DEPAR(TEMAN)AN SASTRA (DKS)
Dalam masyarakat yang hendak maju dan merdeka dalam
berpikir, sastra bukanlah pelengkap—melainkan fondasi batin bagi pembangunan
jiwa bangsa. Di tengah geliat kepenulisan anak muda yang tampaknya tumbuh di
kota ini, banyak yang menyebut Sumenep sebagai "kota penyair". Namun
benarkah demikian? Saya pribadi meragukannya.
Penyair bukanlah mereka yang sekadar menulis
puisi/syair, cerpen ataupun novel, apalagi yang hanya mengandalkan pengakuan
dari media kecil atau kemenangan lomba-lomba yang tak berakar pada denyut
masyarakat. Kriteria penyair bukan semata ditentukan oleh eksistensi di kolom
sastra koran nasional, apalagi oleh label-label instan yang diberikan secara
serampangan. Puisi, dan lebih-lebih penyair, menuntut kesungguhan batin dan
keberanian intelektual—bukan sekadar popularitas.
Oleh sebab itu, ketika puisi—yang semestinya menjadi
ekspresi tertinggi dari kesadaran estetis dan moral—ditempatkan secara simbolik
di ruang publik seperti pada Tugu Keris di perbatasan Sumenep–Pamekasan, maka
pertanyaan mendasar pun muncul: atas nama siapa puisi itu berbicara? Apakah ia
telah melewati uji nalar, uji rasa, dan tafsir kultural yang sahih?
Sayangnya, Departemen Sastra Dewan Kesenian Sumenep
memilih diam. Tak ada tanggapan, tak ada penilaian, apalagi sikap kritis.
Ketika sebuah puisi menjadi bagian dari ruang publik, ia tak lagi bersifat
pribadi—ia menjelma menjadi pernyataan kolektif yang wajib
dipertanggungjawabkan. Dalam konteks ini, tanggung jawab lembaga kebudayaan
diuji: apakah mereka sekadar menyetujui, atau bersedia mengkritisi?
Inilah salah satu wajah lemah kebudayaan kita hari
ini: seni masih dipandang sebagai hiasan, bukan sebagai instrumen pemikiran.
Puisi masih dianggap pelipur lara, bukan penantang narasi kekuasaan.
Sastra yang baik bukanlah yang menyenangkan hati
pejabat atau memoles wajah kota dengan jargon-jargon kosong. Sastra yang baik
ialah yang menggugah kesadaran, memperluas cakrawala, dan menjernihkan batin
manusia terhadap zaman. Jika puisi yang dipilih tunduk pada selera
birokrasi—berisi puja-puji tentang kejayaan sembari menutup mata terhadap
kemiskinan, pendidikan yang timpang, dan kesenjangan sosial—maka itu bukanlah
karya seni. Itu adalah propaganda.
Sikap bungkam dari Departemen Sastra bukan hanya
persoalan administratif. Ia adalah cermin dari kemacetan berpikir. Ia
menunjukkan bahwa lembaga ini tak lagi menjadi ruang dialektika, melainkan
ruang sunyi yang nyaman dalam ketidakberdayaan.
Dewan Kesenian, terutama departemen sastranya,
seharusnya menjadi motor penggerak kebudayaan, bukan menjadi panitia tahunan
yang hanya pandai menyusun laporan. Tanpa keberanian menilai dan menawarkan
tafsir baru, maka ia sekadar menjadi artefak—fosil dari semangat masa lalu yang
tak lagi menyala.
Kota yang besar adalah kota yang berpikir ke
depan—yang menjadikan seni dan sastra sebagai alat pencerahan, bukan pelengkap
pesta elite. Maka hari ini kita bertanya: apakah Departemen Sastra bersedia
memikul tanggung jawab kebudayaan ini? Atau cukup puas menjadi pengikut
agenda-agenda dangkal yang ditentukan dari atas?
Jika kita ingin Sumenep memiliki wajah sastra yang
terbuka pada kritik, maka Departemen Sastra harus membebaskan diri dari
ketakutan dan kepatuhan yang keliru. Ia harus hadir sebagai pemimpin diskusi,
bukan sekadar penggembira forum.
Sastra, dalam sejarah bangsa ini, telah menjadi mercusuar. Maka jangan biarkan ia kini menjadi lilin yang padam di ruang rapat penuh basa-basi.