Malam merayap pelan di Kalisanat. Lampu-lampu dermaga
tua berkedip samar, seakan berusaha bertahan dari angin laut yang membawa aroma
asin dan sesuatu yang lebih pekat—bau logam dan limbah yang sulit dijelaskan.
Aku dan Rafi berdiri di ujung Pelabuhan Lama, menunggu petunjuk tentang
keberadaan Pak Sudarmo.
"Kau yakin dia masih di sini?" tanyaku,
mengawasi perahu-perahu kecil yang terombang-ambing.
Rafi mengangguk. "Temanku bilang dia sering
terlihat di sekitar sini, tapi selalu menghindari orang asing. Seperti sedang
bersembunyi."
Aku merapatkan jaket. Di kejauhan, sosok pria tua
dengan topi lusuh terlihat duduk di atas peti kayu, mengisap rokok dalam-dalam.
Aku melirik Rafi, memberi isyarat untuk mendekat.
"Pak Sudarmo?" suaraku nyaris tenggelam
dalam deru ombak.
Pria itu mendongak perlahan. Mata tajamnya menatap
kami lekat-lekat sebelum ia menghela napas panjang. "Siapa kalian?"
"Kami mahasiswa dari Kampus UK. Kami ingin tahu
tentang proyek reklamasi di Kalisanat. Tentang limbah yang dibuang ke
laut," kataku hati-hati.
Pak Sudarmo membuang puntung rokoknya, lalu bangkit.
"Aku tak tahu apa-apa. Pergilah. Ini bukan urusan kalian."
Aku menelan ludah. "Tapi, Pak... kami sudah punya
bukti. Kami tahu ada sesuatu yang terjadi di bawah sana. Nelayan mulai
kehilangan mata pencaharian mereka. Ikan-ikan beracun. Laut berubah. Jika ini
terus dibiarkan, Kalisanat akan hancur."
Maos jugan
Pak Sudarmo terdiam sejenak. Napasnya berat, seolah
ada beban yang telah lama ia pendam. Ia melirik ke sekeliling, lalu berbisik,
"Ikuti aku. Tapi jangan bicara apa pun."
Kami mengikuti langkahnya yang tergesa-gesa melewati
dermaga, menuju sebuah gudang tua di ujung pelabuhan. Pak Sudarmo membuka pintu
kayu yang mulai lapuk dan memberi isyarat agar kami masuk. Di dalam, ruangan
itu dipenuhi tong-tong besi berkarat dan tumpukan dokumen usang.
"Aku pernah bekerja di proyek itu," katanya
dengan suara parau. "Awalnya, aku hanya buruh biasa. Tapi suatu malam, aku
melihat kapal besar datang, membawa drum-drum besar. Mereka membuangnya ke
laut. Saat aku bertanya, mereka bilang itu hanya limbah biasa. Tapi aku tak
bodoh. Aku tahu bau kimia. Aku tahu itu beracun."
Aku dan Rafi saling pandang. "Siapa yang menyuruh
mereka?" tanyaku.
Pak Sudarmo menggeleng. "Aku tak tahu siapa
dalangnya, tapi ada nama yang selalu disebut di antara para pekerja: PT.
Samudra Indah. Mereka pemilik proyek, tapi ada sesuatu yang lebih besar di
baliknya. Aku mencoba bicara, tapi keesokan harinya aku dipecat. Temanku yang
mencoba membocorkan informasi, menghilang."
Jantungku berdegup kencang. "Pak, kami butuh
bukti konkret. Dokumen, foto, rekaman—apa pun yang bisa membuktikan ini."
Pak Sudarmo termenung. Lalu, ia merogoh sakunya dan
mengeluarkan sebuah USB kecil. "Di dalam sini ada rekaman yang kubuat
malam itu. Simpan baik-baik. Tapi hati-hati. Jika kalian bisa menemukanku,
mereka juga bisa."
Sebelum sempat aku bertanya lebih jauh, suara derap
kaki terdengar dari luar. Seseorang sedang mendekat. Pak Sudarmo mendorong kami
ke sudut gelap ruangan. "Pergi sekarang! Keluar lewat pintu belakang.
Jangan biarkan mereka menangkap kalian."
Tanpa pikir panjang, aku dan Rafi berlari keluar,
menyusuri gang sempit di belakang gudang. Dari kejauhan, aku bisa melihat sosok
berbaju hitam memasuki gudang, diikuti suara bentakan keras. Pak Sudarmo kini
dalam bahaya.
Kami harus bertindak cepat. Dan ini baru permulaan.
Kami berlari tanpa menoleh ke belakang hingga mencapai
sebuah gang kecil yang temaram. Nafasku memburu, sedangkan Rafi menekan USB di
genggamannya dengan erat. "Kita harus segera melihat isinya," katanya
dengan suara tertahan.
Aku mengangguk. "Di asrama terlalu berisiko. Kita
butuh tempat aman."
"Warnet," jawab Rafi cepat. "Ada satu
di dekat pasar. Mereka pakai sistem bayar tunai dan nggak simpan data
pelanggan."
Kami menyelinap di antara deretan rumah tua dan
kios-kios kosong. Jalanan mulai lengang, tapi bayang-bayang di belakang kami
masih terasa. Setelah sepuluh menit berjalan cepat, kami tiba di warnet yang
dimaksud Rafi. Sebuah ruangan sempit dengan lampu remang-remang dan komputer
tua yang berdengung pelan.
Rafi memasukkan USB ke dalam komputer. File pertama
yang terbuka adalah video rekaman dari dermaga. Dalam cahaya redup, tampak
sebuah kapal besar dengan logo samar PT. Samudra Indah. Sejumlah pria berbaju
hitam membawa drum-drum besar ke tepi kapal, kemudian dengan cepat mendorongnya
ke laut. Warna cairan yang mengalir keluar dari drum itu hitam pekat, dan dalam
beberapa detik, air di sekitarnya berubah warna.
"Astaga..." aku berbisik ngeri.
Rekaman berlanjut. Kamera bergoyang, seakan orang yang
merekamnya bergerak tergesa-gesa. Lalu, suara bentakan terdengar, diikuti oleh
langkah-langkah tergesa. Tiba-tiba, layar menjadi gelap.
"Mereka menangkap perekamnya," gumam Rafi.
Aku meremas ujung meja. "Kita harus mengunggah
ini. Publikasikan sebelum mereka bisa menghentikan kita."
Tapi sebelum Rafi bisa mengunggah video itu, suara
keras terdengar di luar. Pintu warnet didorong dengan kasar, dan dua pria
bertubuh kekar masuk. Mata mereka menyisir ruangan sebelum berhenti pada kami.
"Itu mereka," bisik Rafi, wajahnya pucat.
Tanpa pikir panjang, aku menarik USB dari komputer dan
menggenggamnya erat. "Lari!" teriakku.
Kami berlari ke pintu belakang warnet, menerobos ke
lorong-lorong sempit di belakang gedung-gedung tua. Langkah kaki mengejar kami
semakin dekat. Aku bisa mendengar suara napas mereka, semakin mendekat.
Aku melihat sebuah pagar tua di ujung gang. Tanpa
berpikir panjang, aku dan Rafi memanjatnya, lalu melompat ke tanah di
seberangnya. Kami berlari lagi, menyusuri jalan yang lebih gelap, hingga
akhirnya mencapai pasar ikan yang sudah sepi.
"Kita nggak bisa kembali ke asrama," kataku
sambil terengah-engah. "Mereka pasti sudah tahu keberadaan kita."
Rafi menggigit bibirnya. "Kita butuh tempat
persembunyian. Sementara ini, aku tahu satu tempat."
Ia menunjuk ke arah perahu kecil yang tertambat di
tepi sungai. "Pak Hasan punya pondok di seberang sungai. Kita bisa
berlindung di sana."
Aku menatap perahu itu, lalu ke arah bayangan yang semakin mendekat di kejauhan. Tidak ada pilihan lain. Kami harus terus bergerak, sebelum bayangan-bayangan itu menangkap kami.
Cerita Sebelumnya: