Uang dan Kenyang




Ada saatnya seseorang makan sampai perutnya penuh. Sampai tak ada lagi ruang untuk satu suap tambahan. Kenyang adalah tanda bahwa tubuh telah cukup, bahwa batasnya sudah dicapai. Tapi uang tak mengenal batas itu. Tak ada istilah “cukup” bagi uang.

Orang yang kelaparan ingin makan, itu wajar. Tapi orang yang sudah makan dan tetap ingin merebut jatah orang lain—itu apa namanya? Rakus? Atau sekadar cermin bahwa uang bekerja dengan cara yang tak seperti makanan? Uang bukan untuk mengisi perut, melainkan untuk mengisi sesuatu yang lebih abstrak, lebih dalam, lebih tanpa dasar: hasrat.

Maka uang tak membuat kenyang. Perut punya batas, tapi hasrat tidak. Itu sebabnya seseorang yang sudah kaya masih ingin lebih kaya. Gaji yang sudah tinggi masih dirasa kurang. Bahkan jabatan yang sudah tinggi masih ingin dinaikkan—dan jika tak bisa naik, setidaknya harus dipertahankan. Segalanya menjadi bukan soal kebutuhan, melainkan kekuasaan.

Kekuasaan bukan cuma soal jabatan politik. Kekuasaan adalah kemampuan untuk membuat orang lain tak berdaya. Dan di situlah uang menemukan kuasanya. Ia bukan sekadar alat tukar, bukan sekadar kertas atau angka dalam rekening, tapi sesuatu yang menentukan siapa menguasai siapa.

Maka uang diperebutkan, dipuja, dikejar. Bahkan oleh mereka yang sudah renta, sakit-sakitan, yang mungkin tak punya cukup umur untuk menghabiskannya. Tapi tetap saja, ada orang-orang yang rela menempuh perjalanan jauh, mengorbankan waktu, melelahkan diri, hanya karena di ujung sana ada uang yang bisa dikantongi. Seolah-olah uang itu sendiri punya aroma yang memabukkan, yang membangkitkan semangat bahkan bagi yang seharusnya sudah kelelahan.

Tapi untuk apa? Untuk siapa? Pertanyaan ini jarang diajukan. Uang bekerja seperti candu. Ia tak sekadar dibutuhkan, tapi ditakuti kehilangannya. Orang bukan hanya ingin kaya, tapi takut miskin. Dan ketakutan itu jauh lebih kuat daripada sekadar keinginan.

Orang yang kenyang akan berhenti makan. Tapi orang yang kaya belum tentu berhenti mengumpulkan uang. Maka jangan heran kalau ada yang sudah punya segalanya tapi tetap merampas. Tetap menyuap, tetap mencuri, tetap menindas. Mereka bukan lapar, tapi haus. Bukan butuh, tapi cemas.

Dan kecemasan itu lebih kejam daripada kelaparan. Sebab, kelaparan bisa diatasi dengan makan. Tapi kecemasan tak selalu selesai dengan uang. Sebab uang tak membuat kenyang.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak