5. PELARIAN DI SUNGAI



Aku dan Rafi melompat ke perahu kecil itu tanpa ragu. Tali pengikatnya masih terpasang erat di tiang kayu, tetapi tangan Rafi cekatan melepaskannya. Dengan cepat, ia meraih dayung dan mulai mengayuh ke arah sungai yang gelap. Air beriak pelan di bawah cahaya rembulan, menciptakan bayangan yang bergerak liar di permukaan.

"Cepat, sebelum mereka melihat kita!" bisikku, melirik ke arah gang tempat kami tadi berlari.

Di kejauhan, dua pria bertubuh kekar yang mengejar kami berdiri di tepian sungai, menoleh ke segala arah. Salah satu dari mereka mengangkat tangan, menunjuk ke perahu kami yang mulai menjauh. Aku merunduk, berharap bayangan gelap malam menyamarkan kami.

"Mereka melihat kita," desis Rafi. Ia mengayuh lebih cepat, kedua lengannya menegang saat mendorong dayung menembus permukaan air.

Arus sungai tidak terlalu deras, tetapi cukup membantu mempercepat laju perahu. Angin malam membawa aroma lumpur dan dedaunan basah, menciptakan suasana yang lebih menegangkan. Suara jangkrik bercampur dengan detak jantungku yang semakin cepat. Aku menoleh ke belakang—para pengejar kami bergegas menaiki perahu motor. Mesin perahu mereka menggeram, menciptakan gelombang kecil yang menyebar di permukaan sungai.

POLA KASOKAN MAOS JUGAN

"Pondok Pak Hasan ada di seberang sana," kata Rafi, menunjuk ke sebuah titik gelap di kejauhan. "Kalau kita bisa sampai ke sana, kita aman untuk sementara."

Aku mengangguk, mataku tetap waspada mengamati pergerakan di tepian sungai. Pria yang tadi menelepon kini berbicara dengan seseorang di perahu motor. Lampu senter menyala, menyisir permukaan air, mencari keberadaan kami.

"Kita harus keluar dari sungai sebelum mereka menghadang," bisikku.

Rafi mengangguk dan mulai mengarahkan perahu ke sisi sungai yang lebih terlindung oleh pepohonan. Air semakin dangkal di bagian ini, dan perahu mulai melambat. Aku bisa mendengar suara desing mesin dari kejauhan—mereka semakin dekat.

Begitu perahu mencapai tepi, aku langsung melompat keluar dan membantu menariknya ke darat. Lumpur dingin menyelimuti kakiku, membuatku hampir terpeleset. Rafi menyusul, dan tanpa buang waktu, kami berlari masuk ke dalam hutan kecil di tepi sungai.

Bayangan pepohonan tinggi membuat jalan setapak di depan kami tampak semakin gelap. Napas kami memburu, tetapi kami tak bisa berhenti. Dari kejauhan, samar-samar terdengar suara perahu lain mendekat. Mereka tidak menyerah begitu saja.

"Sebentar lagi kita sampai," kata Rafi dengan suara tertahan.

Aku mengangguk, meskipun kakiku mulai terasa lelah. Suara ranting patah di belakang membuatku menoleh—sesuatu bergerak di antara pepohonan. Apakah mereka sudah menemukan kami? Satu-satunya hal yang ada di pikiranku saat ini adalah satu hal: bertahan hidup dan mengungkap kebenaran.

Kami terus berlari, melewati akar-akar pohon yang menjulang keluar dari tanah. Cahaya bulan hampir tidak mampu menembus rimbunnya dedaunan di atas kepala kami. Nafasku semakin berat, tetapi rasa takut membuatku tetap bergerak.

Tiba-tiba, Rafi menarik tanganku. "Berhenti!"

Aku tersentak, mencoba mengatur napas. Rafi menunjuk ke depan—sebuah jurang kecil membentang di hadapan kami. Di bawahnya, air sungai mengalir deras, berbuih putih saat menghantam bebatuan.

"Kita tidak bisa kembali," bisikku, mendengar suara langkah kaki mendekat dari arah belakang.

Rafi mengamati sekeliling. Di sisi kiri, ada batang pohon yang tumbang, menciptakan jembatan alami ke seberang jurang. Tanpa pikir panjang, aku mengikuti Rafi, berjalan dengan hati-hati di atas batang kayu yang licin oleh embun.

Saat hampir sampai di ujung, sebuah suara keras meledak di belakang kami—suara tembakan. Aku tersentak dan hampir kehilangan keseimbangan. Rafi menoleh dengan wajah tegang.

"Cepat!" teriaknya.

Kami melompat ke tanah di sisi seberang dan berlari lagi, kali ini menuju pondok Pak Hasan yang sudah terlihat di kejauhan. Cahaya redup tampak dari dalam, menandakan seseorang ada di sana.

Dengan napas terengah, kami tiba di depan pintu kayu yang sudah lapuk. Aku mengetuknya dengan keras. "Pak Hasan, buka pintunya! Ini aku, Fajar!"

Tidak ada jawaban. Aku melirik ke belakang—bayangan gelap dari para pengejar sudah mulai terlihat di antara pepohonan. Aku menelan ludah, lalu mencoba membuka pintu sendiri. Tidak terkunci.

Kami masuk dan segera menutup pintu di belakang kami. Di dalam, aroma asap kayu menyambut kami, dan di sudut ruangan, Pak Hasan duduk dengan wajah terkejut.

"Apa yang kalian lakukan di sini?" tanyanya dengan suara rendah.

Aku mengambil napas dalam-dalam, mencoba menjelaskan semuanya secepat mungkin. "Kami dikejar, Pak. Mereka tahu kita sudah tahu terlalu banyak."

Pak Hasan menghela napas panjang, lalu berdiri dan berjalan ke arah jendela kecil, mengintip ke luar. "Kalian datang di saat yang tepat," katanya. "Aku punya sesuatu untuk kalian. Bukti yang bisa membuka semua kebusukan ini."

Aku dan Rafi saling pandang. Apakah ini titik balik dari semua yang telah kami lalui?

Pak Hasan membuka sebuah laci tua dan mengeluarkan sebuah flash drive kecil. "Ini semua data tentang proyek reklamasi itu. Nama-nama orang di baliknya, bukti transaksi, dan laporan dampak lingkungan yang mereka sembunyikan. Aku sudah lama ingin menyerahkannya pada orang yang tepat, tapi aku selalu diawasi."

Aku meraih flash drive itu dengan tangan gemetar. Ini lebih dari yang kami harapkan. Namun, sebelum aku bisa mengucapkan terima kasih, suara benturan keras terdengar dari luar—seseorang mencoba mendobrak pintu.

"Mereka datang," bisik Rafi.

Pak Hasan meraih sebuah pisau tajam dari meja, lalu menatap kami. "Kalian harus pergi dari sini sekarang juga. Bawa bukti ini ke orang yang bisa dipercaya. Aku akan menahan mereka."

Aku ingin membantah, tapi suara kayu retak di belakang kami membuatku sadar bahwa kami tidak punya pilihan lain. Dengan cepat, Rafi membuka pintu belakang pondok, dan kami berlari lagi, kali ini membawa sesuatu yang bisa mengubah segalanya.

Malam di Kalisanat belum selesai—bahkan, ini baru permulaan.

 

Aku dan Rafi melompat ke perahu kecil itu tanpa ragu. Tali pengikatnya masih terpasang erat di tiang kayu, tetapi tangan Rafi cekatan melepaskannya. Dengan cepat, ia meraih dayung dan mulai mengayuh ke arah sungai yang gelap. Air beriak pelan di bawah cahaya rembulan, menciptakan bayangan yang bergerak liar di permukaan.

"Cepat, sebelum mereka melihat kita!" bisikku, melirik ke arah gang tempat kami tadi berlari.

Di kejauhan, dua pria bertubuh kekar yang mengejar kami berdiri di tepian sungai, menoleh ke segala arah. Salah satu dari mereka mengangkat tangan, menunjuk ke perahu kami yang mulai menjauh. Aku merunduk, berharap bayangan gelap malam menyamarkan kami.

"Mereka melihat kita," desis Rafi. Ia mengayuh lebih cepat, kedua lengannya menegang saat mendorong dayung menembus permukaan air.

Arus sungai tidak terlalu deras, tetapi cukup membantu mempercepat laju perahu. Angin malam membawa aroma lumpur dan dedaunan basah, menciptakan suasana yang lebih menegangkan. Suara jangkrik bercampur dengan detak jantungku yang semakin cepat. Aku menoleh ke belakang—para pengejar kami bergegas menaiki perahu motor. Mesin perahu mereka menggeram, menciptakan gelombang kecil yang menyebar di permukaan sungai.

"Pondok Pak Hasan ada di seberang sana," kata Rafi, menunjuk ke sebuah titik gelap di kejauhan. "Kalau kita bisa sampai ke sana, kita aman untuk sementara."

Aku mengangguk, mataku tetap waspada mengamati pergerakan di tepian sungai. Pria yang tadi menelepon kini berbicara dengan seseorang di perahu motor. Lampu senter menyala, menyisir permukaan air, mencari keberadaan kami.

"Kita harus keluar dari sungai sebelum mereka menghadang," bisikku.

Rafi mengangguk dan mulai mengarahkan perahu ke sisi sungai yang lebih terlindung oleh pepohonan. Air semakin dangkal di bagian ini, dan perahu mulai melambat. Aku bisa mendengar suara desing mesin dari kejauhan—mereka semakin dekat.

Begitu perahu mencapai tepi, aku langsung melompat keluar dan membantu menariknya ke darat. Lumpur dingin menyelimuti kakiku, membuatku hampir terpeleset. Rafi menyusul, dan tanpa buang waktu, kami berlari masuk ke dalam hutan kecil di tepi sungai.

Bayangan pepohonan tinggi membuat jalan setapak di depan kami tampak semakin gelap. Napas kami memburu, tetapi kami tak bisa berhenti. Dari kejauhan, samar-samar terdengar suara perahu lain mendekat. Mereka tidak menyerah begitu saja.

"Sebentar lagi kita sampai," kata Rafi dengan suara tertahan.

Aku mengangguk, meskipun kakiku mulai terasa lelah. Suara ranting patah di belakang membuatku menoleh—sesuatu bergerak di antara pepohonan. Apakah mereka sudah menemukan kami? Satu-satunya hal yang ada di pikiranku saat ini adalah satu hal: bertahan hidup dan mengungkap kebenaran.

Kami terus berlari, melewati akar-akar pohon yang menjulang keluar dari tanah. Cahaya bulan hampir tidak mampu menembus rimbunnya dedaunan di atas kepala kami. Nafasku semakin berat, tetapi rasa takut membuatku tetap bergerak.

Tiba-tiba, Rafi menarik tanganku. "Berhenti!"

Aku tersentak, mencoba mengatur napas. Rafi menunjuk ke depan—sebuah jurang kecil membentang di hadapan kami. Di bawahnya, air sungai mengalir deras, berbuih putih saat menghantam bebatuan.

"Kita tidak bisa kembali," bisikku, mendengar suara langkah kaki mendekat dari arah belakang.

Rafi mengamati sekeliling. Di sisi kiri, ada batang pohon yang tumbang, menciptakan jembatan alami ke seberang jurang. Tanpa pikir panjang, aku mengikuti Rafi, berjalan dengan hati-hati di atas batang kayu yang licin oleh embun.

POLA KASOKAN MAOS JUGAN

Saat hampir sampai di ujung, sebuah suara keras meledak di belakang kami—suara tembakan. Aku tersentak dan hampir kehilangan keseimbangan. Rafi menoleh dengan wajah tegang.

"Cepat!" teriaknya.

Kami melompat ke tanah di sisi seberang dan berlari lagi, kali ini menuju pondok Pak Hasan yang sudah terlihat di kejauhan. Cahaya redup tampak dari dalam, menandakan seseorang ada di sana.

Dengan napas terengah, kami tiba di depan pintu kayu yang sudah lapuk. Aku mengetuknya dengan keras. "Pak Hasan, buka pintunya! Ini aku, Fajar!"

Tidak ada jawaban. Aku melirik ke belakang—bayangan gelap dari para pengejar sudah mulai terlihat di antara pepohonan. Aku menelan ludah, lalu mencoba membuka pintu sendiri. Tidak terkunci.

Kami masuk dan segera menutup pintu di belakang kami. Di dalam, aroma asap kayu menyambut kami, dan di sudut ruangan, Pak Hasan duduk dengan wajah terkejut.

"Apa yang kalian lakukan di sini?" tanyanya dengan suara rendah.

Aku mengambil napas dalam-dalam, mencoba menjelaskan semuanya secepat mungkin. "Kami dikejar, Pak. Mereka tahu kita sudah tahu terlalu banyak."

Pak Hasan menghela napas panjang, lalu berdiri dan berjalan ke arah jendela kecil, mengintip ke luar. "Kalian datang di saat yang tepat," katanya. "Aku punya sesuatu untuk kalian. Bukti yang bisa membuka semua kebusukan ini."

Aku dan Rafi saling pandang. Apakah ini titik balik dari semua yang telah kami lalui?

Pak Hasan membuka sebuah laci tua dan mengeluarkan sebuah flash drive kecil. "Ini semua data tentang proyek reklamasi itu. Nama-nama orang di baliknya, bukti transaksi, dan laporan dampak lingkungan yang mereka sembunyikan. Aku sudah lama ingin menyerahkannya pada orang yang tepat, tapi aku selalu diawasi."

Aku meraih flash drive itu dengan tangan gemetar. Ini lebih dari yang kami harapkan. Namun, sebelum aku bisa mengucapkan terima kasih, suara benturan keras terdengar dari luar—seseorang mencoba mendobrak pintu.

"Mereka datang," bisik Rafi.

Pak Hasan meraih sebuah pisau tajam dari meja, lalu menatap kami. "Kalian harus pergi dari sini sekarang juga. Bawa bukti ini ke orang yang bisa dipercaya. Aku akan menahan mereka."

Aku ingin membantah, tapi suara kayu retak di belakang kami membuatku sadar bahwa kami tidak punya pilihan lain. Dengan cepat, Rafi membuka pintu belakang pondok, dan kami berlari lagi, kali ini membawa sesuatu yang bisa mengubah segalanya.

Malam di Kalisanat belum selesai—bahkan, ini baru permulaan.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak