Abu al-Hasan al-Shadhili Ali ibn Abdillah ibn Abd al-Jabbar lahir di Ghumarah di daerah Maghribi atau Maroko pada tahun 593 H atau 1197 M. Ali, panggilan al-Shadhili sejak kecil, adalah anak yang baik dan rajin. Ia didik oleh orang tua yang baik dan bijak, maka tak heran al-Shadhili kecil sudah mampu menghafal Alquran dan belajar untuk menerapkan al-Sunnah. Minat pada keilmuan terus ditanamkan, sehingga pada usia 6 tahun sudah meninggalkan desanya untuk mengembara mencari ilmu ke tempat lain, yakni Tunisia.
Ketika al-Shadhili berada di Tunisia, dia bertemu
dengan Nabi Khidir As dan mendapat kabar bahwa al-Shadhili akan menjadi seorang
waliyullah yang berkedudukan tinggi. Berita yang al-Shadhili dapatkan dari Nabi
Khidir As tersebut akhirnya disampaikan kepada seorang ulama terkemuka di
Tunisia yang bernama Abi Said al-Baji dan perkara tersebut dibenarkan. Selama
19 tahun Al-Shadhili tinggal bersama dan berguru kepada al-Baji. Al-Baji sering
berangkat menunaikan haji dan berkali-kali al-Shadhili mendampingi gurunya itu
ke Makkah. Ketika di Mekkah, dia memanfaatkan untuk menimba berbagai ilmu dari
ulama di sana. Ia kemudian mencari seorang wali Quthub dan bertanya kepada
beberapa ulama Mekkah, dia mendapatkan keterangan bahwa mungkin wali Quthub
yang dia cari berada di negeri Iraq.
Iraq adalah negeri yang jauh dari kota Mekkah dan
al-Shadhili tidak memedulikan jarak untuk mencari keberadaan wali Quthub di
negeri yang terkenal akan peradaban dan keilmuannya yang maju itu. Sesampainya
di Iraq, al-Shadhili bertanya kepada masyarakat yang dia temui tentang
keberadaan wali Quthub yang dia dambakan. Banyak warga yang tidak mengetahui
sosok orang yang dicari oleh al-Shadhili hingga pada akhirnya dia bertemu
dengan seorang mursyid dari tarekat Rifai’iyah yang bernama Abu al-Fatah
al-Wasithi. Al-Shadhili mendapat nasihat dari al-Wasithi bahwa sosok yang dia
cari itu berada di negeri kelahirannya. Kemudian al-Shadhili berpamitan kepada
al-Wasithi dan berangkat dari Iraq menuju Maroko. Pencarian al-Shadhili
terhadap sosok wali yang dia maksud hampir mendekati keberhasilan setelah dia
sampai di Maroko dan bertanya kepada para penduduk sekitar tentang sosok yang
dia harapkan. Akhirnya kabar baik al-Shadhili dapatkan, bahwa wali Quthub yang
selama ini dia cari berada di gunung Barbathah. Al-Shadhili langsung bergegas
pergi menuju gunung Barbathah dan ketika hampir sampai di puncak gunung,
al-Shadhili mandi di sebuah mata air untuk membersihkan diri sebagai bentuk
penghormatan kepada sosok yang dia dambakan. Sebelum al-Shadhili melanjutkan
naik ke sebuah gua yang berada di atas mata air, wali Quthub yang dia cari
menghampirinya dan menyambut kedatangan al-Shadhili.
Abd al-Salam ibn Masyisy adalah seorang wali
Quthub yang telah ditemui oleh al-Shadhili di gunung Barbathah. Setelah sekian
lama dalam pencarian sosok yang al-Shadhili harapkan, dia tinggal bersama ibn
Masyisy di sebuah gua yang berada di puncak gunung. Al-Shadhili berguru kepada
ibn Masyisy dan mendalami serta menerapkan berbagai keilmuan yang diberikan.
Ibn Masyisy memberikan arahan kepada al-Shadhili
agar mengembara dan berdakwah kepada umat setelah usai bimbingan yang
diberikannya tuntas. Al-Shadhili mendapat petunjuk dari ibn Masyisy untuk pergi
ke sesuatu desa yang bernama syadzilah tepatnya di daerah Tunisia. Ketika
sampai di sana, al-Shadhili disambut dengan baik oleh masyarakat dan bermukim
tidak lama di sana. Di dekat desa Syadzilah terdapat bukit yang dinamai
Zaghwan, tempat itu mempunyai gua yang dijadikan oleh al-Shadhili sebagai
tempat untuk uzlah. Selama di bukit Zaghwan, al-Shadhili ditemani oleh
sahabatnya yang bernama Abu Muhammad Abdullah ibn Salamah al-Habibi.
Bertahun-tahun al-Shadhili dan ibn Salamah berada
di bukit Zaghwan hingga pada akhirnya mereka turun. Al-Shadhili turun sebab
menerima petunjuk dari Allah SWT untuk berdakwah kepada masyarakat. Kemudian al-Shadhili
pergi menuju negeri Tunisia sesuai dengan arahan perjalanan dari gurunya dulu
ketika dia akan pergi untuk berangkat berdakwah. Meski sudah lama sekali
al-Shadhili tidak berada di Tunisia, tempat itu tidak asing lagi bagi
al-Shadhili, karena dulu dia pernah menuntut ilmu di sana ketika masih kecil.
Kedatangan al-Shadhili disambut dengan baik oleh
masyarakat dan dia mulai berdakwah untuk umat di Tunisia. Banyak warga yang
mengikuti majelis dan pengajian al-Shadhili sampai suatu saat ada seorang yang
cemburu dan iri dengan dirinya. Ibn al-Bara’ adalah seorang qadi di Tunisia
yang merasa keberadaan al-Shadhili dapat menggeser posisi maupun
popularitasnya. Pada suatu waktu ibn, al-Bara’ menantang al-Shadhili untuk
berdebat dalam permasalahan ilmu agama. Tetapi, hasil dari perdebatan itu ibn
al-Bara’ kalah jauh dalam segi keilmuannya.
Karena tidak mampu menandingi keilmuan
al-Shadhili, pada akhirnya ibn al-Bara’ memilih cara yang buruk untuk
menyingkirkan al-Shadhili dari Tunisia. Ibn al-Bara’ mencoba untuk menghasut
pemimpin dan penguasa di Tunisia yaitu Sultan Abu Zakariya al-Hafsi. Ibn
al-Bara’ menghasut dengan fitnah bahwa al-Shadhili ingin menggulingkan
kekuasaan sultan dan menggantikannya. Sultan Zakariya tidak begitu yakin dengan
perkataan ibn alBara’ dan memutuskan untuk menggelar debat keilmuan yang
langsung disaksikan oleh sultan.
Debat antara al-Shadhili dan ibn al-Bara’ terlihat
jelas hasilnya, sebab pada debat sebelumnya keilmuan al-Shadhili lebih tinggi
daripada ibn al-Bara’. Hingga usai perhelatan debat, Sultan Zakariya kagum
terhadap al-Shadhili dan itu membuat ibn al-Bara’ semakin iri dan dengki.
Sultan Zakariya yakin bahwa al-Shadhili adalah orang yang alim dan saleh,
bahkan dia mengatakan pendapatnya itu kepada ibn al-Bara’. Akan tetapi, ibn
al-Bara’ tetap menghasut sultan dengan fitnah dan kebohongan sehingga membuat
sultan semakin ragu dengan al-Shadhili.
Sebelum semua bubar dalam perhelatan debat
keilmuan yang diadakan oleh sultan, al-Shadhili diinterogasi oleh sultan yang
sudah termakan oleh hasutan ibn al-Bara’. Sehingga apapun jawaban yang
al-Shadhili berikan kepada sultan tidak membuatnya percaya. Meski demikian al-Shadhili
adalah orang yang bersikap tenang dan santun. Bahkan sikap al-Shadhili tetap
begitu ketika menjelaskan kepada Sultan Zakariya maksud dan tujuannya berada di
Tunisia hanyalah untuk berdakwah saja. Tetapi semua penjelasan yang al-Shadhili
berikan kepada sultan tidak berpengaruh, sebab hasutan ibn al-Bara’ dipercaya
sultan dan membuat al-Shadhili dipenjara tanpa bukti yang nyata.
Pada suatu waktu, Sultan Zakariya ditimpa musibah
dengan terbakarnya beberapa ruang istana dan kematian selir kesayangannya.
Sultan merasa ada yang janggal dengan banyaknya musibah yang sering terjadi
setelah dia memenjarakan al-Shadhili tanpa perihal yang jelas. Pada akhirnya,
Sultan Zakariya menyadari bahwa dia telah terhasut oleh fitnah dari ibn
al-Bara’. Perkara tersebut juga dibenarkan oleh saudara sultan yang terkenal
sebagai seorang alim dan saleh yang baru saja kembali ke istana. Sultan
Zakariya menyesal dan mengakui kesalahannya yang telah memenjarakan al-Shadhili
serta meminta maaf kepadanya karena telah berbuat buruk dan salah.
Al-Shadhili dibebaskan dari penjara dan disambut
dengan baik oleh sultan dan juga para pengikutnya. Waktu haji pun sudah semakin
dekat, al-Shadhili ingin pergi menunaikan ibadah haji ke Makkah. Keberangkatan
al-Shadhili disambut oleh penduduk Tunisia hingga berita keberangkatan ini
terdengar oleh Sultan Zakariya. Rasa gelisah dan cemas menghantui sultan,
karena sultan merasa bersalah atas kejadian dulu yang pernah memenjarakan
al-Shadhili. Sultan menganggap kepergian al-Shadhili tidak akan kembali lagi
karena kecewa dengan tindakan sultan di masa lalu. Tetapi semua perkiraan buruk
sultan menjadi terjelaskan setelah dia mengirim seorang utusan. Sultan Zakariya
mendapat kabar baik dari utusannya bahwa setelah menunaikan ibadah haji nanti,
al-Shadhili akan kembali lagi ke Tunisia. Ketika al-Shadhili dan rombongan haji
sudah tiba di Iskandaria, para kafilah dagang yang kebetulan mendapatkan
perlakuan tidak adil oleh walikota di daerah itu dan mengadu kepada
al-Shadhili. Para kafilah tersebut menceritakan kronologi kejadian yang
sebenarnya kepada al-Shadhili dan meminta bantuan untuk menyelesaikan masalah
mereka. Setelah beberapa waktu berdakwah di Iskandaria, al-Shadhili beserta
rombongan menuju ke ibukota Mesir tepatnya di Kairo.
Perjalanan al-Shadhili di Mesir banyak menemui
para tentara yang sering memeriksa orang-orang yang bepergian. Meski demikian
al-Shadhili dan rombongannya selalu lolos dan tidak pernah diperiksa tanpa
alasan. Hingga pada akhirnya, al-Shadhili sampai di istana kerajaan untuk menemui
Sultan Mesir dan membicarakan terkait permasalahan yang dihadapi para kafilah
di Iskandaria. Sultan Mesir terkaget karena mengetahui al-Shadhili di
hadapannya, sebab sultan memerintahkan para tentara untuk mencari al-Shadhili
dan menangkapnya. Ternyata sultan Mesir menerima surat dari ibn al-Bara’, bahwa
kedatangan al-Shadhili mengunjungi Mesir adalah upaya untuk menggulingkan
kekuasaan sultan.
Al-Syadili bertemu dengan Sultan Mesir yang
bernama Malik al-Shaleh untuk meminta keadilan bagi para kafilah di Iskandaria.
Tetapi, fitnah dari ibn al-Bara’ sudah mencampuri pikiran sultan sehingga tidak
mempercayai al-Shadhili. Pada akhirnya, al-Shadhili pergi meninggalkan istana
dan seketika itu sultan tidak mampu bergerak dari singgasana dan bisu tanpa sebab.
Terkait dengan keanehan tersebut, para pangeran dan juga pelayan istana
menyusul al-Shadhili yang belum pergi jauh dan memohon untuk memaafkan
sultan.
Setelah Sultan Malik meminta maaf kepada
al-Shadhili, dia memberikan surat kepada walikota Iskandaria agar memberikan
kembali hak dari para kafilah yang telah dirampas serta memerintahkannya untuk
berlaku adil dan tidak sewenang-wenang. Sultan pada akhirnya sangat menghormati
al-Shadhili dan mulai bersahabat dengannya, bahkan sultan mengizinkan al-Shadhili
untuk menetap sebentar dan berdakwah di negerinya. Ketika waktu haji sudah
mendekati saatnya, rombongan al-Shadhili akhirnya berpamitan kepada sultan
untuk pergi menuju Mekkah.
Selesai pelaksanaan ibadah haji yang dikerjakan
oleh rombongan al-Shadhili, mereka kembali ke negeri Tunisia dan melanjutkan
dakwah di sana. Selama di Tunisia al-Shadhili membina dan mengajar para
muridnya dengan baik, termasuk seseorang yang terkenal akan menggantikannya
nanti yaitu Abu al-Abbas al-Mursi. Di Tunisia itulah al-Shadhili mendapatkan
nama yang dinisbatkan kepadanya dari tempat mengajarnya yaitu desa
Syadzilah.
Setelah cukup memberikan pendidikan kepada
murid-muridnya di Tunisia, al-Shadhili mendapat petunjuk dari Rasulullah
Muhammad SAW agar melanjutkan dakwahnya di negeri Mesir. Perihal tersebut juga
sudah dipetakan oleh ibn Masyisy sebelum al-Shadhili diberi tugas olehnya untuk
berdakwah. Selesai sudah kala itu tugas al-Shadhili di negeri Tunisia,
al-Shadhili segera berangkat menuju negeri Mesir sesuai dengan petunjuk
Rasulullah SAW dan gurunya.
Kota Iskandaria adalah tempat yang al-Shadhili
tuju sebagai persinggahan dan penyambung dakwahnya di negeri Mesir. Bertepatan
dengan kedatangan al-Shadhili di Iskandaria, ada kabar seorang wali Quthub
al-Zaman wafat yang bernama Abu al-Hajjaj al-Aqsyary. Bertepatan dengan
perihal tadi pada tanggal 15 Sya’ban, al-Shadhili menjadi pengganti al-Aqsyary
sebagai wali Quthub Zaman. Kedatangan al-Shadhili di Mesir juga
mendapatkan sambutan hangat oleh Sultan Malik al-Shaleh dan para masyarakat.
Bahkan sultan juga memberikan hadiah untuk al-Shadhili berupa tempat tinggal
yang luas.
Di Iskandaria al-Shadhili melaksanakan pernikahan dan di sini pula dia hidup bahagia bersama istri dan anak-anaknya. Selain berdakwah dan mengajar di Iskandaria, al-Shadhili juga pernah ikut berperang melawan Prancis yang menyerang Mesir dalam perang salib. Banyak ulama yang ikut andil dalam perang tersebut, sehingga Raja Louis IX dari Prancis dan pasukannya harus menanggung kekalahan yang besar di pihaknya. Setelah situasi aman dan tenteram, al-Shadhili melaksanakan dakwah dan mengajar kembali seperti biasanya. Al-Shadhili wafat ketika bulan Dzulqa’dah pada tahun 656 Hijriyah atau 1258 Masehi tepatnya di desa Humaitsarah tepi pantai Laut Merah ketika sedang dalam perjalanan berangkat haji bersama keluarga dan para muridnya.
*Abdur Rahmad merupakan Alumni Pondok Pesantren
Nurul Jadid & Unujad “pelayan para pelayannya kader biru kuning” ini
merupakan pria kelahiran Sumenep Madura. warga Giligenting ini bisa disapa
melalui @rachmadplb3 (twitter atau instagram). Pangeran muda ini memiliki motto
“Ketidakmungkinan hanyalah sebuah opini, teruslah bergerak dan maju.”