4. BAYANGAN DI PELABUHAN LAMA

cerita rakyat madura



Malam merayap pelan di Kalisanat. Lampu-lampu dermaga tua berkedip samar, seakan berusaha bertahan dari angin laut yang membawa aroma asin dan sesuatu yang lebih pekat—bau logam dan limbah yang sulit dijelaskan. Aku dan Rafi berdiri di ujung Pelabuhan Lama, menunggu petunjuk tentang keberadaan Pak Sudarmo.

"Kau yakin dia masih di sini?" tanyaku, mengawasi perahu-perahu kecil yang terombang-ambing.

Rafi mengangguk. "Temanku bilang dia sering terlihat di sekitar sini, tapi selalu menghindari orang asing. Seperti sedang bersembunyi."

Aku merapatkan jaket. Di kejauhan, sosok pria tua dengan topi lusuh terlihat duduk di atas peti kayu, mengisap rokok dalam-dalam. Aku melirik Rafi, memberi isyarat untuk mendekat.

"Pak Sudarmo?" suaraku nyaris tenggelam dalam deru ombak.

Pria itu mendongak perlahan. Mata tajamnya menatap kami lekat-lekat sebelum ia menghela napas panjang. "Siapa kalian?"

"Kami mahasiswa dari Kampus UK. Kami ingin tahu tentang proyek reklamasi di Kalisanat. Tentang limbah yang dibuang ke laut," kataku hati-hati.

Pak Sudarmo membuang puntung rokoknya, lalu bangkit. "Aku tak tahu apa-apa. Pergilah. Ini bukan urusan kalian."

Aku menelan ludah. "Tapi, Pak... kami sudah punya bukti. Kami tahu ada sesuatu yang terjadi di bawah sana. Nelayan mulai kehilangan mata pencaharian mereka. Ikan-ikan beracun. Laut berubah. Jika ini terus dibiarkan, Kalisanat akan hancur."

Maos jugan

Pak Sudarmo terdiam sejenak. Napasnya berat, seolah ada beban yang telah lama ia pendam. Ia melirik ke sekeliling, lalu berbisik, "Ikuti aku. Tapi jangan bicara apa pun."

Kami mengikuti langkahnya yang tergesa-gesa melewati dermaga, menuju sebuah gudang tua di ujung pelabuhan. Pak Sudarmo membuka pintu kayu yang mulai lapuk dan memberi isyarat agar kami masuk. Di dalam, ruangan itu dipenuhi tong-tong besi berkarat dan tumpukan dokumen usang.

"Aku pernah bekerja di proyek itu," katanya dengan suara parau. "Awalnya, aku hanya buruh biasa. Tapi suatu malam, aku melihat kapal besar datang, membawa drum-drum besar. Mereka membuangnya ke laut. Saat aku bertanya, mereka bilang itu hanya limbah biasa. Tapi aku tak bodoh. Aku tahu bau kimia. Aku tahu itu beracun."

Aku dan Rafi saling pandang. "Siapa yang menyuruh mereka?" tanyaku.

Pak Sudarmo menggeleng. "Aku tak tahu siapa dalangnya, tapi ada nama yang selalu disebut di antara para pekerja: PT. Samudra Indah. Mereka pemilik proyek, tapi ada sesuatu yang lebih besar di baliknya. Aku mencoba bicara, tapi keesokan harinya aku dipecat. Temanku yang mencoba membocorkan informasi, menghilang."

Jantungku berdegup kencang. "Pak, kami butuh bukti konkret. Dokumen, foto, rekaman—apa pun yang bisa membuktikan ini."

Pak Sudarmo termenung. Lalu, ia merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah USB kecil. "Di dalam sini ada rekaman yang kubuat malam itu. Simpan baik-baik. Tapi hati-hati. Jika kalian bisa menemukanku, mereka juga bisa."

Sebelum sempat aku bertanya lebih jauh, suara derap kaki terdengar dari luar. Seseorang sedang mendekat. Pak Sudarmo mendorong kami ke sudut gelap ruangan. "Pergi sekarang! Keluar lewat pintu belakang. Jangan biarkan mereka menangkap kalian."

Tanpa pikir panjang, aku dan Rafi berlari keluar, menyusuri gang sempit di belakang gudang. Dari kejauhan, aku bisa melihat sosok berbaju hitam memasuki gudang, diikuti suara bentakan keras. Pak Sudarmo kini dalam bahaya.

Kami harus bertindak cepat. Dan ini baru permulaan.

Kami berlari tanpa menoleh ke belakang hingga mencapai sebuah gang kecil yang temaram. Nafasku memburu, sedangkan Rafi menekan USB di genggamannya dengan erat. "Kita harus segera melihat isinya," katanya dengan suara tertahan.

Aku mengangguk. "Di asrama terlalu berisiko. Kita butuh tempat aman."

"Warnet," jawab Rafi cepat. "Ada satu di dekat pasar. Mereka pakai sistem bayar tunai dan nggak simpan data pelanggan."

Kami menyelinap di antara deretan rumah tua dan kios-kios kosong. Jalanan mulai lengang, tapi bayang-bayang di belakang kami masih terasa. Setelah sepuluh menit berjalan cepat, kami tiba di warnet yang dimaksud Rafi. Sebuah ruangan sempit dengan lampu remang-remang dan komputer tua yang berdengung pelan.

Rafi memasukkan USB ke dalam komputer. File pertama yang terbuka adalah video rekaman dari dermaga. Dalam cahaya redup, tampak sebuah kapal besar dengan logo samar PT. Samudra Indah. Sejumlah pria berbaju hitam membawa drum-drum besar ke tepi kapal, kemudian dengan cepat mendorongnya ke laut. Warna cairan yang mengalir keluar dari drum itu hitam pekat, dan dalam beberapa detik, air di sekitarnya berubah warna.

"Astaga..." aku berbisik ngeri.

Rekaman berlanjut. Kamera bergoyang, seakan orang yang merekamnya bergerak tergesa-gesa. Lalu, suara bentakan terdengar, diikuti oleh langkah-langkah tergesa. Tiba-tiba, layar menjadi gelap.

"Mereka menangkap perekamnya," gumam Rafi.

Aku meremas ujung meja. "Kita harus mengunggah ini. Publikasikan sebelum mereka bisa menghentikan kita."

Tapi sebelum Rafi bisa mengunggah video itu, suara keras terdengar di luar. Pintu warnet didorong dengan kasar, dan dua pria bertubuh kekar masuk. Mata mereka menyisir ruangan sebelum berhenti pada kami.

"Itu mereka," bisik Rafi, wajahnya pucat.

Tanpa pikir panjang, aku menarik USB dari komputer dan menggenggamnya erat. "Lari!" teriakku.

Kami berlari ke pintu belakang warnet, menerobos ke lorong-lorong sempit di belakang gedung-gedung tua. Langkah kaki mengejar kami semakin dekat. Aku bisa mendengar suara napas mereka, semakin mendekat.

Aku melihat sebuah pagar tua di ujung gang. Tanpa berpikir panjang, aku dan Rafi memanjatnya, lalu melompat ke tanah di seberangnya. Kami berlari lagi, menyusuri jalan yang lebih gelap, hingga akhirnya mencapai pasar ikan yang sudah sepi.

"Kita nggak bisa kembali ke asrama," kataku sambil terengah-engah. "Mereka pasti sudah tahu keberadaan kita."

Rafi menggigit bibirnya. "Kita butuh tempat persembunyian. Sementara ini, aku tahu satu tempat."

Ia menunjuk ke arah perahu kecil yang tertambat di tepi sungai. "Pak Hasan punya pondok di seberang sungai. Kita bisa berlindung di sana."

Aku menatap perahu itu, lalu ke arah bayangan yang semakin mendekat di kejauhan. Tidak ada pilihan lain. Kami harus terus bergerak, sebelum bayangan-bayangan itu menangkap kami.

Cerita Sebelumnya:

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak