Realitas, Komedi dan Ketersinggungan

Kiko Anwar, Standup Indo Sumenep


Kiko Anwar, Standup Indo Sumenep

"Hidup terdiri dari sepuluh persen apa yang terjadi padamu dan sembilan puluh persen bagaimana kau meresponnya." - Lou Holtz

Sebagai makhluk yang dianugerahi kelengkapan indrawi, kekayaan daya analisis dan kompleksitas pengalaman yang beragam, tentulah sering terbersit keinginan untuk mengata-ngatai quotes yang sok bijak itu. Alasan mengutipnya disini adalah karena trigger pemantik Ngaji Teater edisi #170 sebelumnya yang selalu jenaka setiap kali menyebut Lauhul Mahfudz. Mas Agus Gepeng seakan menjadi pembenar idiom Das Sein Das Sollen secara otentik.

Realiatas

Dalam banyak literatur, realitas seringkali dimaknai sebagai keniscayaan. Yang darinya kemudian melahirkan beragam ekspresi, tafsir hingga berbagai produk peradadan. Realitas adalah sebuah potret nyata sebuah kehidupan. Realitas akan menunjukkan kesejatian yang murni. Hakikat yang sebenarnya terjadi. Kebohongan yang selalu tertutupi.

Secara spesifik, pembahasan kali ini hanya akan menguliti dua realitas saja, yakni realitas sosial: yaitu keadaan yang dipengaruhi oleh norma, nilai, dan kebiasaan sosial dan realitas virtual: yaitu keadaan yang ada dalam dunia maya atau digital.

Kalau dua realitas tadi dilekatkan pada Madura misalnya, maka realitas yang terlihat akan sama tidak idealnya. Sebagai daerah yang terhubung dengan pusat kekuasaan, pulau yang dahulu menjadi salah satu negara dalam Republik Indonesia Serikat (RIS) itu jelas terbelakang.

Di Surabaya, kita melihat kemajuan yang luar biasa. Segala aspek yang dibutuhkan untuk menjadi kota yang siap bersaing di kancah global dimilikinya. Tapi 5.438 m dari kota impian ini pula, terlihat kontradiksi dan ketidakadilan struktural yang nyata. Meski hanya dipisahkan oleh Selat Jawa, sampai sekarang Madura masih harus berjuang menemukan bentuk ideal peradabannya.

Kesenjangan pembangunan seperti ini tidak hanya terjadi di Pulau Garam, hampir di semua daerah yang secara geografis berdekatan dengan pusat kekuasaan mengalami hal serupa. Seakan pemerintah tidak benar-benar serius mengimplementasikan Sila kelima. Seolah daerah-daerah tersebut dianggap sebagai anak tiri yang layak untuk tidak diberikan kasih sayang.

Begitulah realitas, yang bahkan terkadang menjelma sebagai suatu paradoks yang kejam.Tak heran kalau George Orwell pernah menulis: "Realitas adalah apa yang pemerintah ingin kita percayai."

Maos jugan

Komedi

Sementara komedi, dalam term ini Standup Comedy, menurut Rosianna Silalahi, adalah "suatu hal yang dicreate untuk menghibur yang papa dan mengingatkan yang berkuasa." Materi standup berasal dari keresahan sehari-hari. Dari keresahan remeh temeh hingga yang spektrumnya menjangkau hal-hal yang urgent.

Secara umum, ada tiga pola yang bisa digunakan untuk menggali materi standup. Pertama, What With In: yaitu membahas segala sesuatu yang melekat pada diri komika. Mulai dari kondisi fisik, ekonomi, harapan, penyesalan, dan sebagainya.

Kedua, What Around You: yaitu membahas sesuatu yang ada di lingkungan sekitar. Dari tetangga, lingkungan sekolah, teman organisasi, partner kerja dan sebagainya.

Ketiga, What Happening: yaitu membahas hal-hal yang sedang ramai diperbincangkan. Seperti kelangkaan gas elipiji, pagar laut, efisiensi anggaran dan sebagainya. Ketiganya akan saling meramu dalam kerangka intelektual, alam bawah sadar dan dimensi pengalaman empirik si komika.

 Dalam perjalanannya, Standup Comedy kini bertransformasi menjadi seni hiburan yang adaptif. Ia banyak digemari, disukai tapi di sisi lain banyak yang merasa tersinggung hingga harus diselesaikan di ranah hukum.

Sejak awal kemunculannya pada 1880 di New York, Amerika Serikat, Standup Comedy memang dijadikan sebagai panggung kritik sosial oleh orang-orang kulit hitam terhadap pemerintah dan warga Amerika yang rasis. Sehingga bila ada sebagian komika yang mengkhidmati aliran sarkasme dan ironic dalam petunjuknya, adalah karena yang bersangkutan memiliki intensi kepedulian dan visi kemanusiaan yang lebih dari yang sekadar untuk menghibur.

Maos jugan

Ketersinggungan

Setiap tahun, lembaga survei lokal dan internasional sering merilis berbagai indeks di Indonesia. Dari indeks pembangunan manusia, indeks kebahagiaan, indeks transparansi, indeks kerukunan beragama dan lainnya. Tapi tidak sekali pun kita menemukan rilis indeks ketersinggungan masyarakat Indonesia.

Satu-satunya yang bisa dijadikan acuan adalah rilis Microsoft tahun 2020 tentang Tingkat Kesopanan Pengguna Internet Indonesia. Dalam laporan berjudul 'Digital Civility Index (DCI)' tersebut, Indonesia menempati urutan ke-29 dari 32 negara yang disurvei untuk tingkat kesopanan, sekaligus menjadi yang terendah di Asia Tenggara.

Temuan itu akan bertambah valid setiap kali ada perhelatan politik. Publik tidak pernah lupa dengan artefak cebong kampret, kadal gurun dan sebutan penghinaan lainnya yang bertebaran dimana-mana. Artinya, ruang-ruang kesopan santuan semakin terkikis. Berganti ekspresi ketersinggungan yang mewujud dalam hardik dan sumpah serapah.

Menurut kajian psikologi, orang dapat tersinggung karena beberapa hal. Pertama, karena alasan emosional seperti perasaan tidak dihargai, tidak dipahami dan yang bersangkutan memang sedang marah. Kedua, alasan personal seperti memiliki trauma, kesalahan atau kegagalan dan perasaan tidak percaya diri. Ketiga, alasan sosial biasanya karena mendapatkan kritik, perbedaan pendapat dan mendapatkan diskriminasi.

Maka dengan semakin tingginya indeks ketersinggungan masyarakat Indonesia termasuk kepada kaum standup komedian, tinggal ditracking apakah jokes yang dilempar ke publik itu memang sarkas, real atau pihak yang tersinggung mengalami "gangguan mental" lain. Karena sejatinya pelawak tunggal adalah intelektual yang gelisah. Bila demonstrasi dan gelombang protes tak diindahkan, biarkan kelakuan busuk mereka kami tertawakan.


Language Theatre, 18 Februari 2025

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak