Aku dan Rafi melompat ke perahu kecil itu tanpa ragu.
Tali pengikatnya masih terpasang erat di tiang kayu, tetapi tangan Rafi cekatan
melepaskannya. Dengan cepat, ia meraih dayung dan mulai mengayuh ke arah sungai
yang gelap. Air beriak pelan di bawah cahaya rembulan, menciptakan bayangan
yang bergerak liar di permukaan.
"Cepat, sebelum mereka melihat kita!"
bisikku, melirik ke arah gang tempat kami tadi berlari.
Di kejauhan, dua pria bertubuh kekar yang mengejar
kami berdiri di tepian sungai, menoleh ke segala arah. Salah satu dari mereka
mengangkat tangan, menunjuk ke perahu kami yang mulai menjauh. Aku merunduk,
berharap bayangan gelap malam menyamarkan kami.
"Mereka melihat kita," desis Rafi. Ia
mengayuh lebih cepat, kedua lengannya menegang saat mendorong dayung menembus
permukaan air.
Arus sungai tidak terlalu deras, tetapi cukup membantu
mempercepat laju perahu. Angin malam membawa aroma lumpur dan dedaunan basah,
menciptakan suasana yang lebih menegangkan. Suara jangkrik bercampur dengan
detak jantungku yang semakin cepat. Aku menoleh ke belakang—para pengejar kami
bergegas menaiki perahu motor. Mesin perahu mereka menggeram, menciptakan
gelombang kecil yang menyebar di permukaan sungai.
POLA KASOKAN MAOS JUGAN
"Pondok Pak Hasan ada di seberang sana,"
kata Rafi, menunjuk ke sebuah titik gelap di kejauhan. "Kalau kita bisa
sampai ke sana, kita aman untuk sementara."
Aku mengangguk, mataku tetap waspada mengamati
pergerakan di tepian sungai. Pria yang tadi menelepon kini berbicara dengan
seseorang di perahu motor. Lampu senter menyala, menyisir permukaan air,
mencari keberadaan kami.
"Kita harus keluar dari sungai sebelum mereka
menghadang," bisikku.
Rafi mengangguk dan mulai mengarahkan perahu ke sisi
sungai yang lebih terlindung oleh pepohonan. Air semakin dangkal di bagian ini,
dan perahu mulai melambat. Aku bisa mendengar suara desing mesin dari
kejauhan—mereka semakin dekat.
Begitu perahu mencapai tepi, aku langsung melompat
keluar dan membantu menariknya ke darat. Lumpur dingin menyelimuti kakiku,
membuatku hampir terpeleset. Rafi menyusul, dan tanpa buang waktu, kami berlari
masuk ke dalam hutan kecil di tepi sungai.
Bayangan pepohonan tinggi membuat jalan setapak di
depan kami tampak semakin gelap. Napas kami memburu, tetapi kami tak bisa
berhenti. Dari kejauhan, samar-samar terdengar suara perahu lain mendekat.
Mereka tidak menyerah begitu saja.
"Sebentar lagi kita sampai," kata Rafi
dengan suara tertahan.
Aku mengangguk, meskipun kakiku mulai terasa lelah.
Suara ranting patah di belakang membuatku menoleh—sesuatu bergerak di antara
pepohonan. Apakah mereka sudah menemukan kami? Satu-satunya hal yang ada di
pikiranku saat ini adalah satu hal: bertahan hidup dan mengungkap kebenaran.
Kami terus berlari, melewati akar-akar pohon yang
menjulang keluar dari tanah. Cahaya bulan hampir tidak mampu menembus rimbunnya
dedaunan di atas kepala kami. Nafasku semakin berat, tetapi rasa takut
membuatku tetap bergerak.
Tiba-tiba, Rafi menarik tanganku.
"Berhenti!"
Aku tersentak, mencoba mengatur napas. Rafi menunjuk
ke depan—sebuah jurang kecil membentang di hadapan kami. Di bawahnya, air
sungai mengalir deras, berbuih putih saat menghantam bebatuan.
"Kita tidak bisa kembali," bisikku,
mendengar suara langkah kaki mendekat dari arah belakang.
Rafi mengamati sekeliling. Di sisi kiri, ada batang
pohon yang tumbang, menciptakan jembatan alami ke seberang jurang. Tanpa pikir
panjang, aku mengikuti Rafi, berjalan dengan hati-hati di atas batang kayu yang
licin oleh embun.
Saat hampir sampai di ujung, sebuah suara keras
meledak di belakang kami—suara tembakan. Aku tersentak dan hampir kehilangan
keseimbangan. Rafi menoleh dengan wajah tegang.
"Cepat!" teriaknya.
Kami melompat ke tanah di sisi seberang dan berlari
lagi, kali ini menuju pondok Pak Hasan yang sudah terlihat di kejauhan. Cahaya
redup tampak dari dalam, menandakan seseorang ada di sana.
Dengan napas terengah, kami tiba di depan pintu kayu
yang sudah lapuk. Aku mengetuknya dengan keras. "Pak Hasan, buka pintunya!
Ini aku, Fajar!"
Tidak ada jawaban. Aku melirik ke belakang—bayangan
gelap dari para pengejar sudah mulai terlihat di antara pepohonan. Aku menelan
ludah, lalu mencoba membuka pintu sendiri. Tidak terkunci.
Kami masuk dan segera menutup pintu di belakang kami.
Di dalam, aroma asap kayu menyambut kami, dan di sudut ruangan, Pak Hasan duduk
dengan wajah terkejut.
"Apa yang kalian lakukan di sini?" tanyanya
dengan suara rendah.
Aku mengambil napas dalam-dalam, mencoba menjelaskan
semuanya secepat mungkin. "Kami dikejar, Pak. Mereka tahu kita sudah tahu
terlalu banyak."
Pak Hasan menghela napas panjang, lalu berdiri dan
berjalan ke arah jendela kecil, mengintip ke luar. "Kalian datang di saat
yang tepat," katanya. "Aku punya sesuatu untuk kalian. Bukti yang
bisa membuka semua kebusukan ini."
Aku dan Rafi saling pandang. Apakah ini titik balik
dari semua yang telah kami lalui?
Pak Hasan membuka sebuah laci tua dan mengeluarkan
sebuah flash drive kecil. "Ini semua data tentang proyek reklamasi itu.
Nama-nama orang di baliknya, bukti transaksi, dan laporan dampak lingkungan
yang mereka sembunyikan. Aku sudah lama ingin menyerahkannya pada orang yang
tepat, tapi aku selalu diawasi."
Aku meraih flash drive itu dengan tangan gemetar. Ini
lebih dari yang kami harapkan. Namun, sebelum aku bisa mengucapkan terima
kasih, suara benturan keras terdengar dari luar—seseorang mencoba mendobrak
pintu.
"Mereka datang," bisik Rafi.
Pak Hasan meraih sebuah pisau tajam dari meja, lalu
menatap kami. "Kalian harus pergi dari sini sekarang juga. Bawa bukti ini
ke orang yang bisa dipercaya. Aku akan menahan mereka."
Aku ingin membantah, tapi suara kayu retak di belakang
kami membuatku sadar bahwa kami tidak punya pilihan lain. Dengan cepat, Rafi
membuka pintu belakang pondok, dan kami berlari lagi, kali ini membawa sesuatu
yang bisa mengubah segalanya.
Malam di Kalisanat belum selesai—bahkan, ini baru
permulaan.
Aku dan Rafi melompat ke perahu kecil itu tanpa ragu.
Tali pengikatnya masih terpasang erat di tiang kayu, tetapi tangan Rafi cekatan
melepaskannya. Dengan cepat, ia meraih dayung dan mulai mengayuh ke arah sungai
yang gelap. Air beriak pelan di bawah cahaya rembulan, menciptakan bayangan
yang bergerak liar di permukaan.
"Cepat, sebelum mereka melihat kita!"
bisikku, melirik ke arah gang tempat kami tadi berlari.
Di kejauhan, dua pria bertubuh kekar yang mengejar
kami berdiri di tepian sungai, menoleh ke segala arah. Salah satu dari mereka
mengangkat tangan, menunjuk ke perahu kami yang mulai menjauh. Aku merunduk,
berharap bayangan gelap malam menyamarkan kami.
"Mereka melihat kita," desis Rafi. Ia
mengayuh lebih cepat, kedua lengannya menegang saat mendorong dayung menembus
permukaan air.
Arus sungai tidak terlalu deras, tetapi cukup membantu
mempercepat laju perahu. Angin malam membawa aroma lumpur dan dedaunan basah,
menciptakan suasana yang lebih menegangkan. Suara jangkrik bercampur dengan
detak jantungku yang semakin cepat. Aku menoleh ke belakang—para pengejar kami
bergegas menaiki perahu motor. Mesin perahu mereka menggeram, menciptakan
gelombang kecil yang menyebar di permukaan sungai.
"Pondok Pak Hasan ada di seberang sana,"
kata Rafi, menunjuk ke sebuah titik gelap di kejauhan. "Kalau kita bisa
sampai ke sana, kita aman untuk sementara."
Aku mengangguk, mataku tetap waspada mengamati
pergerakan di tepian sungai. Pria yang tadi menelepon kini berbicara dengan
seseorang di perahu motor. Lampu senter menyala, menyisir permukaan air,
mencari keberadaan kami.
"Kita harus keluar dari sungai sebelum mereka
menghadang," bisikku.
Rafi mengangguk dan mulai mengarahkan perahu ke sisi
sungai yang lebih terlindung oleh pepohonan. Air semakin dangkal di bagian ini,
dan perahu mulai melambat. Aku bisa mendengar suara desing mesin dari
kejauhan—mereka semakin dekat.
Begitu perahu mencapai tepi, aku langsung melompat
keluar dan membantu menariknya ke darat. Lumpur dingin menyelimuti kakiku,
membuatku hampir terpeleset. Rafi menyusul, dan tanpa buang waktu, kami berlari
masuk ke dalam hutan kecil di tepi sungai.
Bayangan pepohonan tinggi membuat jalan setapak di
depan kami tampak semakin gelap. Napas kami memburu, tetapi kami tak bisa
berhenti. Dari kejauhan, samar-samar terdengar suara perahu lain mendekat.
Mereka tidak menyerah begitu saja.
"Sebentar lagi kita sampai," kata Rafi
dengan suara tertahan.
Aku mengangguk, meskipun kakiku mulai terasa lelah.
Suara ranting patah di belakang membuatku menoleh—sesuatu bergerak di antara
pepohonan. Apakah mereka sudah menemukan kami? Satu-satunya hal yang ada di
pikiranku saat ini adalah satu hal: bertahan hidup dan mengungkap kebenaran.
Kami terus berlari, melewati akar-akar pohon yang
menjulang keluar dari tanah. Cahaya bulan hampir tidak mampu menembus rimbunnya
dedaunan di atas kepala kami. Nafasku semakin berat, tetapi rasa takut
membuatku tetap bergerak.
Tiba-tiba, Rafi menarik tanganku.
"Berhenti!"
Aku tersentak, mencoba mengatur napas. Rafi menunjuk
ke depan—sebuah jurang kecil membentang di hadapan kami. Di bawahnya, air
sungai mengalir deras, berbuih putih saat menghantam bebatuan.
"Kita tidak bisa kembali," bisikku,
mendengar suara langkah kaki mendekat dari arah belakang.
Rafi mengamati sekeliling. Di sisi kiri, ada batang
pohon yang tumbang, menciptakan jembatan alami ke seberang jurang. Tanpa pikir
panjang, aku mengikuti Rafi, berjalan dengan hati-hati di atas batang kayu yang
licin oleh embun.
POLA KASOKAN MAOS JUGAN
Saat hampir sampai di ujung, sebuah suara keras
meledak di belakang kami—suara tembakan. Aku tersentak dan hampir kehilangan
keseimbangan. Rafi menoleh dengan wajah tegang.
"Cepat!" teriaknya.
Kami melompat ke tanah di sisi seberang dan berlari
lagi, kali ini menuju pondok Pak Hasan yang sudah terlihat di kejauhan. Cahaya
redup tampak dari dalam, menandakan seseorang ada di sana.
Dengan napas terengah, kami tiba di depan pintu kayu
yang sudah lapuk. Aku mengetuknya dengan keras. "Pak Hasan, buka pintunya!
Ini aku, Fajar!"
Tidak ada jawaban. Aku melirik ke belakang—bayangan
gelap dari para pengejar sudah mulai terlihat di antara pepohonan. Aku menelan
ludah, lalu mencoba membuka pintu sendiri. Tidak terkunci.
Kami masuk dan segera menutup pintu di belakang kami.
Di dalam, aroma asap kayu menyambut kami, dan di sudut ruangan, Pak Hasan duduk
dengan wajah terkejut.
"Apa yang kalian lakukan di sini?" tanyanya
dengan suara rendah.
Aku mengambil napas dalam-dalam, mencoba menjelaskan
semuanya secepat mungkin. "Kami dikejar, Pak. Mereka tahu kita sudah tahu
terlalu banyak."
Pak Hasan menghela napas panjang, lalu berdiri dan
berjalan ke arah jendela kecil, mengintip ke luar. "Kalian datang di saat
yang tepat," katanya. "Aku punya sesuatu untuk kalian. Bukti yang
bisa membuka semua kebusukan ini."
Aku dan Rafi saling pandang. Apakah ini titik balik
dari semua yang telah kami lalui?
Pak Hasan membuka sebuah laci tua dan mengeluarkan
sebuah flash drive kecil. "Ini semua data tentang proyek reklamasi itu.
Nama-nama orang di baliknya, bukti transaksi, dan laporan dampak lingkungan
yang mereka sembunyikan. Aku sudah lama ingin menyerahkannya pada orang yang
tepat, tapi aku selalu diawasi."
Aku meraih flash drive itu dengan tangan gemetar. Ini
lebih dari yang kami harapkan. Namun, sebelum aku bisa mengucapkan terima
kasih, suara benturan keras terdengar dari luar—seseorang mencoba mendobrak
pintu.
"Mereka datang," bisik Rafi.
Pak Hasan meraih sebuah pisau tajam dari meja, lalu
menatap kami. "Kalian harus pergi dari sini sekarang juga. Bawa bukti ini
ke orang yang bisa dipercaya. Aku akan menahan mereka."
Aku ingin membantah, tapi suara kayu retak di belakang
kami membuatku sadar bahwa kami tidak punya pilihan lain. Dengan cepat, Rafi
membuka pintu belakang pondok, dan kami berlari lagi, kali ini membawa sesuatu
yang bisa mengubah segalanya.
Malam di Kalisanat belum selesai—bahkan, ini baru permulaan.