Cerpen: Edy Hermawan
Munarto sangat paham kalau kelelakiannya akan
dipertaruhkan pada malam pertama. Dia harus berhasil memerawani Misnati pada
malam pertama itu. Kalau tidak, harga dirinya sebagai lelaki akan hancur. Dia
akan dicap lelaki jadi-jadian.
Apa yang diceritakan oleh bapaknya lima tahun lalu
tentang Atlan masih melekat di benak Munarto, apalagi sekarang dia benar-benar
akan mengalaminya sendiri. Atlan, paman Munarto, terpaksa bersembunyi di bawah
ranjang dan menutup wajahnya dengan bantal. Kata bapaknya, Atlan gagal menjadi
lelaki pada malam pertama. Dia tak bisa bergaul sempurna dengan istrinya pada
malam pertama.
Bagi Munarto, yang paling menakutkan, Atlan, pamanya,
diantar pulang kembali ke rumahnya karena kegagalan malam pertama itu tak juga
bisa ditebus setelah tiga malam lamanya. Munarto takut hal seperti itu juga
menimpa dirinya meski dirinya sangat yakin kalau dia seorang lelaki sejati.
Apalagi, dia sering mendapati kelelakiannya mengeras saat melihat Misnati baru
selesai mandi yang hanya mengenakan kemben dan rambut basah terurai.
“Kalau kamu belum mengujinya, kamu tidak bisa
mengatakan kamu itu lelaki sejati dan perkasa,” kata Nom Atlan saat Munarto
minta restu untuk menikahi Misnati.
Kata-kata Atlan itu membuat Munarto ragu pada
kelelakian dirinya. Apalagi, itu keluar dari seorang yang sudah pernah
mengalami pahitnya kegagalan pada malam pertama.
Maos jugan
- Bulan Gerring Pesse Panas
- Carpan: Ngare' Padhi
- carpan: Ngabas
- Bilis-Bilis Ngangko’ Kakanan
- Ma Ma’na Sanat
“Mungkin, paman juga berpikir dirinya lelaki dan
perkasa sepertiku saat ini. Tapi, semua runtuh pada malam pertama,” gumamnya.
Beda lagi dengan Atlan, bapaknya menyampaikan dengan
kalimat-kalimat kiasan.
“Acara pernikahan memang sakral, tapi malam pertama
lebih sakral. Saat malam pertama, kamu jangan hanya numpang nginap atau pindah
tempat tidur. Kamu harus bisa menunjukkan kelelakianmu,” kata bapaknya saat
Munarto menyampaikan maksudnya untuk segera menikahi Misnati.
Begitu adat yang tegak di tengah masyarakat di mana
Munarto hidup. Kelelakian itu akan dipertaruhkan pada malam pertama. Munarto
benar-benar seorang lelaki atau tidak.
*
Pagi itu azan Subuh baru saja selesai berkumandang.
Munarto gegas bangun, kemudian mandi dan shalat Subuh. Sambil bersedekap karena
dingin masih menyelimuti tubuhnya, Munarto menuruni undakan rumahnya, lalu
melangkah menuju jalan umum di depan rumah berpagar irisan bambu itu. Dia sudah
memutuskan untuk menyiapkan segala sesuatunya agar dia tak malu di hadapan
Misnati pada malam pertama nanti. Kini dia menuju rumah Ki Suntrong.
Di kampungnya, Ki Suntrong terkenal sebagai orang
pintar dalam hal menjaga martabat kelelakian, baik lelaki yang ingin carok
karena istrinya digoda orang, atau seperti Munarto sendiri yang ingin digdaya
dan perkasa pada malam pertama. Banyak orang sudah membuktikan kehebatan Ki
Suntrong.
“Kamu keponakan Atlan ya?” tanya Ki Suntrong
memastikan.
“Ya, Ki,” jawab Munarto sembari menahan perutnya yang
hendak muntah karena menangkap bau kemenyan dan bunga-bunga berlebihan.
“Salah pamanmu itu, dulu saat menikah tidak datang
kepadaku,” katanya dengan percaya diri.
“Saya mau menikah, Ki. Makanya saya datang ke sini.”
“Rupanya kamu lebih mengerti daripada pamanmu. Bagus,
bagus,” kata Ki Suntrong sambil menaburkan kemenyan ke bara di samping
kanannya.
“Begini, kalau kamu hanya menggunakan ramuan di
pekarangan rumahmu dan obat-obat kimia untuk menjaga martabat kelelakianmu pada
malam pertama, itu tidak cukup. Selain lewat jalan kasar seperti itu, kamu juga
harus lewat jalan halus. Meski kamu habiskan ramuan di pekarangan dan di pasar,
ditambah obat-obat kimia itu, tapi kalau kamu sudah kena kotheka, kamu tidak
akan berdaya di hadapan istrimu. Siapa namanya?” kata Ki Suntrong.
“Misnati, Ki,” jawab Munarto.
“Ya, Misnati. Apalagi banyak lelaki yang mengincarnya,
tapi kamu yang dipilih. Mereka pasti sakit hati dan mencari cara untuk
menjatuhkan martabatmu sebagai lelaki di hadapan Misnati.”
“Makanya saya datang ke sini, Ki,” kata Munarto
sembari membungkuk.
“Ya, ya. Aku paham. Artinya, kamu percaya kepadaku?”
tanyanya.
“Ya, Ki. Saya percaya.”
“Kotheka itu sederhana, tapi kuat pengaruhnya. Ijab
kabul pertama tidak boleh sah. Kamu harus pura-pura lupa atau bagaimana
caranya. Karena, itu saat-saat orang melakukan aksinya. Dia akan mengambil lidi
seukuran jari, kemudian mematahkannya tepat saat kamu mengucapkan qobiltu.
Tentu ada mantranya. Setelah itu, kelelakianmu akan loyo dan tidak mengeras.
Kamu mau begitu?”
“Tidak, Ki.”
“Ya sudah, kamu lakukan itu. Ijab kabul pertama jangan
sampai sah.”
“Kedua, saat kamu memasuki tempat akad nikah, kamu
harus bawa orang untuk mengambil atau mengamankan sandalmu. Karena lewat
sandalmu itu juga kotheka akan dilakukan. Kalau sampai sandal atau sepatumu
dibalik saat kamu melakukan ijab kabul, kamu tidak akan jadi lelaki sejati pada
malam pertama,” jelas Ki Suntrong.
“Ya, Ki. Saya mengerti.”
“Kalau begitu, lakukan dua hal itu dan sisanya aku
yang akan melakukannya dari sini. Oh ya, jangan lupa. Kamu minum ramuan ini
juga, nanti sampai di rumah, tambah dengan telur itik atau ayam kampung,” kata
Ki Suntrong sambil tertawa.
Munarto beranjak ke luar rumah itu setelah selesai
menyalami Ki Suntrong sembari menyelipkan amplop yang sudah disiapkan di
sakunya. Dia melangkah penuh percaya diri. Bayangan Misnati tersenyum puas
penuh keringat bergoyang-goyang di benaknya. Munarto juga tersenyum, bayangan
keperkasaannya semakin nyata.
Saat tiba di rumahnya, belum sempat Munarto melepas
sandal, bapaknya sudah menegurnya. “Kamu sudah sowan kepada guru ngajimu?”
tanya bapak Munarto.
“Belum, Pak.”
“Sowanlah sekarang ke sana. Minta petuah untuk
kesiapanmu menikah nanti.”
Tak menunda lagi, setelah selesai mandi Munarto
langsung menuju rumah Kiai Saleh, guru mengajinya. Munarto juga berharap Kiai
Saleh memberikan resep agar dirinya menjadi lelaki bermatabat di hadapan
Misnati, khususnya pada malam pertama nanti.
“Katanya kamu mau menikah?” tanya Kiai Saleh.
“Ya, Kiai,” jawab Munarto singkat sembari
menyalaminya.
“Sudah siap?”
“Ya, ini saya ke sini mau minta petuah, Kiai.”
“Emm, kamu ini kan santri. Enggak usah bingung.
Lakukan saja apa yang sudah aku ajarkan. Saat mau keluar dari rumah, pamit
kepada ibu dan bapakmu, mintalah doa kepada mereka. Kemudian baca doa seperti
biasa. Pas akad, ngadap kiblat saja, itu arah paling baik. Insyaallah semua
berjalan lancar. Enggak usah aneh-aneh. Yakin kepada Allah,” nasihat Kiai
Saleh. Munarto hanya manggut-manggut merunduk takzim.
“Oh ya, pas ijab kabul, jangan sampai mengulang. Satu
kali langsung sah,” tambah Kiai Saleh.
Mendengar itu, Ki Suntrong langsung berkelabat di
benakn Munarto. Ia bingung mana yang harus diikuti, Ki Suntrong yang menyuruh
agar ijab kabul jangan langsung sah atau Kiai Saleh yang menyuruhnya sekali
ijab kabul langsung sah. Bayangan senyum Misnati pada malam pertama juga mulai
remang-remang di benak Munarto. Seperti pikirannya yang tidak jelas mau
mengikuti Kiai Saleh atau Ki Suntrong.
Maos jugan
- Jamal D Rahman Maos Carpan
- Mamat Terro Nompa’a Jaran
- carpan: Labang
- Sajan Abit Oreng Atane Sajan Tadha'
- Madhurâ ḍâlem Kaca Sajhârâ
*
Pagi hari, setelah malam pertama, Munarto pulang ke
rumahnya. Sudah menjadi adat bahwa pengantin lelaki pagi hari setelah malam
pertama pulang ke rumah orang tuanya. Biasanya, pengantin lelaki akan ditanya
oleh pihak keluarganya tentang kelancarannya pada malam pertama.
Kalau malam pertama itu berjalan lancar maka keluarga
pangantin baru akan sangat berbahagia. Mereka juga akan merayakannya dengan
membuat ketan ponar yang akan diantar ke rumah tetangga sekitar. Kalau sudah
menerima itu, warga dengan sendirinya akan tersenyum, pertanda mereka mengerti
kalau malam pertama pengantin baru berjalan lancar. Kemudian, pengantin akan
didoakan agar lekas punya momongan.
Kalau malam pertama gagal, keluarga akan terpukul dan
ikut malu. Keluarga pihak pengantin lelaki akan panik. Mereka akan segera sibuk
membawa anak lelakinya kepada kiai, orang pintar, atau kepada dokter. Apa pun
akan dilakukan untuk menjaga martabat kelelakian anaknya dan keluarganya.
Setelah menyalami kedua orang tuanya, Munarto duduk di
kursi bambu di teras rumahnya. Dia tidak melakukan apa-apa, kecuali menatap
lurus ke ujung jalan di mana orang-orang sibuk mengembalikan peralatan
pernikahannya. Ya, resepsi pernikahan Munarto dilaksanakan kemarin dan tadi
malam adalah malam pertama Munarto tidur dengan Misnati sebagai pengantin baru.
Dan, pagi ini Munarto sudah pulang ke rumahnya.
“Bu, rambut Munarto kok tidak basah ya? Apa tadi malam
dia tidak melakukan apa-apa dengan Misnati?” tanya bapak Munarto kepada
istrinya.
“Enggak tahu, Pak. Coba Bapak tanya langsung,” jawab
isntrinya sambil tersenyum.
“Kamu saja, Bu. Bapak mau menemui orang-orang yang
mengembalikan alat-alat dulu.”
“Kok, malah aku. Bapak tanyalah, kasihan Munarto.
Kelihatannya dia enggak ceria, Pak.”
Akhirnya, suami istri itu mendekati anaknya
bersama-sama. Mereka hendak memastikan kelancaran anaknya pada malam pertama.
Dengan sangat hati-hati, ibu itu membuka pembicaraan.
“Gimana tadi malam?”
“Belum, Bu,” jawab Munarto.
“Belum gimana? Kamu tidak lelaki, Nak?” tanya ibu itu
sambil menatap wajah suaminya.
“Pak, gimana ini? Jangan sampai ada orang yang tahu
soal ini, kita malu, Pak. Nanti kita anak kita dicap lelaki jadi-jadian,”
cerocos ibu itu panik.
“Tenang dulu, Bu. Munarto kan belum menjelaskan,” kata
si suami menenangkan.
“Misnati datang bulan. Masih harus nunggu satu minggu,” jawab Munarto sembari turun dari kursi meninggalkan bapak dan ibunya yang tersenyum simpul.