dan sejarah
perkerisan. Di sisi lain, keris juga mengalami komersialisasi yang tak
terhindarkan. Banyak orang yang memperdagangkan keris tanpa memahami makna
filosofis dan nilai spiritual di baliknya. Keris dijual sebagai barang antik
yang hanya dilihat dari sisi estetika dan nilai ekonominya semata.
Maos jugan
- Luka yang Menua
- Sanja’na KHALIL SATTA ÈLMAN
- Elangnga Pangajiyan
- carpan: Garangan Compet Are
- Di Dekat Pos Kamling
Revitalisasi Khazanah Perkerisan
Menyadari kompleksitas ini, perlu adanya upaya
revitalisasi yang bijak untuk menjaga kelangsungan khazanah perkerisan.
Pertama, pendidikan budaya harus dimasukkan dalam kurikulum sekolah agar
generasi muda mengenal dan mencintai warisan leluhur mereka. Kedua, pendekatan
digital bisa menjadi solusi efektif, misalnya dengan membuat dokumentasi
digital atau aplikasi yang menyajikan informasi seputar keris secara menarik
dan interaktif.
Ketiga, perlu kolaborasi antara budayawan, akademisi,
dan pemerintah untuk melestarikan perkerisan melalui riset, seminar, dan
publikasi ilmiah. Tidak kalah penting, komunitas pencinta keris juga harus
aktif dalam melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat luas. Dengan
demikian, khazanah perkerisan tidak hanya menjadi warisan yang membanggakan,
tetapi juga menjadi identitas budaya yang terus relevan di era modern.
Penutup
Khazanah perkerisan bukan sekadar warisan benda
pusaka, tetapi juga warisan nilai-nilai hidup yang sarat akan filosofi dan
spiritualitas. Dalam setiap bilah keris, tersimpan doa dan harapan dari masa
lalu yang masih relevan hingga saat ini. Merawat perkerisan bukan hanya soal
melestarikan benda antik, tetapi juga tentang menjaga identitas dan martabat
budaya bangsa.
Di tengah arus globalisasi, sudah saatnya kita melihat perkerisan dengan pandangan yang lebih segar dan terbuka. Bukan lagi sekadar simbol kekuasaan atau benda bertuah, tetapi sebagai karya seni yang melampaui ruang dan waktu. Dengan demikian, khazanah perkerisan tidak hanya tetap hidup, tetapi juga terus bernafas dalam dinamika kehidupan modern.
*Muhammad Sholeh adalah warga Matanair yang baru saja melepas masa lajangnya ke Kalianget Barat, memiliki hobi memancing di air, seperti laut dan sungai, Alumni Akademi Perikanan Yogyakarta ini didapuk menjadi Ketua Pimpinan Ranting Ansor Matanair, Rubaru, Sumenep.