DIKSI
DAN NENEK
Aku
berlari di antara detak Sepatu
Sebab
tetes hujan telah menyapa rambutku
Hujan
adalah kekecewaan awan yang luruh
Turun
jadi kebahagiaan nenek
Sebab
anaknya telah tumbuh subur
Yang
telah ia rawat dari kicauan burung
Sawah
itu akan ditumbuhi harapan yang nyata
Dan
dunia akan merasakan manisnya
Diksi
penyair yang nenek rawat
Hingga
wajah tuanya tak lagi tampak di cermin
Dan
hidupnya adalah segala doa
Panjang
yang ia ajarkan pada anaknya.
Pangabasen,2024.
SELURUH
RINDUKU ADALAH DIRIMU
Kakek
Biarkan
saja rindu ini membelenggu
Seluruh
kesunyianku Di lumbung puisiku
Atau
kau jemput rinduku dan aku
Untuk
melihat surga di mimpimu
Kakek
Bicaraku
sedang terengah-engah seperti napas
Panjangmu
saat gugur senyummu dan
Senyumku
di pangkuan istrimu
Mataku
redup melihat tubuhmu telah
Rimbun
oleh air mata dan ayat-ayat yasin
Kakek
Aku
rindu,namun kau menolak rinduku
Dengan
sorot matamu yang temaran di mataku.
Pangabasen, 2024
Maos jugan
- Dhara Campor Mardha, Puisi Madura: Arach Djamali
- Duwana Eppa'
- Cangka Asela
- Puisi-Puisi Jufri Zaituna
- Puisi Madura: Nyangkole Kerrong
SAPA
DAN RASA
Pagi
Kau
menyapaku di hadapan senyum bunga-bunga
“apakah
kebahagiaan yang ku rawat?”
“ya,aku
merawat bung aini agar terbit Kebahagiaan
itu
di bibirmu dan orang-orang yang menyapanya”
lalu
kita mabuk dalam dialog setangkai bunga
dan
senyumnya.
siang
Kau
menyapaku di balik punggung ibu yang mengolah
Harinya
untuk anak-anaknya
“apakah
ini sedihmu?” kau melempar seberkas
Penat
ibu padauk
“ya,sebab
aku belum bisa mengelap penat ibu
Di
punggungnya dan matanya”
Malam
Kau
menyapaku di antara gemertak hujan
“apa
yang kau lakukan?” dia menatapku dengan mata airnya
“aku
ingin menitip luka ini pada hujan
Sebab
aku ingin Kembali pada Tuhan
Dengan
senyumku bukan tangisku”
Tuturku
lalu luruh menjelma salah satu
Tetes
hujan di matamu.
Pangabasen,2024.
TELAGA
DARAH DI BAWAH KAKIMU
Kelopak
tanganmu terkelupas satu per Satu
Darahmu
mengalir jadi telaga Sejarah
Di
bawah kakimu
Kau
sudah asing dengan sakit
Angin
mengelus tombak di punggungmu
Teriakanmu
telah kabur
Tmatamu
menunduk menatap
Telaga
darah di bawah kakimu
Tubuhmu
hancur jadi larutan tanah
Darahmu
menghias bendera merah putih itu
Berkibar,berkobat
semangatmu
Seingin
lambaian bendera merah putih itu.
Gapura
17 agustus 2024
API
BERMATA BIRU
Saat
waktu masih dini hari
Angin
membangunkan bulu kudukku satu-persatu
Berjalan
menggores luka rumput
Menuju
arah yang asing
Kutatap
api bermata biru itu
Sebagai
ilusi bisu dari diksiku
Blue
Fire menghunus mataku
Mengalirkan
air mataku
Seiring
Langkah panjangnya
Menghidupkan
malam yang mati dalam puisi
Menghidupkan
diksiku yang
Mati
rasa oleh dingin rindu
Gapura
24 agustus 2024.
*Izzatul Hikmah, lahir di Sumenep,merupakan santri aktif di PP.Miftahul Huda sekarang masih duduk di bangku MTs AL-Huda II. Aktif menulis di Sanggar 7 Kejora Berdomisili di Desa Bandungan Gapura Tengah.beberapa puisinya masuk antologi kampung halaman(2023)Tanah Tenggara(2024)Lahirnya Sabda Nusantara(sip publishing 2023)Gurindudendam(FSMR 2024)ijen purba(JSAT 2024).Bisa komunikasi lewat Instagram @_fhai.za &email izzatulhikmah54@gmail.com